Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggunakan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada‎ dan Pasal 6 Peraturan MK Nomor 1-5 tahun 2015 untuk menggugurkan puluhan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada).
Kedua aturan itu mengatur syarat selisih maksimal suara pasangan calon untuk mengajukan gugatan ke MK.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan, hakim MK tidak mau repot, sehingga mereka enggan melakukan terobosan hukum, misalnya dengan mengesampingkan Pasal 158 UU Pilkada.
Baca Juga
Baca Juga
"MK tidak mau repot saja, makanya mereka menerima norma Pasal 158 UU Pilkada," ujar Yusril dalam pesan tertulis kepada Liputan6.com, Jumat (22/1/2016).
‎Padahal, lanjut Yusril, jauh sebelum perkara PHPKada disidang, Pasal 158 UU Pilkada sudah diuji materi beberapa pihak. Namun, MK menolak permohonan tersebut.
"MK menolak dengan alasan pembentukan norma tersebut adalah open legal policy yang menjadi kewenangan presiden dan DPR," kata Yusril.
Di mata Yusril, norma yang termuat dalam Pasal 158 jelas bertentangan dengan UUD 1945. Keberadaannya telah membatasi hak setiap warga negara dalam mencari keadilan.‎
Advertisement
Bahkan, Pasal 158 itu sangat berpotensi membuka pintu terjadinya pelanggaran penyelenggaraan pilkada.