ICJR Harap Polisi yang Terlibat Kasus Pemerasan di DWP Tak Hanya Diproses Etik Semata

Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menyoroti proses sidang etik terhadap 28 polisi yang memeras penonton Djakarta Warehouse Project atau DWP 2024.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 21 Jan 2025, 17:01 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2025, 17:01 WIB
5 Hal Mengapa DWP 2024 Jadi Festival EDM Paling Seru
DWP - dok: ist... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menyoroti proses sidang etik terhadap 28 polisi yang memeras penonton Djakarta Warehouse Project atau DWP 2024.

Menurut dia, dari putusan etik terkait kasus pemerasan DWP 2024 tersebut, seharusnya sudah terlihat ada unsur pidananya.

"Dari 28 anggota Polisi yang disidang karena pelanggaran etik, 3 diantaranya mendapatkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), sedangkan 25 sisanya dijatuhi sanksi demosi satu tahun hingga 8 tahun. Maka dari itu dengan bukti sidang etik dan keterangan korban, telah terang dugaan tindak pidana yang dapat direspon dengan adanya penyidikan," kata Maidina dalam keterangannya, Selasa (21/1/2025).

Menurut dia, kasus pemerasan oleh anggota polisi terhadap terduga pengguna narkotika bukan pertama kalinya terjadi. Banyak laporan penelitian dan investigasi jurnalis yang sudah menjabarkan praktik pemerasan dilakukan anggota penyidik polisi. 

"Pada tahun 2016, survei terhadap 730 perempuan pengguna narkoba suntik mengungkapkan bahwa 87% dari mereka pernah mengalami pemerasan oleh polisi secara pribadi ataupun keluarganya selama masa penangkapan. Mereka diminta sejumlah besar uang sebagai ganti untuk mendapatkan hukuman yang lebih ringan, termasuk untuk dapat dirujuk rehabilitasi, bahkan untuk dihentikan penyidikannya," ungkap Maidina.

Dia juga menjelaskan, Lembaga Bantun Hukum Masyarakat (LBHM) juga melaporkan, selama konsultasi hukum dengan 150 tahanan dari bulan Januari hingga Juni 2021, 9 orang dilaporkan mengalami pemerasan oleh polisi. Selanjutnya, Laporan Project Multatuli tahun 2022 juga menunjukkan bahwa pusat rehabilitasi terlibat dalam pemerasan. 

"Mereka meminta uang kepada pengguna narkotika setelah dipindahkan oleh polisi ke fasilitas tersebut, tanpa melalui proses penilaian formal dengan BNN setempat," ungkap Maidina.

 

 

Belajar dari yang Ada

Lainnya, lanjut dia, riset Yayasan Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) pada 2022 juga menemukan dari 41 responden yang pernah terjerat kasus narkoba yang didampingi AKSI pada 2020-2021, 28 orang mendapat kekerasan ekonomi/upaya pemerasan. 

"Nilai pemerasan minimal sebesar Rp7.500.000 dan maksimal Rp90.000.000, dengan rerata Rp28.700.000," rinci dia.

Maidina menegaskan, pemerasan dapat terus terjadi atas dasar masih digunakannya pendekatan pidana di dalam UU Narkotika dan penegakannya dilakukan dengan dasar hukum acara pidana yang tidak akuntabel dalam KUHAP saat ini.

“KUHAP mengatur penangkapan tidak secara mumpuni, absen untuk secara efektif menjamin pengawasan hakim terhadap seluruh tindakan penyidikan. KUHAP saat ini tidak mengenal izin penangkapan yang seharusnya dikeluarkan oleh otoritas pengadilan yang independen. Selain itu durasi masa penangkapan dalam UU Narkotika bertentangan dengan batasan dalam Hukum HAM Internasional yang hanya memperbolehkan maksimal selama 48 jam dan setelahnya harus dihadapkan kepada Hakim," kata dia. 

 

 

Kurangi Dampak Buruk

Dia pun mendorong pendekatan yang harusnya digunakan bagi pengguna narkotika adalah dekriminalisasi dan pengurangan dampak buruk penggunaan narkotika melalui revisi UU Narkotika.

Artinya, pengguna narkotika semestinya diserahkan kepada aktor kesehatan dan bukan menjadi kewenangan aparat kepolisian. 

“Pemerintah dan DPR perlu menghadirkan reformasi untuk mengawasi lebih ketat penyidikan oleh kepolisian, izin penangkapan harus diatur untuk hanya dapat dikeluarkan oleh hakim, perlu ada batasan waktu penangkapan yang tidak berlarut-larut dan orang yang telah ditangkap harus segera dihadirkan ke hadapan hakim dalam batas waktu tersebut. Hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan Revisi KUHAP,” dia menandasi. 

Sebelumnya, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, mendesak sudah seharusnya sanksi berat diberikan kepada setiap anggota Polri terlibat. Khususnya, mereka yang terbukti mendapat uang hasil memeras.

“Mereka yang terlibat tindak pidana harus menjalani pemeriksaan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya. Siapapun sepanjang menerima aliran dana bisa diperiksa dan dipidanakan," kata Fickar kepada awak media seperti dikutip Minggu (19/1/2025).

Fickar mengamini, memang saat ini mantan Direktur Reserse Narkoba (Dirnarkoba) Polda Metro Jaya Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak sudah dipecat dari institusi kepolisian. Namun sejatinya, penelusuran tidak berhenti di sana.

Sebab tak menutup kemungkinan, masih ada oknum polisi lainnya diperiksa jika ikut merasakan uang hasil pemerasan tersebut.

“Tergantung aliran uang sampai ke laut atau ke mana," ujar Fickar.

Fickar berharap, kasus pemerisan yang terjadi DWP menjadi catatan penting bagi aparat kepolisian agar semakin menegakkan keadilan dan transparan dalam penanganan kasus tersebut. Serta mendalami pihak terlibat sesuai bukti di lapangan.

"Bekerja konsisten sesuai alat bukti yang ada," Fickar menandasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya