Pakar Hukum Pidana Menilai Pasal Kontroversial di UU Kejaksaan Perlu Dikaji Ulang

Ia menyoroti beberapa pasal yang dianggap rawan disalahgunakan dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

oleh Tim News diperbarui 21 Jan 2025, 09:44 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2025, 05:12 WIB
Gedung Kejaksaan Agung
Gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jalan Panglima Polim, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. (Foto: Merdeka.com)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyampaikan tanggapannya terkait sejumlah pasal kontroversial dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Ia menyoroti beberapa pasal yang dianggap rawan disalahgunakan dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

Pertama adalah Pasal 8 ayat (5) mengenai Hak Imunitas Jaksa Agung. Menurut Abdul Fickar, imunitas memang diperlukan selama jaksa menjalankan tugasnya. Namun, jika seorang jaksa melakukan tindak pidana di luar tugasnya, maka tidak ada alasan untuk memberikan perlindungan hukum.

“Imunitas itu sepanjang dilakukan dalam menjalankan tugas. Kalau melakukan tindak pidana yang tidak berkaitan dengan tugasnya, ya tetap harus diproses hukum,” tegasnya.

Kemudian Pasal 8B terkait Penggunaan Senjata Api oleh Jaksa, di mana izin penggunaan senjata api oleh jaksa hanya relevan dalam konteks membela diri.

“Penggunaan senjata api dimaksudkan untuk membela diri dalam keadaan tertekan, bukan untuk gagah-gagahan. Jaksa itu bukan aparatur keamanan,” katanya.

Lanjut ke Pasal 11A ayat (1) dan (2) terkait Rangkap Jabatan di Luar Instansi Kejaksaan, Fickar menekankan pentingnya pelarangan rangkap jabatan bagi jaksa.

“Rangkap jabatan di luar kejaksaan itu tidak relevan. Jaksa adalah aparatur penegak hukum, bukan toko ‘palugada’. Hal ini bisa mengganggu integritas tugas utamanya,” ujarnya.

Terkait Pasal 30B yang menyebutkan Perluasan Fungsi Intelijen Kejaksaan, Fickar juga mengkritisi perluasan fungsi intelijen kejaksaan yang mencakup kewenangan penyadapan. “Kewenangan ini hanya sah jika dilakukan dalam konteks pengawasan. Penggunaan di luar itu melanggar hukum,” tambahnya.

Sedangkan Pasal 30C huruf A terkait Peninjauan Kembali (PK) oleh kejaksaan, Fickar menilai tugas ini penting untuk memastikan keadilan. Namun, ia memperingatkan potensi penyalahgunaan kewenangan tersebut.

“PK itu untuk memperbaiki putusan agar sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Jika jaksa memperdagangkan dakwaan atau tuntutan, itu adalah kejahatan paling keji,” jelasnya.

Terakhir ada Pasal 35 huruf g terkait Koordinasi, Pengendalian, dan Penuntutan Sejak Lidik, yang mana Abdul Fickar menolak perluasan kewenangan kejaksaan dalam proses penyelidikan dan penyidikan. “Jaksa itu penuntut umum, eksekutor, dan pengawas. Perluasan kewenangan ini terlalu berlebihan,” ujarnya dengan tegas.

 

Perlu Evaluasi Mendalam

Terkait berbagai pasal kontroversial ini, Abdul Fickar menekankan perlunya revisi dan evaluasi mendalam agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

“Kejaksaan perlu fokus pada tugas inti sebagai penuntut umum dan eksekutor, tanpa mengambil alih peran instansi lain,” tandasnya.

Reaksi publik terhadap pasal-pasal ini terus berkembang, dan desakan untuk revisi UU Kejaksaan semakin menguat demi menjaga integritas penegakan hukum di Indonesia

Infografis

INFOGRAFIS: Deretan Kasus Besar yang Sedang Ditangani Kejagung (Liputan6.com / Abdillah)
INFOGRAFIS: Deretan Kasus Besar yang Sedang Ditangani Kejagung (Liputan6.com / Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya