Yusril: Tak Ada Persoalan Mendasar Perubahan Wantimpres Menjadi DPA

Yusril menyebut pembicaraan terkait revisi UU itu ialah soal pergantian nomenklatur dari Wantimpres kemudian kembali menjadi DPA menurutnya bukan hal yang perlu diperdebatkan.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 16 Jul 2024, 15:19 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2024, 15:19 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengaku belum dapat membayangkan sikap apa yang akan diambil Pengadilan Tinggi perihal perkara putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Prima menunda Pemilu 2024.

 

Liputan6.com, Jakarta Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra menilai, tak ada persoalan mendasar mengenai perubahan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam revisi Undang-Undang Wantimpres. 

Mulanya, Yusril menjelaskan sejarah pembentukn Wantimpres pada era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Tahun 2006, dalam posisi sebagai Menteri Sekretaris Negara, saya ditugasi Presiden SBY untuk mewakili Presiden membahas RUU tentang Wantimpres itu dengan DPR hingga selesai. Dalam teks UU Nomor 19 Tahun 2006 itu tercantum tanda tangan pengesahan dari Presiden SBY dan tanda tangan saya selaku Menteri Hukum dan HAM Ad Interim yang mengundangkan UU itu dalam Lembaran Negara," kata Yusril dalam keterangannya, Selasa (16/7/2024).

Menurut Yusril, polemik revisi UU Watimpres tidak substantif. Ia menyebut pembicaraan terkait revisi UU itu ialah soal pergantian nomenklatur dari Wantimpres kemudian kembali menjadi DPA menurutnya bukan hal yang perlu diperdebatkan. 

"Perubahan dalam RUU yang diajukan DPR ini pada hemat saya memang tidak substansial jika dikaitkan hanya dengan nomenklatur dan berapa jumlah serta syarat untuk menjadi anggotanya. Apa yang substansial adalah perubahan kedudukan dewan pertimbangan itu dari semula berada di bawah Presiden sebagaimana disebutkan dalam UU Wantimpres menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya," ujar dia.

Menurut Yusril, DPA diatur dalam Bab IV UUD 1945 sebelum amandemen dan digolongkan sebagai lembaga tinggi negara. Namun, Bab IV yang mengatur DPA dalam konstitusi itu dihapus saat amandemen. Dengan begitu, Wantimpres yang ada saat ini berada di bawah presiden, bukan sebagai lembaga negara.

"Tetapi Pasal 16 yang mengatur tentang DPA dan berada di bawah Bab itu tetap ada namun diubah sehingga berbunyi, 'Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang'. Apa nama dewan pertimbangan yang dibentuk oleh presiden itu, tidak ada nomenklaturnya di dalam UUD 45 hasil amandemen," kata dia.

 

Ditempatkan di Bawah Presiden

Yusril menjelaskan, UU Nomor 19 Tahun 2006 menamakannya 'Dewan Pertimbangan Presiden' dan menempatkan lembaga itu di bawah presiden. 

“Itulah tafsir yang berkembang saat itu. Pemikirannya adalah karena DPA sebagai 'lembaga negara' dihapuskan oleh amandemen, maka kedudukan Wantimpres ditempatkan berada di bawah Presiden sebagai lembaga pemerintah," kata dia.

Terkait revisi UU Wantimpres saat ini yang menempatkan DPA sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain, hal itulah perubahan substansial yang membedakan antara Wantimpres dengan DPA.

“Kewenangan presiden membentuk lembaga untuk memberikan pertimbangan dan nasihat kepadanya dengan tegas diberikan oleh Pasal 16 UUD 1945,” pungkasnya.

Infografis Jokowi dan Keluarga Dilaporkan Kolusi-Nepotisme ke KPK. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Jokowi dan Keluarga Dilaporkan Kolusi-Nepotisme ke KPK. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya