Sidang Harvey Moeis, Saksi Ceritakan Kaitan Penambangan Rakyat dengan Produksi Timah

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat melanjutkan sidang kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah 2015–2022 dengan terdakwa Harvey Moeis.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 04 Sep 2024, 03:03 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2024, 03:03 WIB
Penampilan Harvey Moeis Saat Jalani Sidang Dakwaan Kasus Korupsi Timah
Harvey Moeis yang merupakan suami dari artis Sandra Dewi didakwa melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp300 triliun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat melanjutkan sidang kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah 2015–2022 dengan terdakwa Harvey Moeis.

Dalam persidangan yang digelar Senin 2 September 2024, para saksi yang hadir sempat membeberkan dampak positif keberadaan tambang rakyat bagi kinerja perusahaan yakni PT Timah Tbk, meski beberapa pihak menyebut penambangan rakyat sebagai aktivitas ilegal.

Awalnya, majelis hakim mengonfirmasi kebenaran adanya kenaikan produksi biji timah sejak 2019 di PT Timah, khususnya sejak ada kerja sama dengan smelter-smelter swasta. 

"Benar. Naik signifikan, Pak," tutur mantan Kabid Pengawasan UPDB Bangka Induk Musda Ansori dalam kesaksiannya di persidangan.

Dia menyebut, masyarakat yang melakukan aktivitas penambangan sebelumnya memang bisa dibilang beraktivitas secara ilegal. Namun, perusahaan dalam hal ini PT Timah Tbk berupaya menyelamatkan timah hasil pertambangan itu dengan membelinya dari penambang masyarakat.

"Ada penambahan tradisional, ada yang semi modern menggunakan alat," jelas dia.

Dalam persidangan yang sama, dihadirkan pula Evaluator PT Timah, Apit Rinaldi sebagai saksi. Kepada majelis hakim, dia mengatakan penambang rakyat melakukan aktivitas dengan pola kemitraan dengan PT Timah.

"Masyarakat yang memiliki hak atas lahan di IUP PTT memiliki hak untuk bekerjasama dengan PTT yang bentuknya bisa bermacam-macam," ungkap Apit.

Kemitraan dengan penambang rakyat tersebut dituangkan atau dilegalkan lewat Instruksi 030 tahun 2008 dari direksi PT Timah tentang Pengamanan Aset PT Timah.

Hal itu dilakukan agar timah hasil pertambangan rakyat tidak malah diekspor secara ilegal atau dijual ke kompetitor ataupun pihak yang tidak berhak, padahal lahan tempat aktivitas pertambangan itu masuk ke dalam wilayah IUP milik PT Timah.

"Terdapat akulturasi antara kewajiban PT Timah untuk menyelasaikan hak atas tanah dengan memberikan kerjasama penambangan kepada pemilik lahan (kemitraan) dengan metode pembayaran per ton rupiah dan harganya sudah ditentukan oleh PT Timah," terang dia.

 

Tak Diwajibkan Reklamasi

Meski beraktivitas di atas wilayah IUP PT Timah, sambungnya, penambang rakyat tidak diwajibkan melakukan reklamasi.

Kewajiban melakukan reklamasi tetap menjadi kewenangan PT Timah, yang direalisasikan dengan membayarkan Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup dan telah dibayarkan perusahaan saat mengajukan IUP wilayah pertambangan seperti amanah Pasal 43 Ayat (2) butir (a) UPPLH.

Adapun dana jaminan pemulihan lingkungan hidup adalah dana yang disiapkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya.

"Mitra IUJP, tidak ada kewajiban reklamasi, kewajiban reklamasi tetap berada pada PTT, mitigasi oleh PTT adalah perencanaan wilayah yang akan ditata sebagai upaya reklamasi atau perbaikan lingkungan," katanya.

 

Dapat Bermitra

Saksi lain yakni Doni Indra sebagai Mitra Tambang Darat UPT mengulas awal mula kerja sama pihaknya dengan PT Timah.

Dia menjadi salah satu pemilik lahan di kawasan tersebut, meski ada IUP atas nama PT Timah di atasnya.

Mulanya, dia punya lahan 10 hektar dan mengajukan kerja sama ke PT Timah, yang kemudian ketika dilakukan pengecekan pun diketahui lahannya masuk ke dalam IUP PT Timah, sehingga akhirnya dapat bermitra dengan perusahaan.

Hal itu disebutnya selaras dengan ketentuan dalam Pasal 136 UU Pertambangan, di mana pemilik IUP harus menyelesaikan hak atas tanah sebelum melakukan operasi. 

Pola kemitraan dengan masyarakat pun dipandang sebagai win-win solution, sebab faktanya tanah yang dikuasai oleh PT Timah jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan total luas lahan pada IUP PT Timah, sehingga menyebabkan konflik antara masyarakat dengan PT Timah.

Dengan adanya pola kemitraan, PT Timah tetap bisa memperoleh timah yang ada pada wilayah IUP-nya, sementara masyarakat pemilik lahan juga memperoleh hak ekonomi atas lahannya.

 

"Dalam hal lahan wilayah penambangan milik saksi sudah selesai ditambang, lahan tersebut tetap menjadi kepemilikan saksi, dan begitu juga berlaku untuk setiap mitra penambangan yang bekerjasama dengan PT Timah untuk menggunakan lahan wilayah penambangan mereka," Doni menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya