Liputan6.com, Jakarta - Pada Jumat 23 Januari 2015, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menandatangani perpanjangan nota kesepahaman (MoU) amandemen Kontrak Karya (KK) Freeport yang berlaku selama 6 bulan.
Perpanjangan dilakukan karena Pemerintah RI dan Freeport gagal menuntaskan renegosiasi KK sesuai perintah UU Minerba No 4 Tahun 2009 dalam jangka waktu 6 bulan sebelumnya, yakni sejak MoU ditandatangani pada 25 Juli 2014.
Sebagai kelanjutan renegosiasi, pada 7 Oktober 2015, Kementerian ESDM menerbitkan surat yang dapat dikatakan sebagai persetujuan prinsip atas rencana perpanjangan operasi tambang Grasberg oleh Freeport.
Kesepakatan prinsip ini disebut Freeport (dalam rilis yang terbit di Amerika 8-9 Oktober 2015) sebagai kesepakatan legal dan fiskal antara Freeport dan Pemerintah RI, sebagai jawaban atas permintaan kepastian investasi yang diajukan.
Freeport meminta kepastian perpanjangan operasi karena akan melakukan investasi penambangan bawah tanah US$ 15 miliar dan pembangunan smelter US$ 2,3 miliar (total investasi US$ 17,3 miliar).
Berdasarkan UU Minerba No 4 Tahun 2009 dan PP No 77 Tahun 2014, perpanjangan operasi hanya boleh diajukan paling cepat 2 tahun sebelum Kontrak Karya (KK) berakhir. Padahal KK berakhir 2021, dan pengajuan perpanjangan baru bisa dilakukan pada 2019.
Hal ini tentu tidak dapat memberikan kepastian dan kelayakan investasi. Itulah sebabnya Freeport meminta perpanjangan, yang secara prinsip telah "disetujui" pada 7 Oktober 2015.
Meskipun belum diwujudkan dalam bentuk penerbitan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUP), tentu saja "persetujuan prinsip" oleh pemerintah di atas menimbulkan kontroversi, karena itu artinya pemerintah melanggar peraturan yang berlaku dan tunduk kepada keinginan Freeport.
Publik mencatat Pemerintah RI sebelumnya, sejak era orde baru, selalu tunduk pada Freeport. Ditengarai kesepakatan kontrak Freeport sering menjadi objek bagi penguasa untuk mendapat dukungan politik Amerika. Hal ini pun tampaknya masih berlangsung saat ini.
Selain itu, kontrak Freeport diyakini telah pula berfungsi menjadi objek bagi sejumlah penguasa dan pengusaha Indonesia untuk berburu rente melalui berbagai proyek pembangunan, kerja sama operasi dan berbagai modus lain yang diduga sarat KKN.
Bahkan saham Freeport sebesar 9,3 persen telah berpindah tangan berkali-kali sebagai objek perburuan rente penguasa dan pengusaha orde baru. Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, saham tersebut mestinya dibeli dan dikuasai oleh pemerintah atau BUMN.
Â
Baca Juga
Berbagai tindakan menyeleweng di atas tentu saja telah merugikan negara dan rakyat Indonesia, terutama dalam memperoleh keuntungan tambang dan berbagai manfaat ekonomi lain yang terkait kegiatan tambang.
Karena itu, terlepas diperpanjang atau tidaknya kontrak, wajar jika kita menuntut adanya proses pengadilan terhadap para pelaku KKN kontrak Freeport, baik penguasa dan pengusaha Indonesia, dan tentu saja manajemen Freeport sendiri.
Disamping menuntut adanya proses pengadilan, mayoritas rakyat pun menolak perpanjangan kontrak, karena Freeport telah bercokol hampir setengah abad di tambang Timika.
Mereka menganggap sekaranglah saatnya BUMN kita mengelola tambang tersebut, agar manfaat yang diperoleh lebih besar dibanding yang berlaku selama ini. Dengan tidak diperpanjangnya kontrak, maka kita pun tidak perlu melakukan perubahan atas peraturan yang berlaku.
Tampaknya opsi mengakhiri kontrak tidak akan diambil pemerintahan Jokowi. Guna mengakomodasi keinginan Freeport memperoleh perpanjangan kontrak atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pemerintah sedang bersiap menerbitkan PP baru pengganti PP No 77 Tahun 2014, terutama agar pengajuan perpanjangan dapat dilakukan segera pada 2015-2016.
Atau, alternatifnya pemerintah dan DPR akan merevisi UU Minerba No 4 Tahun 2009, yang memang telah masuk dalam Prolegnas 2014-2019.
Langkah menjalankan kedua opsi tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk ketundukan kepada asing. Apalagi, selama ini Freeport pun sudah menunjukkan sikap pembangkangan yang tidak mampu diatasi pemerintah dalam proses renegosiasi pada 6 isu utama berupa wilayah pertambangan, smelting domestik, divestasi saham, penerimaan negara, periode kontrak dan kewajiban local content.
Renegosiasi telah berlangsung sejak tahun 2010 tanpa hasil. Memperhatikan perkembangan hingga saat ini, tampaknya keinginan sebagian rakyat agar kontrak Freeport diakhiri sulit terwujud. Karena itu, seandainya pun kontrak harus diperpanjang, maka butir-butir kesepakan yang diambil harus menunjukkan tegaknya kedaulatan dan martabat bangsa.
Untuk itu langkah penyelesain harus didahului dengan penerbitan UU atau PP yang berisi berbagai ketentuan dan syarat yang menguntungkan negara dan rakyat.
IRESS meminta agar pemerintahan Jokowi tidak melanjutkan praktek KKN masa lalu, seperti terlihat dari sikap yang membiarkan Freeport melakukan IPO untuk divestasi saham atau berbagai kerja sama operasi yang tidak transparan.
Sejalan dengan itu pemerintah harus mengajukan syarat perpanjangan kontrak (berbentuk IUPK) hingga 2035 (20 tahun sejak 2015) sebagai berikut:
- Freeport mendivestasi saham, sehingga NKRI menjadi pemegang saham mayoritas (51 persen) di Freeport pada 2021.Saham tersebut kelak harus dimiliki oleh konsorsium Pemerintah Pusat, BUMN dan BUMD. Tidak ada opsi Initial Public Offering (IPO) atau penawaran saham perdana untuk divestasi saham.
- Royalti yang dibayarkan naik dari sekitar 3.75 persen-4 persen menjadi minimal 6 persen-7 persen.
- Freeport mengganti kerusakan lingkungan sebesar US$ 5 miliar seperti disepakati saat Menko Rizal Ramli menjadi Menko Perekonomian saat Pemerintahan Abdulrahman Wahid.
- Smelter dibangun di Papua dengan memanfaatkan potensi PLTU yang tersedia di Papua, dan pemerintah menjamin maksimalnya penggunaan local content oleh Freeport.
- Syarat-syarat lain yang dipandang relevan. (Ahm/Sun)
Advertisement