Meningkatkan Budaya Baca dan Literasi Masyarakat Indonesia

Kemampuan membaca, berhitung, dan pengetahuan sains anak-anak Indonesia di bawah Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Des 2017, 18:07 WIB
Diterbitkan 21 Des 2017, 18:07 WIB
Opini Sumanto Al Qurtuby, PhD
Opini Sumanto Al Qurtuby, PhD (Liputan6.com/Trie yas)

Liputan6.com, Jakarta - Berbagai laporan dari lembaga kompeten, baik nasional maupun internasional, baik pemerintah maupun institusi nonpemerintah (Non Governmental Organization), menunjukkan bahwa indeks minat baca dan tingkat literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah dan memprihatinkan.

UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) misalnya, pernah merilis data yang menunjukkan bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001.

Itu artinya dari seribu orang, hanya ada satu yang memiliki minat baca. Ingat, ini hanya "minat baca".

Belum tentu ia suka membaca. Dan belum tentu juga ia suka membaca tulisan-tulisan berkualitas apalagi karya-karya akademik-ilmiah.

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga pernah melansir hasil survei yang menunjukkan, kemampuan membaca, berhitung, dan pengetahuan sains anak-anak Indonesia masih di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Vietnam dan Thailand, dan sejajar dengan negara-negara miskin di Afrika.

Data ini berdasarkan hasil tes The Programme International Student Assessment (PISA).

Bukan hanya anak-anak, indeks membaca dan tingkat literasi orang dewasa, menurut OECD, juga jeblok seperti ditunjukkan dari hasil tes The Programme for International Assessment of Adult Competencies, sebuah tes kompetensi sukarela untuk orang dewasa.

Bahkan dari 40 negara yang dites, Indonesia berada di posisi paling buntut. Menurut World Economic Forum, tingkat literasi dasar yang perlu dikuasai oleh orang dewasa meliputi kemampuan baca-tulis, literasi numerasi atau berhitung, literasi finansial (keuangan), literasi sains, literasi budaya dan kewarganegaraan, serta literasi informasi teknologi dan komunikasi atau digital.

Memang ada sejumlah anak Indonesia yang beberapa kali menjuarai olimpiade sains dan matematika tingkat internasional, sebuah prestasi gemilang yang perlu diapresiasi.

Tetapi itu hanya sekelumit contoh dari anak-anak tangguh dan berprestasi saja, tidak merepresentasikan kondisi anak-anak Indonesia secara umum, yang masih sangat tertinggal jauh di belakang, dibanding dengan negara-negara lain di kawasan Asia khususnya.

 

Faktor Penyebab Rendahnya Minat Baca

Ratusan Buku Cerita untuk Anak Pengungsi Korban Evakuasi Gunung Agung
Sejumlah anak membaca buku di mobil Perpustakaan Keliling Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Klungkung di lokasi pengungsian korban evakuasi Gunung Agung, Klungkung, Bali, Sabtu (30/09). (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca dan tingkat literasi masyarakat Indonesia, baik di kalangan anak-anak maupun orang dewasa.

Di antara sekian faktor itu misalnya budaya masyarakat Indonesia yang cenderung masih berbudaya dengar dan ngomong (lisan).

Itulah sebabnya kenapa masyarakat Indonesia suka sekali mendengarkan ceramah, pengajian dan khotbah keagamaan, santapan rohani, atau orasi politik, dan sebagainya.

Selain suka mendengar, masyarakat kita juga suka ngomong. Ngomong apa saja, termasuk ngegosip dan ngerumpi hal-hal yang remeh-temeh dan kurang perlu.

Karena suka ngomong itulah kenapa, misalnya, pantun begitu populer di kawasan kepulauan Melayu-Indonesia.

Pantun adalah jenis atau bentuk puisi khas Melayu sebagai mekanisme untuk mengekspresikan secara lisan masalah-masalah individual dan sosial yang terjadi di sekitar masyarakat.

Konon sudah sejak abad ke-15, pantun ini sudah terekam di Malay Annals atau Hikayat Hang Tuah misalnya.

Jadi, dengan kata lain, bukan budaya baca dan tulis yang populer di masyarakat.

Hal itu bisa dimaklumi karena tradisi membaca (apalagi menulis) dalam sejarah masyarakat Indonesia (dan dimanapun pada umumnya) adalah tergolong "budaya elite" yang sangat terbatas cakupannya. Bukan budaya "wong cilik" atau masyarakat kebanyakan.

Dulu, di zaman ketika Indonesia masih berbentuk kerajaan dan jajahan kolonial, budaya membaca dan menulis hanyalah milik "kaum literati" (para pujangga) yang tinggal di lingkungan istana.

Merekalah yang kelak menulis buku-buku yang berisi kisah-kisah para raja atau cerita-cerita mitos di masyarakat seperti Babad Tanah Jawi, Sadjarah Banten, Babad Cirebon dan lain-lain.

Atau golongan elite agama sampai kemudian berdirinya pesantren-pesantren yang mulai mengajarkan membaca dan menulis di kalangan umat Islam khususnya, meskipun tentu saja cakupannya masih sangat terbatas.

Faktor berikutnya adalah orangtua sebagai "role model" buat anak tidak memerankan fungsinya dengan baik.

Misalnya, orangtua tidak mengajari anak-anak mereka tentang pentingnya membaca dan mencintai buku bagi masa depan peradaban manusia, tapi malah memupuk mereka dengan aneka gajet teknologi dan aneka acara TV.

Mereka juga bukan mengajak anak-anak pergi ke toko buku, perpustakaan, atau acara festival buku. Tapi malah mengajak mereka jalan-jalan ke mall dan pusat perbelanjaan lain. Anak diajari untuk mencintai harta-benda, bukan mencintai ilmu pengetahuan.

Hal lain yang tak kalah penting adalah minimnya akses ke fasilitas pendidikan yang belum merata, serta minimnya sarana dan prasara atau infrastruktur pendidikan yang bisa menunjang anak didik untuk giat membaca.

Selain itu, kualitas pendidikan dan belajar-mengajar yang rendah (baik pendidikan primer, sekunder maupun perguruan tinggi) juga turut memberi kontribusi bagi rendahnya kualitas lulusan, yang pada gilirannya turut menciptakan rendahnya tingkat literasi masyarakat.

Salah satu indikator rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia bisa dilihat dari kualitas atau kompetensi guru.

Hasil uji kompetensi guru pada 2015 misalnya, seperti ditulis oleh Chairil Abdini, Dosen Kebijakan Publik di Universitas Indonesia, hanya mencapai nilai rata-rata 53,2 persen dan kompetensi calon guru hanya 44 persen (The Coversation, September 22, 2017).

Dengan demikian, kualitas guru di Indonesia memang masih jauh dari memadai.

 

Upaya Meningkatkan Masalah Literasi

Ratusan Buku Cerita untuk Anak Pengungsi Korban Evakuasi Gunung Agung
Seorang anak membaca buku di mobil Perpustakaan Keliling di Klungkung, Bali, Sabtu (30/09). Perpustakaan Keliling ini hadir untuk memberikan hiburan bagi korban Gunung Agung khususnya anak-anak. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Menyadari akan rendahnya minat baca dan tingkat literasi masyarakat, termasuk anak-anak, Pemerintah Indonesia pun sudah melakukan sejumlah terobosan mendasar, baik dalam bentuk program, kegiatan, maupun kebijakan publik yang mendukung peningkatan dunia pendidikan.

Misalnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23/2015 yang antara lain, memberikan klausul tentang kewajiban bagi siswa (SD, SMP, dan SMU) untukmembaca sekitar 15 menit sebelum pelajaran dimulai.

Pemerintah juga mensponsori Gerakan Indonesia Membaca (GIM), yang konon sudah dibentuk di 31 kabupaten dan 31 provinsi.

Selain itu, pemerintah juga menginisiasi program "Kampung Literasi" untuk menumbuhkan minat baca warga kampung (desa atau nagari).

Targetnya pada 2019, pemerintah menciptakan sekitar 514 Kampung Literasi di seluruh Indonesia, dengan dana sekitar Rp 160 juta per Kampung Literasi.

Presiden Jokowi juga meresmikan program pengiriman buku gratis setiap bulan per tanggal 17 ke seluruh daerah di Indonesia.

Program ini diinisiasi oleh Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab, dengan beberapa pegiat literasi dan bekerja sama dengan PT Pos Indonesia.

Tujuannya untuk mengajak seluruh elemen masyarakat agar peduli terhadap literasi di Indonesia.

Minimnya ketersediaan buku di sekolah-sekolah, memang menjadi faktor krusial bagi rendahnya minat baca anak didik dan mutu dunia pendidikan kita.

Beberapa kebijakan dan program pendidikan di atas perlu didukung oleh semua pihak, mengingat masalah pendidikan ini bukan hanya tugas, kewajiban, dan tanggung jawab pemerintah saja, melainkan juga seluruh warga negara Indonesia dan elemen masyarakat.

Pemerintah juga mengalokasikan anggaran pendidikan yang cukup besar, yakni sekitar Rp 441 triliun pada 2018.

Dana pendidikan sebesar ini hendaknya digunakan seoptimal mungkin untuk meningkatkan infrastruktur pendidikan, sarana, dan sistem belajar-mengajar, kualitas guru, dan juga perbaikan gizi siswa.

Terutama di daerah-daerah tertinggal, baik di Jawa maupun luar Jawa, yang memang masih memprihatinkan. Bukan malah dikorupsi dan dijadikan sebagai bancakan oleh kepala/elite sekolah, dinas pendidikan, dan aparat pemerintahan terkait yang mengurusi masalah dunia pendidikan.

Jika semua pihak berkerja keras semaksimal mungkin, maka bukan suatu hal yang mustahil jika kelak Indonesia akan menjadi negara yang pintar dan cerdas, dimana masyarakatnya memiliki daya baca dan tingkat literasi yang tinggi. Semoga bermanfaat.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya