Memantik Kendaraan Listrik Agar Bumi Tak Semakin Terik

Krisis iklim sudah di depan mata. Bukti nyata ada di Jakarta, Ibu Kota Indonesia, yang kian terik. Saatnya beralih ke kendaraan listrik.

oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 26 Agu 2021, 19:51 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2021, 12:05 WIB
Mobil Listrik GIIAS 2019
Ilustrasi Kendaraan Listrik. (Liputan6.com/FeryPradolo)

Liputan6.com, Jakarta - Krisis iklim sudah di depan mata. Bukti nyata ada di Jakarta, Ibu Kota Indonesia, yang kian terik.

Dalam periode 100 tahun, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat kenaikan suhu panas di Jakarta mencapai 1,4 derajat Celcius. Di beberapa wilayah industri di Indonesia, ada yang kenaikannya mencapai 0,7 sampai 0,9 derajat Celcius hanya dalam periode 30 tahun.

"Artinya apa yang dikatakan bahwa di Puncak, Bogor, yang biasanya dingin, lalu sudah pakai kipas angin, itu ya memang karena sudah terjadi pemanasan. Itu dirasakan, termasuk juga tidak hanya di Puncak, di wilayah lainnya," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati kepada Liputan6.com, ditulis Rabu (25/8/2021).

Menurut Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat, NASA, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pemanasan global akan meningkatkan suhu di permukaan Bumi. Suhu Bumi yang memanas dapat menyebabkan berbagai dampak buruk bagi peradaban, lingkungan dan ekosistem lainnya, karena adanya perubahan iklim yang ekstrem di dunia.

Penyebab Bumi Memanas

Kenaikan suhu bumi sejak 1850 (UK Met Office)

Apa yang menyebabkan suhu Bumi memanas? Yang paling dominan adalah gas rumah kaca. Gas rumah kaca yakni gas-gas di atmosfer yang dapat menangkap panas matahari. Hal itu membuat panas matahari terjebak di atmosfer Bumi dan menyebabkan suhu Bumi memanas. Gas-gas rumah kaca antara lain, karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4), dan freon (SF6, HFC dan PFC).

Berdasarkan hasil studi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dua di antara gas rumah kaca yang paling bertanggung jawab dan punya kontribusi terbesar dalam perubahan iklim adalah karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4).

Lalu, bagaimana sesungguhnya karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) bisa muncul begitu banyak? Jawabannya adalah aktivitas manusia sehari-hari seperti pemakaian sumber energi untuk mesin dan pembangkit listrik, penggunaan kendaraan bermotor dan membakar sampah.

Emisi gas karbon dioksida terus melonjak karena polusi bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak Bumi, dan gas alam yang dilepas ke atmosfer. Semakin berkurangnya hutan dan lahan hijau turut membuat kadar CO2 di atmosfer tidak terkendali.

Sementara gas metana (CH4) sendiri datang dari sampah plastik, kotoran hewan, serta limbah makanan yang membusuk. Pada 2019, konsentrasi CO2 di atmosfer diketahui lebih tinggi dari yang pernah ada, setidaknya dalam kurun waktu 2 juta tahun, sedangkan konsentrasi metana lebih tinggi dari yang pernah ada, setidaknya kurun waktu 800.000 tahun.

"Setelah masa revolusi industri, kita banyak membakar bahan bakar fosil. Akibatnya gas rumah kaca makin tebal. Jadinya panas terperangkap di Bumi dan makin susah lepas ke angkasa," kata Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari kepada Liputan6.com.

"Karena gas rumah kaca sudah ketebalan, ya sama seperti orang pakai selimut ketebalan, panas dari badan enggak bisa keluar. Sama seperti Bumi, karena gas rumah kacanya sudah ketebalan, maka panasnya tidak bisa ke angkasa," tambahnya.

Dekarbonisasi

Efek Rumah Kaca
Ilustrasi Tiruan Bumi Credit: pexels.com/Elena

Kenaikan suhu Bumi sebenarnya disadari negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Hal itu terlihat dari keterlibatan hampir seluruh negara di dunia untuk menyepakati Paris Agreement dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 2015. Paris Agreement bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu Bumi di bawah 2 derajat Celcius pada abad ini.

Selain itu, negara-negara di dunia juga berkomitmen melanjutkan upaya menekan kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat Celcius. Jadi, kenaikan 1,5 derajat Celcius merupakan ambang batas kritis iklim yang disepakati negara-negara di dunia dihitung mulai masa praindustri pada 1850 sampai 2030.

Selama kurun waktu itu, kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat celcius dan ditetapkan 1,5 derajat celcius maksimum. Sayangnya, laporan United Nations Intergovernmental Panel on Climate Change menyebut bahwa Bumi telah dengan cepat memanas 1,1 derajat Celcius lebih tinggi dari era pra industri, dan kini bergerak menuju 1,5 derajat Celcius. Padahal, 2030 masih sembilan tahun lagi.

Salah satu upaya untuk mengurangi pemanasan global adalah dengan menurunkan tingkat karbon atau dekarbonisasi. Berdasarkan studi terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul "Deep Decarbonization of Indonesia's Energy System: a Pathway to Zero Emission by 2050", terdapat empat pilar penting dalam proses dekarbonisasi Indonesia.

"Pertama, penggalakan energi terbarukan yang bersandar pada energi surya serta integrasi jaringan listrik untuk ekspor dan impor tenaga listrik antarpulau," ungkap Pamela Simamora, penulis utama laporan ini.

Kedua, sambung dia, elektrifikasi di sektor transportasi dan industri. "Ketiga, pengurangan penggunaan energi fosil terutama PLTU batubara karena tidak akan kompetitif pada 10-15 tahun ke depan. Empat, pengembangan dan pemanfaatan bahan bakar bersih bisa berupa hidrogen, bahan bakar sintetik, maupun biofuel untuk dekarbonisasi sistem transportasi dan industri."

"PLTS akan menjadi tulang punggung sistem energi kita, didukung dengan sistem penyimpanan (baterai), elektrifikasi, dan bahan bakar bersih yang menjadi kunci di masing-masing sektor," kata Pamela.

Elektrifikasi

Pertamina Siapkan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum
Petugas melakukan pengecekan mesin Stasiun SPKLU di SPBU Pertamina Fatmawati, Jakarta, Minggu (13/12/2020). SPKLU ini merupakan upaya Pertamina untuk mendukung pemerintah dalam mendorong tumbuhnya ekosistem kendaraan listrik dalam negeri. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sektor transportasi menjadi penyumbang sekitar seperempat dari total emisi gas rumah kaca global. Jumlah emisi ini akan semakin meningkat seiring berkembangnya perekonomian suatu negara.

Pada 2019, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca Indonesia terbesar kedua (157 juta ton CO2 atau 27 persen) setelah sektor industri (215 juta ton CO2 atau 37 persen). Banyak negara di dunia, termasuk China, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa semakin mengadopsi kendaraan listrik yang terbukti memiliki emisi rendah dan efisiensi penggunaan energi listriknya lebih baik daripada kendaraan konvensional.

"Hingga hari ini ada 17 negara yang sudah tidak mengizinkan penjualan kendaraan berbasis fosil fuel dari 2025-2040, salah satunya adalah Norwegia yang akan melarang kendaraan internal combustion engine, pada tahun 2025," ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, dikutip dari iesr.or.id.

Menurutnya, kendaraan listrik merupakan salah satu solusi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi. Perkembangan kendaraan listrik dalam satu dekade juga semakin pesat. Secara global, mobil listrik mengalami kenaikan pesat dalam satu dekade terakhir, dari 0,1 persen market share pada 2011, menjadi 4,4 persen pada 2020.

"Walaupun secara umum, penjualan kendaraan menjadi turun sebesar 15 persen karena pandemi Covid-19, tapi permintaan kendaraan listrik tercatat meningkat di sejumlah negara. Dibandingkan tahun 2019, di Cina naik 5 persen, Eropa meningkat 10 persen, Amerika Serikat naik 4 persen," paparnya.

Mengutip data dari IEA, Fabby menegaskan agar temperatur Bumi terjaga sesuai kesepakatan Paris, maka adopsi kendaraan listrik haruslah sebesar 13,4 persen dari total kendaraan dari tahun 2030.

Belajar dari Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina

Stasiun pengisian baterai mobil listrik (Foto:Autonews)
Stasiun pengisian baterai mobil listrik (Foto:Autonews)

Pada Februari 2021, IESR meluncurkan kajiannya yang berjudul "Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina". Idoan Marciano, penulis kajian tersebut mengungkap alasannya memilih ketiga negara itu sebagai best practices yang bisa ditiru Indonesia.

Menurutnya, sudah terbukti negara yang mencatatkan adopsi kendaraan listrik tertinggi (2019) adalah Cina (3,4 juta unit) dan Amerika Serikat (1,5 juta unit), sedangkan negara dengan pangsa pasar kendaraan listrik terbesar di negaranya di dunia adalah Norwegia (lebih besar dari 50 persen).

IESR memandang ekosistem kendaraan listrik di Indonesia belum terbangun dengan baik. Adapun ekosistem yang dimaksud dalam studi ini mencakup beberapa aspek, yaitu: (a) insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah, (b) infrastruktur pengisian daya; (c) model dan pasokan kendaraan listrik; (d) kesadaran dan penerimaan publik; (e) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian menargetkan jumlah kendaraan listrik mencapai 20 persen dari total produksi kendaraan pada 2025 (400.000 kendaraan beroda empat Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) dan 1.760.000 kendaraan listrik beroda dua). Namun, hingga Agustus 2020, tercatat baru ada sekitar 2.279 kendaraan listrik yang sudah layak jalan.

"Untuk motor listrik, sebanyak 1.947 unit, belum mencerminkan jumlah adopsi setelah Indonesia meluncurkan program akselerasi pengembangan kendaraan listrik karena angka tersebut masih menggambarkan kendaraan listrik berperforma rendah, sudah ada dari tahun sebelumnya," ungkap Idoan.

Agar realisasi target terpenuhi, IESR mendorong agar pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan fiskal sehingga membuat harga kendaraan listrik lebih kompetitif. Berkaca dari pengalaman ketiga negara tersebut, insentif dapat berupa pembebasan PPN, pajak registrasi, bea impor serta pemberian subsidi. Sementara saat ini total insentif yang diberikan pemerintah Indonesia hanya mampu mengurangi sekitar 40 persen dari harga awal kendaraan listrik yang masuk ke Indonesia.

Tidak kalah penting adalah pemberian insentif non-fiskal yang sesuai dengan kebutuhan pengguna seperti kemudahan mendapatkan plat nomor (registrasi) yang dinilai sangat menambah daya tarik kendaraan listrik di Cina, pemberian akses ke jalur berpenumpang banyak (high occupancy vehicle) di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, dan pemberian akses jalur bus di Norwegia.

"Saat ini Indonesia belum mempunyai aturan pembatasan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, dibandingkan negara pembanding yg sudah menargetkan 100 persen EV di 5-20 tahun kedepan," tukas Idoan.

Selain itu, dari sisi pasokan, pemerintah perlu pula meningkatkan kuantitas dan ketersediaan beragam model kendaraan listrik dengan memberikan kebijakan yang mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak kendaraan listrik, seperti dengan penetapan standar efisiensi bahan bakar pada tahap awal dan penggunaan mekanisme kredit kendaraan listrik saat pasar sudah semakin berkembang seperti yang diterapkan di Cina dan California.

Dalam mendukung terciptanya industri kendaraan listrik domestik, pemerintah dapat belajar dari Cina dengan memberikan insentif khusus bagi produsen lokal dan menggunakan pengadaan umum sebagai alat untuk menggenjot volume produksi kendaraan listrik buatan lokal sehingga mempercepat terjadinya economies of scale.

12 Rekomendasi untuk Pemerintah

Pertamina Siapkan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum
Petugas menunjukkan mesin Stasiun SPKLU di SPBU Pertamina Fatmawati, Jakarta, Minggu (13/12/2020). PT Pertamina (Persero) telah melakukan softlaunching SPKLU komersial di Jakarta. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Pembangunan dan perluasan jaringan SPKLU dan SPBKLU, serta penyiapan infrastruktur home charging diperlukan untuk menunjang adopsi kendaraan listrik. Rasio kendaraan listrik terhadap SPKLU pada 2019 di Cina paling masif yakni rasio 6,5:1. Rasio tersebut menggambarkan negara-negara dengan tingkat pengembangan kendaraan listrik yang lebih matang. Sementara Indonesia bila mengikuti peta jalan yang dikeluarkan PLN, hanya akan mencapai sekitar 70:1.

Studi ini merekomendasikan beberapa strategi dan kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, yakni:

  1. Penyelarasan target transisi menuju kendaraan listrik yang bersifat mengikat.
  2. Perlunya peta jalan transisi menuju kendaraan listrik yang terintegrasi.
  3. Penerapan kebijakan pembatasan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil.
  4. Pemberian insentif finansial dari pemerintah pusat untuk mengurangi harga beli kendaraan listrik hingga minimal sekitar 50 persen untuk mobil listrik, untuk motor listrik hanya lebih mahal 5-10 persen dari harga motor konvensional.
  5. Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan kondisi daerah setempat.
  6. Adanya ketentuan yang mensyaratkan transfer teknologi dalam kolaborasi dengan produsen internasional.
  7. Penetapan kebijakan dari sisi pasokan untuk mendorong produksi dan ketersediaan model kendaraan listrik.
  8. Pemberian insentif yang menunjang R&D kendaraan listrik dan baterai
  9. Pengembangan industri dan rantai pasokan kendaraan listrik
  10. Pengembangan infrastruktur pendukung kendaraan listrik SPKLU dan SPBKLU perlu direncanakan yang lebih baik agar peta jalan tersebut dapat menyamai target.
  11. Elektrifikasi transportasi umum sebagai jalur masuk adopsi kendaraan listrik. IESR mengapresiasi untuk kolaborasi yang sudah berjalan.
  12. Promosi dan kampanye kendaraan listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan yang diinisiasi oleh pemerintah.

Infografis Selamat Datang Era Mobil Listrik di Indonesia

Banner Infografis Selamat Datang Era Mobil Listrik di Indonesia
Infografis Selamat Datang Era Mobil Listrik di Indonesia. (Liputan6.com/Fery Pradolo)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya