Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai pernyataan Menkumham Amir Syamsuddin yang menyebut penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan remisi tidak berlaku surut dinilai inkonsisten dan bahkan diskriminatif.
Sebab, ketika diminta ketegasan soal putusan Mahkamah Konsitusi (MK) tertanggal 22 November 2012 terkait Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kemenkumham bersikeras putusan MK tersebut berlaku surut.
"Negara ini memang negara arogan, negara yang konsisten untuk tidak konsisten," kata Margarito dalam keterangannya kepada Liputan6.com di Jakarta, Jakarta, Selasa (16/7/2013).
Dijelaskan Margarito, ketidakkonsistenan Kemenkumham seperti penerapan Pasal 197 KUHAP, khususnya Pasal 197 ayat (1) huruf k yang menyebut jelas bila putusan pengadilan tak memuat perintah penahanan maka tak bisa dieksekusi.
"Tapi faktanya, tidak ada perintah penahanan tetap diekseskusi. Ketika penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut dibawa ke MK oleh Yusril Ihza Mahendra mewakili kliennya Parlin Riduansyah dan telah menghasilkan putusan MK tertanggal 22 November 2012. Kemenkumham seolah ogah menjalankan putusan tersebut dan malah menyebut putusan tersebut berlaku surut," beber dia.
Sehingga Kemenkumham, menurut dia, dinilai tak mau membebaskan napi yang kadung dipenjara karena menjadi korban penerapan Pasal 197 huruf k KUHAP tersebut. Padahal Ketua MK Akil Mochtar secara tegas telah menyebut putusan MK itu tidak berlaku surut. Bahkan Undang-Undang MK pasal 47 jelas mencantumkan putusan MK tidak berlaku surut (asas retroaktif).
"Efek berlakunya putusan MK bersifat prospektif ke depan (forward looking) dan tidak retroaktif ke belakang (backward looking). Jadi, ini yang menjadi menurunkan martabat PP 99/2012 dan Pasal 197 harkat dan martabatnya menjadi rendah," pungkas Margarito. (Ali/Sss)
Sebab, ketika diminta ketegasan soal putusan Mahkamah Konsitusi (MK) tertanggal 22 November 2012 terkait Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kemenkumham bersikeras putusan MK tersebut berlaku surut.
"Negara ini memang negara arogan, negara yang konsisten untuk tidak konsisten," kata Margarito dalam keterangannya kepada Liputan6.com di Jakarta, Jakarta, Selasa (16/7/2013).
Dijelaskan Margarito, ketidakkonsistenan Kemenkumham seperti penerapan Pasal 197 KUHAP, khususnya Pasal 197 ayat (1) huruf k yang menyebut jelas bila putusan pengadilan tak memuat perintah penahanan maka tak bisa dieksekusi.
"Tapi faktanya, tidak ada perintah penahanan tetap diekseskusi. Ketika penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut dibawa ke MK oleh Yusril Ihza Mahendra mewakili kliennya Parlin Riduansyah dan telah menghasilkan putusan MK tertanggal 22 November 2012. Kemenkumham seolah ogah menjalankan putusan tersebut dan malah menyebut putusan tersebut berlaku surut," beber dia.
Sehingga Kemenkumham, menurut dia, dinilai tak mau membebaskan napi yang kadung dipenjara karena menjadi korban penerapan Pasal 197 huruf k KUHAP tersebut. Padahal Ketua MK Akil Mochtar secara tegas telah menyebut putusan MK itu tidak berlaku surut. Bahkan Undang-Undang MK pasal 47 jelas mencantumkan putusan MK tidak berlaku surut (asas retroaktif).
"Efek berlakunya putusan MK bersifat prospektif ke depan (forward looking) dan tidak retroaktif ke belakang (backward looking). Jadi, ini yang menjadi menurunkan martabat PP 99/2012 dan Pasal 197 harkat dan martabatnya menjadi rendah," pungkas Margarito. (Ali/Sss)