Liputan6.com, Jakarta - Sembilan Hakim Konstitusi telah menyelesaikan pembacaan putusan terhadap 40 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) Tahun 2024 yang diperiksa secara lanjut pada Senin, 24 Februari 2025.
Mahkamah Konstitusi pun telah mengabulkan 26 perkara, menolak 9 perkara, dan tidak menerima 5 perkara terkait PHPU Kada Tahun 2024. Dengan pengucapan putusan ini, MK menandakan bahwa seluruh perkara yang berjumlah 310 permohonan telah tuntas ditangani.
Advertisement
Baca Juga
Dari semua putusan yang dikabulkan, terdapat 24 perkara yang amar putusannya memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah yang dipersoalkan untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Advertisement
Daerah yang mengalami PSU di antaranya;
- Pilkada Kabupaten Pasaman;
- Pilkada Kabupaten Mahakam Ulu;
- Pilkada Kabupaten Boven Digoel;
- Pilkada Kabupaten Barito Utara;
- Pilkada Kabupaten Tasikmalaya;
- Pilkada Kabupaten Magetan,
- Pilkada Kabupaten Buru;
- Pilkada Provinsi Papua;
- Pilkada Kota Banjarbaru;
- Pilkada Kabupaten Empat Lawang;
- Pilkada Kabupaten Bangka Barat.
- Pilkada Kabupaten Serang;
- Pilkada Kabupaten Pesawaran;
- Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara;
- Pilkada Kota Sabang;
- Pilkada Kabupaten Kepulauan Talaud;
- Pilkada Kabupaten Banggai;
- Pilkada Kabupaten Gorontalo Utara;
- Pilkada Kabupaten Bungo;
- Pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan;
- Pilkada Kota Palopo;
- Pilkada Kabupaten Parigi Moutong;
- Pilkada Kabupaten Siak;
- Pilkada Kabupaten Pulau Taliabu.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari memandang carut marut Pemilihan Umum 2024 semakin terlihat. Mulai dari Pilpres hingga tahapan Pilkada ini yang terbukti di persidangan MK.
"Problematika Pilkada sama buruknya dengan proses penyelenggaraan Pemilu Presiden lalu, bentuk dan jenis kecurangannya juga hampir sama, bahkan kebanyakan di Mahkamah Konstitusi lebih fokus kepada syarat administrasi dibandingkan membongkar kecurangan berbentuk TSM, meskipun satu dua dari putusan MK memperlihatkan memang MK juga mau para pemohon yang mengajukan perkara betul-betul detail soal TSM, jadi tidak asal menyebut TSM," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (25/2/2025).
Meski demikian, Feri melihat sebagaian putusan MK sudah bagus, di mana mengoreksi berbagai proses penyelenggaraan Pilkada 2024. Hanya, dia menyayangkan waktu yang terlalu sempit yang seharusnya bisa dielaborasi sehingga banyak tak maksimal, yang bisa saja bisa menambah masalah baru untuk Pilkada ke depannya.
"Tapi sudah bisa kita lihat bahwa putusan ini terlaksana banyak putusan itu yang menurut saya perlu betul mengoreksi proses Pilkada. Sayangnya jika kita mau fair ya, sanksi berkenaan kelalaian penyelenggara Pemilu karena ini problematika syarat itu tidak terjadi walaupun itu bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi," ungkap dia.
Feri berharap, MK perlu memberikan pembelajaran kepada penyelenggara yang lalai dengan menyampaikannya dalam putusan bahwa penyelenggara betul-betul punya masalah serius dalam penyelenggaraan.
"Dan kalau itu terulang kembali maka diproses perselisihan hasil besok, mestinya Mahkamah membuka ruang ya agar penyelenggara-penyelenggara yang lain itu diberikan kasih (dialihkan) oleh DKPP," usulnya.
Dia pun sempat menyoroti apa yang terjadi di Pilkada Serang, di mana ada cawe-cawe Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto untuk memenangkan istrinya.
"Mestinya itu ada sanksi etik ya, menteri-menteri yang terlibat bermain politik kan sudah ada ketentuannya di dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada. Kalau mereka terlibat ya harusnya ada dampak administrasi berupa pemecatan atau berupa Pidana Pilkada," ungkap Feri.
Perbaikan Demokrasi di Tengah Efisiensi Anggaran, Bisakah?
Dia pun mengungkapkan sejumlah tantangan ke depan terkait PSU ini, diantaranya akan terjadi partisipasi yang menurun karena proses demokrasi yang buruk.
"(PSU) ini ada kecendrungan tingkat voter turnout atau keterlibatan orang memilih turun, rendah dalam proses PSU. Mestinya masyarakat harus sadar, bahwa mereka harus terlibat, bahwa ini kesempatan bagi mereka untuk kemudian menentukan pimpinannya di daerah," tutur Feri.
Dia juga mengingatkan, kepada para calon untuk juga tak setengah hati dalam PSU ini, di mana malah lebih banyak mengeluarkan uang daripada upaya mendekatkan kepada pemilih.
"Pastinya program visi, misi yang mereka lakukan untuk publik jauh harus lebih maksimal karena atau sudah membebani dua kali keuangan negara," jelas Feri.
Selain itu, tantangan ke depan akibat PSU ini adalah muncul beban negara di tengah efisiensi anggaran yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat dan daerah. "Ya memang dampak negatifnya akan muncul beban negara baru ya. Padahal mau bicara efisiensi," bebernya.
Jika dilihat, kata Feri, ada beberapa kasus yang menurutnya kalau dicermati bukan masalah yang esensial untuk dilakukan PSU. Misalnya, kealfaan penyelenggara pemilu terkait syarat, kealfaan peradilan dan memberikan surat keterangan terpidana atau tidaknya.
"Yang menurut saya sanksi pidananya terlalu kecil untuk kemudian menciptakan proses pemilu dengan biaya tinggi. Padahal harusnya berlaku proses penetapan kepala daerah bermasalah secara administrasi melalui proses penentuan di DPRD, jadi akan jadi pembelajaran kepada berbagai pihak," tuturnya.
"Mereka harus jujur. Kalau enggak orang akan untung karena akan melalui proses yang lebih ringan di DPRD, tidak kemudian harus PSU yang begitu-begituan, kecuali TSM, itu akan jauh untuk saya lebih bijaksana dan meringkan keuangan negara," kata Feri.
Mahalnya Ongkos Politik
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati melihat secara umum bahwa 40 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) Tahun 2024 ini tak ada yang menyinggung hasil, tapi banyak mempersoalkan terkait tata cara dan prosedur Pilkada 2024.
"Jadi tidak hasil (rekapitulasi Pilkada 2024), misalnya soal pencalonan dan DPT," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (25/2/2025).
Karena itu, Khoirunnisa memandang permasalah di MK ini menunjukkan ada persoalan di tingkat penyelenggara Pilkada 2024. Di mana, itu harus menjadi permasalahan serius ditangani.
"Ini menunjukkan bahwa ada persoalan di penyelenggara pilkadanya, karena tahapan pencalonan dan DPT itu kan di tahapan awal sekali," ungkap dia.
Khoirunnisa menegaskan, tak bisa disebut ada pemborosan terkait dilakukannya PSU di 24 daerah. Terlebih, tak relevan jika dikaitkan langsung dengan efisiensi.
"Ini soal pemenuhan hak konstitusional. Dan kalau bicara soal efisiensi, rasanya tidak pas jika justru yang diefisiensikan adalah pemilunya. Padahal banyak aspek lain yang lebih pas diefisiensi," ungkap dia.
Khoirunnisa menegaskan, proses politik apalagi memperbaikinya agar lebih baik, membutuhkan biaya yang tak kecil, terlebih untuk di Indonesia.
Dia pun mengungkapkan, justru ini harus menjadi pembelajaran bagi penyelenggara pilkada, dalam hal ini KPU untuk bisa bekerja lebih baik lagi dan tak menyebabkan negara lebih rugi.
"Pemilu memang membutuhkan cost, apalagi negara besar seperti Indonesia. Lalu dalam mekanisme pilkada kita, membuka ruang adanya PSU, sehingga ini seharusnya mendorong penyelenggara untuk cermat menyelenggarakan pilkada. Karena kalau tidak, maka bisa jadi pilkadanya yang diulang," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin melalui keterangan tertulis, menegaskan akan mempelajari terlebih dahulu putusan MK secara menyeluruh.
"Kami sedang mempelajari putusan MK secara menyeluruh untuk masing-masing permohonan di MK," kata dia.
Afifuddin pun menegaskan, putusan MK itu sudah didiskusikan, baik itu dibicarakan soal anggaran, kemudian logistiknya, dan tahapan lainnya.
"Dan kami sudah bahas semalam untuk segera menindaklanjutinya secara teknis, berkoordinasi dengan para pihak terkait anggaran, menyiapkan time line tahapan, menyiapkan badan ad hoc, menyiapkan logistik, dan juga memastikan cek DPT online dan lainnya, sehingga semua tahapan bisa dilakukan," pungkasnya.
Advertisement
Efisiensi Anggaran Bisa Jadi Hambatan
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow mengatakan, PSU ini jumlahnya kecil dibandingkan apa yang sudah selesai prosesnya. Namun, ini menjadi sorotan karena dilakukan di tengah efisiensi anggaran.
Padahal, menurut dia, ada sejumlah daerah yang seharusnya tak perlu dilakukan PSU. Misalnya di Kabupaten Pasaman yang karena surat dari pengadilan, kemudian di Tasikmalaya karena kekeliruan penghitungan periode, dan Banjarbaru yang KPU-nya tak mau cetak suara lagi.
"Yang gitu-gitu kan jadi terasa enggak adil sekarang karena kita sedang bicara tentang efisiensi. Kalau enggak bicara efisiensi, mungkin orang enggak mikir kesana juga. PSU ya sama dengan dulu, memang kita bicara tentang anggaran, tapi kan suasana psikologi bangsa ini tidak sama seperti sekarang ini," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (25/2/2025).
Jeirry menyadari ada cawe-cawe yang dilakukan pejabat negara, di mana membuat PSU ini terjadi. Menurutnya, masyarakat bisa melapor jika ada yang merasa dirugikan akan hal ini.
"Tentu yang merasa dirugikan atau mengalami ketidakadilan dengan proses ini. Mungkin si pasangan calon kepala daerahnya atau partai dari pasangan calon atau masyarakat dirugikan dengan PSU ini bisa (melaporkan). Karena anggaran yang dialihkan untuk juga pembiayaan ini, ini kan menganggu masyarakat," jelas dia.
"Mestinya uang itu digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan masyarakat, tapi dia jadi dipakai untuk pilkada," sambungnya.
Dia juga menyadari, sosialisasi PSU ini akan minim karena efisiensi. Karena itu perlu campur tangan pemerintah daerah untuk juga turun tangan.
"Selama ini pemerintah daerah dalam PSU itu tak bersemangat, suasananya begitu kalau PSU. Banyak orang yang agak malas, mungkin enggak terlalu semangat juga untuk ikut dibanding dengan kalau pilkada yang pertamanya, enggak bisa sekedar himbuan," tegasnya.
Momentum Perbaikan Kualitas Pilkada
Sementara, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Center for Public Policy Research Adinda Tenriangke Muchtar menilai dengan adanya PSU ini, menjadi momentum untuk memperbaiki pilkada ke depannya.
"Hal ini patut diapresiasi karena permasalahan penyelenggaraan pilkada mendapatkan ruang untuk diperbaiki untuk memastikan bahwa penyelenggaraannya lebih baik sehingga tidak bersengketa, selain itu menurut saya hal ini juga merupakan hal yang penting untuk memastikan agar penyelenggaraan pilkada sesuai dengan tata cara dan ketentuan yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan-peraturan teknis," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (25/2/2025).
Menurut Adinda, keputusan MK bisa menjadi masukan kepada penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan untuk membenahi diri ke depannya walau memang tidak ada yang sempurna dalam pelaksanaan suatu kegiatan termasuk pemilu maupun pilkada.
"(PSU) ini menjadi kesempatan perbaikan ke depannya dan bagusnya ada tindak lanjut sesuai dengan koridor hukum untuk memperbaiki hal ini. Jadi diharapkan penyelenggaraan Pilkada bisa lebih baik lagi, sehingga tidak ada lagi atau jumlah pemungutan suara ulang atau tidak perlu terjadi sebanyak yang sekarang," jelas dia.
Adinda menegaskan, ada efisiensi atau tidak, konsekuensi logis adanya anggaran lebih digunakan untuk PSU itu sudah tak bisa dihindari. Negara, lanjut dia, seharusnya sudah menyiapkan alokasi khusus tersebut.
