[OPINI] Tak Perlu Gentar Menyongsong MEA

Sejarah panjang bangsa ini membuktikan, hanya dengan menyerang (outward looking) rakyat Indonesia bisa lebih sejahtera.

oleh Liputan6 diperbarui 29 Des 2015, 18:35 WIB
Diterbitkan 29 Des 2015, 18:35 WIB
Faisal Basri
Faisal Basri (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Pada abad kedua masehi, serombongan warga Nusantara dengan kapal dan sistem navigasi yang didesain sendiri telah menjelajah hingga ke Afrika, menjual hasil bumi Nusantara dan membeli produksi lokal di sana untuk dibawa pulang.

Setengah abad kemudian, kerajaan Sriwijaya menguasai perairan Nusantara dan sangat disegani di Selat Malaka dan Samudera Hindia. Tidak sebatas melakukan perdagangan lintas samudera, kerajaan Sriwijaya juga melakukan perjanjian bilateral dengan kerajaan di Tiongkok untuk memajukan perdagangan dan bekerja sama menumpas kawanan perompak di sepanjang jalur perdagangan.

Kejayaan Majapahit pada abad XII juga tidak terlepas dari ketangguhan armada laut dan dagangnya, sehingga mampu berkiprah dalam perdagangan luar negeri.

Kodrat negara kepulauan sejatinya memang terbuka. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia—dengan hamparan pulau-pulau yang dipertautkan oleh lautan membentuk zamrud khatulistiwa—perdaganganlah yang menjadi motor penggerak kemakmuran.

 



Tanpa perdagangan, sebagian besar hasil bumi bakal teronggok membusuk dan berbagai kebutuhan yang belum mampu dihasilkan sendiri, bisa didatangkan dari luar negeri.

Sebagian besar negara ASEAN juga berkarakter terbuka sejak lama. Porsi ekspor dan impor dalam produk domestik bruto (PDB) rata-rata negara ASEAN relatif sangat tinggi. Sejak awal 2000-an perdagangan di antara sesama negara ASEAN praktis sudah bebas, nyaris tanpa hambatan.

Tidak sebatas perdagangan. Mobilitas manusia antar negara ASEAN juga tanpa hambatan berarti. Jutaan tenaga kerja Indonesia bekerja di Malaysia dan Singapura.

Maskapai penerbangan ASEAN sudah lama leluasa mendarat di berbagai kota di Indonesia. Bank-bank milik Malaysia dan Singapura dengan mudah dijumpai di berbagai kota. Bahkan, bank-bank asing di luar ASEAN sekalipun, memperoleh perlakuan yang sama.

Tenaga profesional seperti akuntan, penasihat keuangan, dan manajer pabrik dari negara luar dengan mudah ditemui di berbagai perusahaan nasional maupun multinasional.

Lantas, apa yang hendak dicapai dengan MEA? Jangan terpukau dengan kepanjangannya: Masyarakat Ekonomi ASEAN. MEA jauh api dari panggang dengan Uni Eropa. Dari namanya saja sudah mencerminkan perbedaan mendasar.

Uni Eropa sejak berdirinya sudah menerapkan berbagai instrumen untuk berintegrasi. Mereka punya mata uang tunggal, anggaran tersendiri, dan Parlemen Eropa. Semua negara anggota menganut demokrasi dan standar sosial yang tinggi.

MEA tidak pernah menggunakan kata integrasi dengan kelengkapan instrumennya. ASEAN lebih menekankan pada integrasi dengan perekonomian global. Memang, pendirian ASEAN lebih sarat dengan muatan politik ketimbang ekonomi.

ASEAN berdiri ketika perang Vietnam sedang berkecamuk, muncul ketakutan penetrasi komunisme di Asia Tenggara, serta Indonesia dan Malaysia baru saja selesai berkonfrontasi. Kala itu tidak satu pun negara ASEAN memiliki hubungan diplomatik dengan Tiongkok.

Instrumen yang diandalkan adalah kerja sama. Kesepakatan hampir selalu diiringi oleh pengeculian atau exclusion list yang panjang. Dalam kerangka MEA, yang mengemuka bukanlah integrasi atau unifikasi, melainkan konektivitas lewat physical connectivity, institutional connectivity, dan people-to-people connectivity.

Karakteristik ASEAN yang outward looking terlihat dari porsi perdagangan intra-ASEAN yang sangat rendah dan cenderung mandek. Pada 2004, perdagangan intra-ASEAN hanya 24,3 persen dari keseluruhan perdagangan luar negerinya dan turun menjadi 24 persen pada 2014.

Bandingkan dengan perdagangan intra-Uni Eropa yang mencapai hampir dua pertiga dari total perdagangan luar negerinya pada 2013, dan NAFTA sekitar separuh dari total perdagangan luar negeri Amerika, Kanada, dan Meksiko. Mitra dagang utama mayoritas negara ASEAN adalah Tiongkok, Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Australia, India, Rusia, Kanada, dan Selandia Baru.

Apakah dengan begitu MEA tidak membawa manfaat bagi negara-negara ASEAN? Tentu saja tidak. Dengan mengedepankan konektivitas, pasar ASEAN lebih terintegrasi. Pihak luar ASEAN memandang ASEAN sebagai satu pasar sehingga lebih memikat.

Betapa tidak, PDB berdasarkan paritas daya beli (GDP based on purchasing power parity) ASEAN pada 2014 senilai lebih dari 6 triliun dolar AS, terbesar keempat setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan India. Jepang di urutan kelima.

Pasar ASEAN yang relatif besar ini menambah daya tarik bagi investor dari luar ASEAN dan juga investor dari dalam ASEAN. Sekalipun MEA terwujud, investasi asing langsung di ASEAN melonjak tajam dari 21 miliar dolar AS pada 2000 menjadi 112 miliar dolar AS pada 2014.

Pada periode yang sama, investasi asing langsung dari dalam ASEAN sendiri juga melonjak dari 0,8 miliar dolar AS menjadi 24,4 miliar dolar AS. Walaupun porsi penanaman modal asing langsung intra-ASEAN relatif rendah, namun peningkatannya cukup menakjubkan, dari hanya 2,8 persen tahun 2000 menjadi 17,5 persen pada 2014.
 
Tantangan terbesar bagi Indonesia adalah bagaimana menarik sebanyak mungkin penanaman modal asing langsung itu. Bukan hanya menjadikan Indonesia sebagai target pasar semata, melainkan memilih Indonesia sebagai production base untuk pasar regional maupun global.

Sejauh ini Indonesia agak tercecer, Vietnam dan Malaysia lebih banyak dipilih oleh produsen kelas dunia. Belakangan Vietnam menjadi primadona baru. Boleh jadi Myanmar akan menyusul.

Indonesia tidak boleh terpaku pada konsep komoditi unggulan. Kelebihan dari ketiga negara yang disebutkan terdahulu adalah pada kemampuannya beradaptasi dengan sistem global supply chain. Ketiga negara itu mempersiapkan infrastruktur pendukung agar dilirik oleh produsen parts and components. Jadi, yang dijadikan target adalah kegiatan unggulan, bukan produk unggulan.

Di era MEA, ancaman utama bukanlah membanjirnya barang impor dari ASEAN, karena era ASEAN Free Trade Area (AFTA) sudah lama terwujud. Durian Bangkok telah lama membanjiri Indonesia. Produk minuman dari Malaysia sudah merajalela. Sebaliknya, Indonesia memiliki peluang memasarkan beragam buah-buahan dan sayur mayur. Kuncinya adalah pembenahan pasca panen dan dukungan logistik.

Jika hendak memperoleh maslahat (benefit) lebih besar, mau tak mau Indonesia harus memperkokoh industrialisasi agar porsi produk manufaktur dalam ekspor naik signifikan. Hanya dengan meningkatkan ekspor manufaktur, Indonesia dapat menikmati additional gains from trade dari peningkatan perdagangan intra-industri.

Namun bagaimanapun, karena pasar Indonesia terbesar di ASEAN—dua kali lipat lebih besar dari Thailand yang di urutan kedua—potensi maslahat yang bisa digapai Indonesia relatif lebih kecil.

Dengan pertimbangan itu, Indonesia selayaknya mendorong ASEAN memperlebar jangkauan dengan menggandeng negara-negara yang pasarnya lebih besar. Dengan Tiongkok ASEAN telah mengikatkan lewat ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).

Vietnam tampaknya tak bisa menunggu inisiatif ASEAN selanjutnya. Dengan kesadaran penuh, Vietnam lebih maju dua-tiga langkah. Vietnam bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP) yang dimotori Amerika Serikat dan telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa.

Indonesia baru menyatakan minat. Produk-produk Indonesia yang hendak masuk ke Amerika Serikat harus melewati jalan biasa sedangkan Vietnam menikmati jalan tol bebas hambatan.

Ironis kalau kita menatap kembali ke sejarah panjang Nusantara. Untuk jasa keuangan, khususnya perbankan, Indonesia sangat tertinggal. Tiga bank terbesar dari segi aset diborong oleh Singapura. Tiga posisi berikutnya diduduki oleh bank-bank Malaysia.

Di posisi ke-7 sampai ke-10 diisi oleh bank-bank Thailand. Bank Mandiri sebagai bank terbesar di Tanah Air menyusul di posisi ke-11. BRI, BCA, dan BNI menguntil setelah Mandiri.

Supaya lebih bertaji, tidak ada pilihan lain bagi bank-bank nasional kecuali melakukan konsolidasi dengan bergabung. Jika misalnya Mandiri dan BNI bergabung, posisinya langsung naik ke urutan ke-7. Singapura, Malaysia, dan Thailand jauh hari sudah melakukan konsolidasi secara konsisten.

Bank ibarat jantung perekonomian. Fungsinya menyedot dana dari masyarakat dan memompakan kembali dana itu ke masyarakat dalam bentuk kredit. Betapa lemah fungsi jantung dalam perekonomian Indonesia, tercermin dari besarnya kredit yang disalurkan sektor keuangan hanya 46 persen dari PDB, jauh lebih kecil dibandingkan Thailand sebesar 173 persen, Malaysia 143 persen, dan Vietnam 108 persen.

Kita hanya menang tipis terhadap Kamboja (40 persen). Tentu saja, kondisi di atas disebabkan oleh dana pihak ketiga yang juga masih relatif rendah.

Tak heran karena jumlah orang dewasa yang memiliki akses ke perbankan (financial inclusion index) juga sangat rendah yaitu hanya 36,1 persen. Bandingkan dengan 80,7 persen untuk Malaysia dan 78,1 persen untuk Thailand.

Tiada jalan mundur bagi Indonesia. Sejarah panjang bangsa ini membuktikan, hanya dengan menyerang (outward looking) rakyat Indonesia bisa lebih sejahtera. Jangan karena alasan tidak siap, membuat kita semakin menutup diri.

Dengan lebih menutup diri dan defensif, risikonya adalah keterpurukan relatif lebih dalam. Kita akan semakin tercecer dalam kancah global.

Saatnya membangkitkan semangat dan tekad baru, kembali ke jati diri sebagai bangsa maritim dengan memperkokoh sarana dan prasarana perhubungan laut. Penguatan transportasi laut dengan kelengkapan sarana pendukungnya, menjadi modal dasar untuk memenuhi prasyarat mutlak untuk berjaya mengarungi integrasi regional dan global.

Prasyarat itu adalah mengintegrasikan perekonomian nasional. Bagaimana mungkin kita berhasil berintegrasi dengan perekonomian regional dan global, kalau perekonomian nasional sendiri belum terintegrasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya