Liputan6.com, Jakarta - Tidak lagi berlakunya Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno berdasarkan TAP MPR nomor I/MPR/2003 ditegaskan oleh pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI melalui surat balasan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 26 Agustus 2024.
Penegasan itu dipandang perlu untuk segera ditindaklanjuti untuk meluruskan garis Sejarah Indonesia karena dalam konsideran TAP MPRS XXXIII/MPRS/1967 yang eksplisit menyebutkan keterlibatan Presiden pertama Indonesia itu dalam Gerakan 30 September (G-30-S/PKI).
Advertisement
Baca Juga
Salah satu tindak lanjutnya adalah upaya pemulihan nama baik dan pengembalian hak restoratif bagi Sukarno yang meninggal dunia pada 21 Juni 1970. Hal itu mengemuka dalam diskusi kelompok terpumpun (DKT/FGD) yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Advertisement
Kepala BPIP Yudian Wahyudi menegaskan, FGD yang mengundang sejumlah pembicara dari kalangan lembaga negara dan akademisi itu bertujuan untuk mengawal upaya pemulihan nama baik, hak-hak konstitusional, serta pelurusan sejarah perjuangan ”Sang Penggali Pancasila” yang saat ini masih terdistorsi.
Menurut Yudian, sampai saat ini masih terdapat kekeliruan dalam pemahaman sejarah di kalangan masyarakat terkait yang didalilkan dalam TAP MPRS Nomor XXXIII/1967. Padahal, nama Sukarno seharusnya bersih dari cacat hukum seiring Keputusan Presiden Nomor 83/TK/2012 tentang penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Ir. Sukarno.
“Oleh karenanya, seluruh proses pemulihan nama baik dan sejarah beliau harus terus menerus dikawal. Pemulihan hak-hak konstitusional dan keadilan restoratif bagi Ir. Sukarno dan keluarga beliau pascapencabutan TAP MPRS No. XXXIII Tahun 1967 harus menjadi agenda penting yang segera dituntaskan demi memberikan penghormatan atas segenap jasa-jasa beliau yang tak terhingga kepada seluruh bangsa dan negara Indonesia,” ujar Yudian.
Yudian menegaskan Sukarno merupakan seorang pemimpin bangsa yang sangat penting dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sukarno adalah salah satu dari Sang Dwi Tunggal Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agutus 1945, Presiden Pertama Republik Indonesia, juga tokoh yang menggali Pancasila dari Bumi Nusantara untuk selanjutnya dirumuskan menjadi dasar negara Indonesia merdeka.
Masih Menyisakan Persoalan
Senada, Wakil Ketua MPR 2019-2024 Ahmad Basarah mengatakan, secara yuridis dan formal, TAP MPRS XXXIII/1967 memang sudah tidak berlaku. Namun, dari sisi psikologi politik masih menyisakan persoalan, terutama terkait dengan tuduhan Presiden Sukarno membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung pemberontakan G-30-S/PKI.
“Perkembangan hukum ketatanegaraan dan sosial politik juga membuktikan bahwa tuduhan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ada sekitar 46 buku yang bis akita lihat sebagai satu bukti bahwa proses peristiwa 65 itu banyak sekali konspirasi di dalamnya,” kata Basarah yang kini menjadi Ketua Fraksi MPR RI Fraksi PDIP periode 2024-2029.
Surat pimpinan MPR RI Nomor T-1149H/HK.00.00/BVI/SetjenMPR/08/2024 tanggal 26 Agustus 2024 yang menjawab surat Menteri Hukum dan HAM nomor M HH-HH.04.01-84, menurut Basarah, merupakan bagian dari tanggung jawab moral pimpinan MPR untuk membersihkan nama baik Presiden Sukarno.
Dalam pembuatan surat balasan itu, pimpinan MPR berpedoman pada Kepres 83/2012, fakta sosial dan hukum, serta fakta ilmiah.
Dalam Pasal 25 huruf e Undang-Undang nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan disebutkan salah satu syarat umum menerima gelar pahlawan ialah setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara.
“Maka ketika dewan gelar tanda jasa dan kehormatan mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa Bung karno layak mendapat gelar pahlawan nasional, artinya secara yuridis formal Bung Karno memenuhi syarat. Salah satu syaratnya tidak pernah khianati bangsa dan negaranya,” tegasnya.
Keluarga Bung Karno, lanjut Basarah juga sudah menerima dan memaafkan terkait keluarnya TAP MPRS XXXIII/1967. Namun, keluarga Bung Karno meminta ada upaya rehabilitasi nama baik Bung Karno.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Maria Farida Indrati mengatakan, tidak berlakunya TAP MPRS XXXIII/1967 masih menyisakan sedikit masalah. Salah satunya pasal 6 di TAP MPRS tersebut yang tidak pernah dilakukan.
Dalam pasal 6 TAP MPRS XXXIII/1967 disebutkan “Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden”.
“Perlu kita lihat ketetapan yang dinyatakan sudah tidak berlaku itu masih ada permasalahan sebetulnya. Karena didalamnya masih menyatakan bahawa perlunya menyelesaikan persoalan hukum selanjutrnya yang menyangkut Sukarno, walaupun TAP-nya sudah selesai,” kata Hakim Konstitusi 2008-2018 itu.
Ia menegaskan, perlu adanya kesepahaman mengenai aturan hukum untuk mengembalikan nama baik Sukarno, terlebih sudah ada Keppres mengenai gelar pahlawan nasional untuk sang Proklamator itu.
Di sisi lain, Sejarawan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam mengatakan, TAP MPRS XXXIII/1967 menempatkan Sukarno pada kondisi yang menyedihkan. Sukarno menjalani kehidupan layaknya “tahanan” di Wisma Yaso hingga akhir hayatnya.
Kondisi memprihatinkan itu juga terekam pada buku karya salah satu anaknya, Rachmawati Soekarnoputri yang mengungkapkan Sukarno bahkan tidak mempunyai uang untuk memenuhi sejumlah kebutuhan dasar.
“Saat berobat untuk sakit giginya dengan dokter Oei Hong Kian di Jakarta, itu dimanfaatkan Sukarno untuk bertemu dengan anak-anaknya,,” kata Asvi.
Di sisi lain, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Anindito Aditomo mengatakan, tidak berlakunya Tap MPRS XXXIII/1967 harus masuk dalam konten pembelajaran.
“Info dan fakta sejarah yang perlu dikoreksi dan diluruskan itu memang harus disesuaikan. Kami siap kerja sama dengan BPIP,” katanya.
Advertisement