Jimly Soal Anwar Usman Gugat Putusan MKMK ke PTUN: Salah Alamat

Menurut Jimly, PTUN adalah peradilan hukum, sedangkan pelanggaran etik bukanlah perkara hukum.

oleh Muhammad Ali diperbarui 08 Jul 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 08 Jul 2024, 00:00 WIB
Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman (tengah) memimpin sidang pendahuluan sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 di gedung MK, Jakarta, Rabu (10/7/2019). Sidang beragendakan pemeriksaan pendahuluan terkait Perselisihan Hasil Pemilu DPR-DPRD Provinsi Sulawesi Barat. (Liputan6/Johan Tallo)

 

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai gugatan Hakim Konstitusi Anwar Usman di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta sebagai “salah alamat” atau salah sasaran.

“Objek yang dinilai di pengadilan hukum adalah pelanggaran hukum. Akan tetapi, dia bukan melanggar hukum, tapi melanggar kode etik. Jadi, ini objek perkaranya salah alamat,” kata Jimly ketika ditemui di Gedung Kementerian Perhubungan, Jakarta, Minggu (7/7/2024).

Jawaban itu menanggapi pernyataan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam sidang putusan terkait dugaan pelanggaran kode etik Anwar Usman yang digelar pada Kamis (4/7).

Dalam putusan nomor 08/MKMK/L/05/2024 itu, Anwar dinyatakan tidak terbukti melanggar kode etik terkait dugaan konflik kepentingan dengan seorang pengacara bernama Muhammad Rullyandi karena kapasitasnya sebagai pihak berperkara dalam PHPU Pileg dan juga ahli dari tim kuasa hukum Anwar dalam gugatan di PTUN.

Adapun dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh anggota MKMK Ridwan Mansyur, majelis etik itu kembali menegaskan bahwa PTUN tidak berwenang mengadili putusan MKMK yang berhubungan dengan pemberhentian Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.

"MKMK telah secara tegas menyatakan pendiriannya bahwa PTUN tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili putusan MKMK yang merupakan putusan lembaga etik yang bersifat final,” kata dia yang dilansir dari Antara.

Ridwan menjelaskan bahwa pada dasarnya, MKMK tidak dapat mencampuri kompetensi absolut PTUN dalam memeriksa dan memutus perkara Anwar terkait pemberhentiannya.

Akan tetapi, kata dia, dalam konteks tersebut secara tegas dinyatakan bahwa PTUN tidak berwenang mengadili putusan yang mereka keluarkan.

 

PTUN Terkait Administrasi yang Mengandung Unsur Hukum

Menurut Jimly, itu adalah pernyataan yang tepat karena sejatinya objek perkara yang bisa diadili di PTUN adalah keputusan administrasi yang mengandung unsur hukum.

“Pertama, tidak ada Keputusan Presiden (Keppres) karena kalau dia diberhentikan sebagai anggota maka perlu Keppres dan itu bisa diperkarakan. Sedangkan dia diberhentikan sebagai ketua, lalu ada rapat internal untuk memilih ketua baru maka tidak ada keppresnya, sehingga tidak bisa dijadikan objek perkara di PTUN,” ucapnya.

Selain itu, kata Jimly, PTUN adalah peradilan hukum, sedangkan pelanggaran etik bukanlah perkara hukum. Oleh karena itu, menurutnya, gugatan Anwar di PTUN adalah salah alamat.

Sebelumnya, pada akhir tahun 2023, Anwar Usman mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta dengan pokok gugatan meminta keputusan pengangkatan Suhartoyo sebagai ketua baru MK dinyatakan tidak sah.

"Dalam pokok perkara, mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya, menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023, tentang pengangkatan Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028," demikian bunyi isi gugatan pokok perkara Anwar Usman.

Dalam keputusan MK yang digugat Anwar, terdapat putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/2023 yang menjatuhkan sanksi pemberhentian Anwar dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.

Infografis MKMK Copot Jabatan Ketua MK Anwar Usman. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis MKMK Copot Jabatan Ketua MK Anwar Usman. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya