, Berlin - Menurut studi terbaru National Discrimination and Racism Monitor, lebih dari 60% warga kulit berwarna dan Muslim di Jerman pernah mengalami diskriminasi. Dampaknya bisa sangat serius.
Fatma adalah seorang guru TK di Berlin. Dia bercerita, pengalaman diskriminasinya dimulai sejak pagi hari saat berangkat kerja.
Baca Juga
"Penumpang lain melirik saya," ujar Fatma yang berbusana modis dan mengenakan jilbab, dikutip dari laman DW Indonesia, Jumat (28/3/2025).
Advertisement
"Instruktur di program pendidikan guru TK pernah bilang jilbab saya tidak higienis."
Meski lulus dengan nilai "sangat baik", Fatma kesulitan mendapat pekerjaan. Padahal guru TK sangat dibutuhkan di Berlin dan seluruh Jerman. "Jilbab jadi penghalang. Ini menyakitkan," keluhnya.
Hanna, warga Berlin lain, juga kerap menghadapi "komentar kasar" di transportasi umum karena rambut hitam miliknya dan anak-anaknya.
"Saya tidak berani masuk ke lingkungan tertentu. Orang menyuruh saya pulang ke negara asal," ceritanya.
Rasisme Bukan Kebetulan
"Pengalaman diskriminasi bukan hal acak," tegas Aylin Mengi, salah satu peneliti Racism Monitor dari Pusat Penelitian Integrasi dan Migrasi Jerman.
Studi ini menyurvei hampir 10.000 orang, salah satu data terlengkap tentang rasisme di Jerman.
Laporan Maret 2025 menunjukkan, kelompok yang dianggap imigran atau Muslim paling rentan diskriminasi, terlepas dari status sebenarnya. Penyebabnya beragam, mulai dari jilbab (seperti Fatma), warna kulit, atau ciri fisik seperti rambut hitam (Hanna).
Lebih dari separuh responden yang menjadi sasaran melaporkan pengalaman diskriminasi minimal sebulan sekali."Rasisme makin terselubung"Perempuan Muslim dan warga kulit hitam paling terdampak. Lebih dari 60% mengalami diskriminasi rutin dalam keseharian.
"Kami menemukan bahwa diskriminasi tidak merata di masyarakat Jerman," kata Cihan Sinanoglu, kepala Racism Monitor, kepada DW. "Dan kami menilai rasisme di Jerman kini semakin terselubung dan menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial."
Sinanoglu berpendapat, banyak warga Jerman menganggap minoritas etnis atau agama terlalu menuntut hak politik. "Ini membuktikan bahwa sebagian kelompok masih dipinggirkan hak politiknya."
Orang yang pernah mengalami diskriminasi di Jerman, berhadapan dengan arus utama yang masih mengakar kuat dengan rasisme. "Lebih dari seperlima penduduk Jerman memiliki sikap rasis yang mengakar," ucap Sinanoglu.
Â
Dampak Psikologis Rasisme
Menurut Sinanoglu, prasangka dan pengucilan dapat menimbulkan konsekuensi yang luas. "Kecemasan dan depresi meningkat ketika saya mengalami diskriminasi dan rasisme. Dan kepercayaan terhadap institusi sosial semakin menurun ketika saya mengalami diskriminasi," katanya.
Para penulis penelitian turut mengkritik fakta bahwa partai politik terlalu sering mengesampingkan rasisme di Jerman sebagai masalah minoritas. "Setiap tiga keluarga di Jerman berkaitan dengan sejarah migrasi," kata Naika Foroutan, kepala pusat penelitian, dalam presentasi hasil pemantauan data. "Pengalaman diskriminatif mempengaruhi sebagian besar masyarakat."
Foroutan percaya bahwa satu wawasan yang terlalu sering hilang dalam diskusi tentang rasisme di Jerman adalah bahwa "mayoritas besar menentang rasisme di Jerman. Orang ingin belajar, dan mereka ingin mendapat informasi tentang rasisme."
Ferda Ataman, komisioner federal untuk anti-diskriminasi, melihat hasil penelitian ini sebagai tugas yang jelas bagi para politisi. "Jerman memiliki undang-undang anti-diskriminasi yang paling lemah. Penelitian ini jelas menunjukkan bahwa orang perlu dilindungi dengan lebih baik," kata Ataman kepada DW.
Tuntutan Ataman terutama ditujukan kepada pemerintah Jerman di masa depan, yang saat ini sedang diupayakan pembentukannya oleh Partai CDU yang konservatif dan Partai SPD yang beraliran kiri-tengah di Berlin.
Advertisement
