Liputan6.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI AD meminta TNI terlibat dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Keterlibatan militer dalam program ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Wacana pelibatan TNI dalam ketahanan pangan bukanlah hal baru. Sejak 2012, Kementerian Pertanian dan TNI AD telah menandatangani nota kesepahaman terkait program ketahanan pangan.
Baca Juga
Meski demikian, pelaksanaannya membutuhkan regulasi yang lebih jelas agar selaras dengan tugas utama militer.
Advertisement
Menurut Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas, secara normatif terdapat tiga alasan yang memungkinkan keterlibatan TNI dalam sektor non-militer, termasuk pangan.
"TNI memang memiliki kapasitas dan sumber daya yang besar, tetapi harus dipastikan bahwa keterlibatannya dalam ketahanan pangan tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil,” ujar Anton.
Pertama, secara prinsip militer berfungsi sebagai kekuatan utama dalam menghadapi perang bersenjata. Namun, dalam kondisi damai, kekuatan militer sering kali tidak digunakan secara maksimal. Oleh karena itu, Anton menilai keterlibatan TNI dalam urusan sipil dapat menjadi alternatif pemanfaatan sumber daya yang tersedia.
Kedua, ketahanan pangan menjadi isu strategis di tengah ketidakpastian geopolitik dan dampak perubahan iklim. Konflik Rusia-Ukraina telah menunjukkan bagaimana rantai pasok pangan dapat terganggu akibat perang.
Anton mengatakan, laporan Global tentang Krisis Pangan 2024 mencatat bahwa 73 negara telah mengalami krisis pangan. Indonesia, sebagai bagian dari ekosistem global, perlu memperkuat strategi ketahanan pangan agar tidak terdampak gejolak internasional.
"Pelibatan TNI dalam urusan pangan bisa menjadi salah satu upaya memperkuat daya tahan nasional terhadap ancaman krisis pangan global. Namun, harus ada batasan yang jelas agar tidak menggeser fungsi utama militer,” kata Anton.
Ketiga, Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI telah membuka peluang bagi militer untuk terlibat dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang mencakup tugas-tugas di luar operasi tempur, termasuk mendukung ketahanan pangan.
Anton menekankan bahwa pelibatan TNI dalam program ketahanan pangan harus melalui keputusan politik negara, yang melibatkan pemerintah dan DPR. Payung hukum yang jelas diperlukan untuk mengatur aspek teknis seperti unsur yang dilibatkan, durasi, serta mekanisme pembiayaan.
Konteks Tugas Perbantuan
Dengan adanya regulasi yang terstruktur, Menurut Anton TNI dapat menjalankan tugasnya dalam koridor hukum, sementara DPR dapat menjalankan fungsi pengawasan.
“Kejelasan regulasi sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih antara peran militer dan instansi sipil yang selama ini bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan,” jelas Anton.
Meski demikian, Anton menegaskan bahwa keterlibatan TNI dalam ketahanan pangan harus tetap dalam konteks tugas perbantuan. Hal ini penting mengingat sektor pangan adalah domain sipil, dan kompetensi militer tidak secara khusus dibangun untuk menangani program ketahanan pangan secara menyeluruh.
Oleh karena itu, keterlibatan ini sebaiknya bersifat temporer agar tidak mengganggu profesionalisme dan kesiapsiagaan militer dalam menghadapi potensi ancaman pertahanan negara.
“Jika keterlibatan TNI ini bersifat jangka panjang tanpa regulasi yang jelas, maka ada risiko mengganggu fokus militer dalam menjaga pertahanan negara. Oleh karena itu, evaluasi berkala harus dilakukan,” tutup Anton.
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, keputusan politik yang matang menjadi syarat utama sebelum menerapkan kebijakan pelibatan TNI dalam urusan ketahanan pangan. Regulasi yang jelas diharapkan dapat memastikan bahwa peran militer tetap sesuai dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)