Liputan6.com, Jakarta Kematian mendadak atau Sudden Adult Death Syndrome (SADS), belakangan ini menjadi perbincangan banyak orang setelah jumlahnya meningkat, terlebih sejak pandemi COVID-19. Beberapa pesohor diketahui mengalami kematian mendadak bahkan di usia muda.
Kondisi ini ternyata diketahui menjadi penyebab kematian nomor satu di Amerika Serikat dan banyak menyerang orang dewasa, terutama laki-laki di usia 30 sampai 40-an.
Meski terdapat banyak faktor, SADS sering diasosiasikan dengan gangguan irama jantung atau aritmia jantung. Hal ini dikarenakan diduga banyak kasus kematian mendadak seperti saat tidur disebabkan karena adanya gangguan irama jantung fatal (maligna) yang tidak terdeteksi sebelumnya.
Advertisement
Jumlah pasien dengan gangguan irama jantung yang fatal sangat sedikit sekali dibandingkan dengan jumlah pasien aritmia, tetapi akibatnya sangat fatal dan bisa menyebabkan kematian mendadak.
"Gambaran umumnya, dalam kondisi jantung sehat, aritmia jantung mungkin tidak akan mengganggu kesehatan Anda. Namun jika Anda memiliki suatu kondisi atau kelainan yang bisa menyebabkan aritmia jantung terjadi terus menerus, maka gangguan ini bisa saja menyebabkan masalah kesehatan dan terburuknya henti detak jantung mendadak yang menyebabkan kematian," tutur dr. Ignatius Yansen Ng, Sp.JP (K), FIHA, Konsultan Kardiologi Intervensi & Aritmia Eka Hospital BSD.
Dia menjelaskan, Aritmia jantung merupakan gangguan yang menyebabkan gangguan pada detak jantung, dimana interval detaknya bisa menjadi lebih cepat, lebih lambat atau tidak teratur.
Aritmia adalah penyakit yang tergolong sebagai silent killer, yaitu penyebab kematian yang minim atau hampir tidak menunjukan gejala sama sekali
Bahkan, penderita penyakit ini bisa saja akan terlihat dalam keadaan sehat dan bugar sebelum akhirnya menyerang mereka.
Akibatnya, banyak orang yang terlambat untuk mendapatkan pertolongan karena penyakit ini menyerang di saat yang tidak terduga, seperti saat tidur.
"Penyebabnya, aktivitas sinyal listrik yang tidak normal dan menyebabkan irama detak jantung menjadi tidak stabil," katanya.
Kondisi tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor, mulai dari bawaan genetik, penyakit jantung koroner, kelainan otot jantung, gangguan elektrolit, penyakit bawaan lainnya seperti diabetes, hingga penggunaan obat-obatan dan gaya hidup yang tidak sehat seperti konsumsi alkohol.
Makanya, meskipun sebagian besar kasus Aritmia tidak menunjukan gejala, ada beberapa gejala awal dari Aritmia yang bisa diwaspadai sejak dini.
Seperti sakit kepala, lalu detak jantung tidak beraturan, dalam kasus ini bisa lebih cepat atau bisa lebih lambat. Selanjutnya, sering kelelahan, pingsan atau pandangan gelap, nyeri dada, sesak napas, kejang.
"Beberapa gejala lain yang tidak disebutkan mungkin juga bisa dirasakan tergantung dari kondisi penderitanya. Gejala-gejala tersebut bisa timbul kapan saja, baik itu saat penyakit masih ringan atau saat penyakit sudah memburuk," ungkap Ignatius Yansen.
Â
Bisa Dideteksi Dini
Aritmia juga ternyata bisa dideteksi sedini mungkin, namun akan sulit jika dilakukan secara mandiri. Selain gejalanya yang tidak menentu, sifatnya yang silent killer membuat kondisi ini semakin sulit untuk dideteksi dan bisa menyerang kapan saja.
Maka, cara yang paling efektif dalam mendeteksi adalah dengan memeriksakan diri kepada dokter. Nantinya, dokter dapat menganalisis aktifitas listrik jantung pasien secara langsung dengan menggunakan alat penunjang.
"Seperti elektrokardiogram (EKG) atau holter, pemeriksaan penunjang lain berupa ekokardiografi, tes treadmill atau melakukan pemeriksaan invasif berupa pemeriksaan listrik jantung (studi elektrofisiologi), yang merupakan standard baku emas untuk diagnosa gangguan aritmia," tuturnya
Namun, ada satu hal yang bisa dilakukan secara mandiri untuk mengantisipasi aritmia jantung, yaitu dengan menghitung denyut nadi sendiri.
Caranya, dengan menempelkan 2 jari pada denyut nadi di pergelangan tangan atau bagian leher samping, lalu hitung denyut nadi selama 1 menit dengan bantuan stopwatch.
"Detak jantung yang normal umumnya akan berdetak sebanyak 60 - 100 kali dalam 1 menit, sehingga jika Anda menemukan jumlah detak jantung Anda berada di atas, di bawah normal atau tidak beraturan, segera periksakan diri Anda kepada dokter," katanya.
Hingga kini, aritmia saat ini tidak bisa dicegah dan diobati. Namun masyarakat dapat mengantisipasi dan menurunkan risikonya dengan rutin memeriksakan diri ke dokter, terutama jika memiliki riwayat keluarga dengan kematian mendadak yang disebabkan oleh aritmia atau riwayat keluarga dengan kematian di usia muda.
"Selain itu, penerapan hidup sehat juga sebaiknya dilakukan untuk menurunkan risiko dari aritmia, seperti menghindari konsumsi alkohol, mengurangi asupan makanan berlemak tinggi, mengelola stres dengan bijak, dan rutin melatih jantung dengan berolahraga," katanya.
Advertisement