Jaksa Agung Umumkan 5 Tersangka Korporasi dalam Kasus Korupsi Timah

Jaksa Agung (JA) ST Burhanuddin menyampaikan, lima tersangka korporasi itu adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN) dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 02 Jan 2025, 14:40 WIB
Diterbitkan 02 Jan 2025, 14:40 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin
Jaksa Agung ST Burhanuddin. (foto: dokumentasi Kejagung)

Liputan6.com, Jakarta Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan lima tersangka korporasi di kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022.

Jaksa Agung (JA) ST Burhanuddin menyampaikan, lima tersangka korporasi itu adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN) dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).

"Pertama adalah PT RBT yang ke-2 adalah PT SB yang ke-3 PT SIP yang ke-4 TIN dan yang ke-5 VIP," tutur Burhanuddin di Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (2/1/2025).

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah menambahkan, pihaknya membebankan uang atas kerugian negara terhadap lima tersangka korporasi tersebut.

Adapun rinciannya yakni kerugian lingkungan hidup Rp271 triliun kasus timah ditanggung oleh PT RBT sebesar Rp38 triliun, PT SB Rp23 triliun, PT SIP Rp24 triliun, PT TIN Rp23 triliun, dan PT VIP Rp42 triliun.

"Ini sekitar Rp152 triliun," jelas Febrie.

Lebih lanjut, pihak yang bertanggung jawab atas sisa kerugian lingkungan hidup sebesar Rp119 triliun sisanya masih dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Sedang dihitung BPKP siapa yang bertanggung jawab (sisanya), tentunya akan kita tindak lanjuti,” Febrie menandaskan.

Kata Aktivis Lingkungan soal Putusan Kasus Korupsi Timah Harvey Moeis Cs

 Putusan kasus dugaan korupsi timah yang menjadikan perusahaan swasta PT Timah dan pejabat negara sebagai koruptor, dinilai seperti menindas masyarakat Bangka Belitung (Babel) sebagai provinsi penghasil timah terbesar di Indonesia.

Pasalnya, para terdakwa dihukum oleh negara karena melakukan perusakan lingkungan dan juga kongkalikong sehingga dijatuhkan hukuman korupsi. Hal tersebut seperti disampaikan Aktivis Lingkungan Elly Agustina Rebuin.

Dia menjelaskan, pihak yang ditangkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam pusaran kasus korupsi timah merupakan orang yang memiliki peran penting untuk memperbaiki tata kelola pertambangan timah di Bangka Belitung.

"Mereka (orang yang ditangkap Kejagung) selama ini mengakomodir masyarakat yang melakukan penambangan untuk menjual hasil tambangnya kepada PT Timah. Terbukti dari kerja sama yang sudah dilakukan produksi PT Timah meningkat," ujar Elly dalam keterangan tertulis, Senin (30/12/2024).

Namun, lanjut dia, sejak terjadinya penangkapan terdakwa Harvey Moeis hingga Tokoh Masayarakat di Bangka Belitung Tamron alias Aon, membuat masyarakat tidak bisa menjual hasil penambangan bijih timah kepada PT Timah.

"Produksi PT Timah pun berangsur terus menurun setiap tahunnya. Aon ini salah satu orang yang mengakomodir masyarakat supaya tertib," ucap dia.

"Sebelumnya masyarakat menjual hasil tambang ke perusahaan lain dan ada yang diseludupkan, tetapi Aon berhasil membina masyarakat dan menjualnya kepada PT Timah," sambung Elly.

Sekedar Teori

Melalui putusan tersebut, Elly menilai Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang isinya bertujuan mensejahterakan rakyat dalam Pasal 4 hanya sekedar teori.

"Mana UU Minerba yang katanya mensejahterakan masyarakat, buktinya saat ini penegakan hukum yang dilakukan oleh negara menyengsarakan rakyat," kata dia.

Elly menyebut, Pemerintah dalam hal ini terbukti tidak bisa melindungi masyarakat Bangka Belitung. Melalui aturan yang ada, kata dia, masyarakat sudah dinilai menjadi penambang ilegal dan tidak ada kesejahteraanya.

Padahal, Elly menjelaskan keadaan di lapangan, masyarakat sudah seperti mitra yang menjual hasil tambangnya kepada PT Timah tanpa harus membayarkan pembebasan lahan untuk mengambil kekayaan alam yang ada di tanah masyarakat.

"Selama ini tidak ada pembebasan lahan, mayarakat yang menambang dan menjualkan ke PT Timah dengan sukarela. Masa masyarakat sekarang disebut sebagai penambang ilegal," terang Elly.

Menurut dia, PT Timah sendiri sudah sangat diuntungkan dengan kerja sama yang terjalin, negara juga mendapatkan dan menjalankan mandat hilirisasi untuk komoditas tambang dari pasir menjadi logam.

"Orang tahu dari beli pasir ini jadilah produk logam, nah dengan adanya kerja sama 1,5 tahun itu maka pembelian pasir itu ada di masyarakat. Tidak mungkin gratis, masyarakat kan yang punya lahan disitu," kata Elly.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya