Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI) menegaskan tengah melakukan langkah-langkah dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan syarat pencalonan di Undang-undang Pilkada untuk ditetapkan dalam Peraturan KPU (PKPU).
Ketua KPUÂ RI Mochamad Afifuddin mengatakan, pihaknya mesti berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terlebih dahulu sebagai salah satu lembaga pembentuk undang-undang.
Baca Juga
"Perlu kami informasikan, kami sampaikan, kami ulangi lagi, sebagaimana berita beredar, KPU dalam hal ini sudah menempuh langkah untuk menindaklanjuti putusan MK," kata Afif dalam konferensi pers di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2024).
Advertisement
Afif mengatakan konsultasi ke DPR dilakukan untuk memenuhi proses prosedural agar KPU tak dikenai peringatan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagaimana putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.
"Kenapa ini kami lakukan? Kami punya pengalaman dulu ada putusan MK dalam proses pilpres, putusan 90 yang saat itu dalam perjalanannya kemudian kami tindak lanjut, tetapi konsultasi tidak sempat dilakukan karena satu dan lain hal dan selanjutnya dalam aduan dan putusan DKPP kami dinyatakan salah dan diberi peringatan keras dan keras terakhir," jelas dia.
Menurut Afif, kala itu KPU RI juga menindaklanjuti putusan MK, tapi tidak melakukan proses konsultasi. Hal itu dianggap sebagai kesalahan yang dilakukan oleh KPU.
"Selanjutnya, tentu karena masih ada waktu terkait dengan tindak lanjut ini akan digunakan, terutama untuk pendaftaran calon kepala daerah yang mulai dibuka 27-29 Agustus 2024. Jadi kita berusaha berkomunikasi dan mengomunikasikan termasuk sedang menyiapkan draf," kata Afif.
Konsultasi ke DPR Semata Jalani Tertib Prosedur
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengatakan konsultasi ke DPR dilakukan semata-mata guna tertib prosedur jelang KPU menetapkan Peraturan KPU (PKPU).
"KPU dalam hal ini sudah menempuh langkah untuk menindaklanjuti putusan MK. Apa itu bentuknya, kami per kemarin tanggal 21 bersurat ke DPR untuk berkonsultasi terkait dengan tindak lanjut putusan MK," kata Afif.
Pasalnya, KPU berkaca dengan pengalaman pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Saat itu, ada putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 yang dijalankan KPU tanpa berkonsultasi dengan DPR.
Imbas tak tertib prosedur itu, KPU RI yang menjalankan putusan MK tersebut diputuskan bersalah oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"Saat itu dalam perjalanannya kemudian kami tindak lanjut (putusan MK) tetapi konsultasi tidak sempat dilakukan karena satu dan lain hal dan selanjutnya dalam aduan dan putusan DKPP kami dinyatakan salah dan diberi peringatan keras dan keras terakhir," ujar Afif.
Lebih lanjut, Afif menegaskan bahwa KPU RI tetap mengambil sikap atas putusan MK dengan cara tertib prosedur, sehingga akan melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan DPR. Saat ini, kata dia KPU tengah menunggu panggilan DPR RI.
"Jadi kalau pertanyaannya apakah KPU menindaklanjuti putusan MK, kami tegaskan KPU menindaklanjuti putusan MK dengan jalur tadi, kita mengonsultasikan dulu (dengan DPR)," kata Afif.
Advertisement
Putusan MK Nomor 60 Terkait UU Pilkada
Mahkamah Konstitusi bikin kejutan jelang Pilkada Serentak 2024. Putusannya yang mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah membuat suasana politik Tanah Air menghangat.
Partai politik atau gabungan partai politik bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. Tentunya dengan syarat tertentu.
Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, Mahkamah memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota).
Putusan perkara yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora ini dibacakan pada Selasa, 20 Agustus 2024, di Ruang Sidang Pleno MK.
Dinukil dari website Mahkamah Konstitusi, Ketua MK Suhartoyo yang membacakan amar putusan menyampaikan bahwa Mahkamah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian.
Mahkamah menyatakan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
1. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut;
2. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut;
3. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut;
4. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut;
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:
1. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut;
2. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
3. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
4. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut.
"Menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ucap Suhartoyo.