"Justru seperti yang saya sampaikan tadi, ini menjadi catatan bersama pembelajaran agar kalau semangatnya untuk memastikan efektivitas dan efisiensi terus penyelenggaraan pilkada yang sesuai dengan koridornya, mestinya ditata kelola sesuai aturan dan ketentuan berlaku, jadi logistik juga bisa terpenuhi," ungkap dia.
"Tentu ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri terkait efisiensi oleh pemerintah pusat dan daerah yang menyelenggarakan pemungutan suara ulang di 24 daerah terkait yang melakukan efisiensi. Jadi dibutuhkan waktu yang tepat untuk dilakukan PSU, harus ada logistik dan waktu yang tepat, jadi harus dipersiapkan dengan matang," jelasnya.
Adinda juga mengungkapkan, momentum ini membuat pemilih menghindari politik uang. Karena resikonya sangat besar sekali.
"Jangan memilih sesuatu yang bukan karena kita inginkan tapi karena dibayar. Dan juga waspada terkait informasi-informasi bohong dan coba menjadi pemilih yang berintegritas, blessing in disguise dalam PSU ini jadi pencerahan kepada para pemilih untuk menentukan pilihannya kembali. Apakah dia tetap dengan pilihan sama atau mempertimbangkan pilihan yang cerdas dan bijak," pungkasnya.
PSU Harus Tetap Jalan
Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menilai keputusan MK menunjukkan adanya kesalahan pada kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara Pilkada.
“Putusan MK terkait dengan perselisihan hasil pilkada hari ini memang mengindikasikan beberapa KPU di tingkat kabupaten kota itu bekerja dengan kurang profesional, bahkan lalai baik secara administrasi maupun secara hukum,” kata Rifqi kepada wartawan, Selasa (25/2/2025).
Rifqi menegaskan, pihaknya akan melakukan evaluasi dengan memanggil penyelenggara Pemilu untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut.
“Akan menjadi bagian penting evaluasi Komisi II DPR RI, terhadap penyelenggaraan Pilkada 2024,” ungkapnya.
Politikus NasDem itu menyebut, pihaknya akan memastikan bahwa ke depan harus ada fokus dan evaluasi rekrutmen penyelenggara Pemilu.
“Termasuk kualitas penyelenggara pemilu, termasuk ke depan bagaimana mekanisme rekrutmen penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu di seluruh Indonesia,” ucap Rifqi.
Sementara, Penyelenggaran PSU tersebut akan dibebankan ke APBD masing-masing, sebab APBN tengah melakukan efisiensi.
“Terkait efisiensi anggaran, saya kira bagaimana pun 24 putusan MK ini akan menjadi kewajiban bagi APBD masing-masing, kami tentu akan melakukan exercisement dengan kementerian terkait, kementerian dalam negeri terutama,” kata rifqi.
Meski demikian, Rifqi menyebut APBN bisa membantu daerah untuk pelaksaan PSU. “Jika Memang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan UU 10 Tahun 2016, APBN bisa melakukan perbantuan. Dan karena itu pemerintah, melalui Menkeu saya kira juga akan segera kita segera koordinasikan,” pungkasnya.
Sementara, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menyatakan Pemda akan kesulitan menggelar PSU, sebab saat ini tengah diterapkan efisiensi anggaran.
“Memang wilayah pernah meminta tambahan puluhan miliar untuk melakukan pilkada ulang. Hanya 2 yang memilikinya pada saat itu. Kini jika ada 24 pastinya akan menghabis ratusan miliar. Dan ditengah banyaknya efisiensi daerah pasti akan kesulitan,” kata Dede saat dikonfirmasi, Selasa (25/2/2025).
Menurutnya, penyelenggaraan PSU akan dibantu anggaran dari Pemerintah Pusat. lKemungkinan ini hanya ditangani oleh pemerintah pusat,” kata dia.
Dede menegaskan perlu ada evaluasi segera terharap penyelenggaran Pemilu terutama KPU.
“Kurang cermatnya KPU daerah melakukan verifikasi dari awal. Akibatnya seperti ini. Kami akan eveluasi KPU segera, dan dudukan masalah ini dengan Kemendgari,” kata dia.
Sementara terkait adanya dugaan keterlibatan menteri ataupun pejabat, Dede menyerahkan pada aparat hukum. “Mengenai dugaan kecurangan semua tergantung keputusan MK. Apa sanksi ataupun tindakan yang akan dilakukan negara,” pungkasnya.
Advertisement
Infografis 24 Daerah Gelar Coblos Ulang Pilkada 2024
