Dirjen PAS Minta Komisi III Pisahkan Napi Teroris dan Narkoba

Plh Dirjen PAS Bambang Krisbanu berharap agar pemerintah dan DPR sepakat untuk mereformasi fungsi lapas.

oleh Riski Adam diperbarui 26 Agu 2013, 15:17 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2013, 15:17 WIB
bambang-krisbanu-130826b.jpg
Pelaksana harian (Plh) Direktur Jendral Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Bambang Krisbanu berharap agar pemerintah dan DPR sepakat untuk mereformasi fungsi lembaga pemasyarakatan. Hal itu terkait pemisahkan narapidana kasus korupsi, teroris, dan narkoba.

Hal tersebut diungkapkan Bambang usai menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III DPR RI dengan Kalapas seluruh Indonesia yang naungi Ditjen PAS Kementerian Hukum dan HAM di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (26/8/2013).

"Itu harapan kami (pemisahan napi teroris, narkoba, dan korupsi), semoga ini jadi perhatian Komisi III dengan pihak kementerian nantinya," kata Bambang.

Bambang menjelaskan, pihaknya mengapresiasi langkah Komisi III untuk mengundang Kalapas se-Indonesia untuk mendengar masukan langsung dari bawah, terkait fenomena kerusuhan yang terjadi di beberapa lapas belakangan ini.

"Sekian puluh tahun mungkin baru kali ini Komisi III memanggil para Kalapas. Khususnya Kalapas yang ada di daerah dan itu baru kali ini. Intinya adalah komisi III itu sangat prihatin dengan kondisi lapas yang dengan penyakit lamanya saja belum bisa teratasi dengan maksimal. Seperti kelebihan kapasitas, kurang berkelas, bahkan kurang anggaran," tuturnya.

Bambang menjelaskan, masalah-masalah yang terjadi dalam lapas itu disebebkan banyak faktor. Yakni terjadinya kelebihan kapasitas, pencampuran antara napi tindak pidana ringan dengan teroris, serta napi korupsi dan napi pengguna narkoba. Ditambah lagi fasilitas yang kurang yang bisa mempengaruhi fungsi pembinaan secara optimal.

"Contoh yang belum teratasi adalah kelebihan kapasitas. Muncul lagi sekarang masalah-masalah yang lebih pelik misalnya teroris. Kami bukan ahlinya ngurus teroris, tapi ditempatkan dalam lapas. Kami harus melakukan deradikalisasi. Istilah itu saja baru kedengaran baru kemarin," sesalnya.

"Yang kedua masalah narkoba, kami bukan ahlinya untuk terapi dan rehabilitasi sementara pengguna saja kurang lebih sudah lebih sekitar 15.000 orang. Kami enggak punya dokter, enggak punya klinik, fasilitas enggak punya. Belum lagi ditambah masalah keberadaan napi korupsi yang berdampak pada psikologis petugas kami yang terjadi di lapangan," jelas Bambang. (Mut/Ism)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya