Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra setuju dengan adanya pembatasan dalam permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada). Salah satunya dengan syarat maksimal perbedaan suara antara pasangan calon sebagai pemohon dan pasangan calon pemenang.
Menurut Saldi, syarat yang dituang dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) itu memang diperlukan. Namun, bukan berarti Mahkamah Konstitusi (MK) melupakan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang umumnya didalilkan oleh para pemohon.
"Saya termasuk orang yang menyatakan pembatasan itu perlu. Tapi kalau ada orang yang ingin membuktikan adanya TSM, itu bisa diproses (oleh MK)," ucap Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin (1/2/2016).
Hal itu dikatakan Saldi, menanggapi fenomena Pasal 158 UU Pilkada dan juga Peraturan MK (PMK) Nomor 1-5 Tahun 2015 yang menjadi batu sandungan ratusan perkara PHPKada di MK.
Mayoritas perkara yang tidak bisa dilanjutkan oleh MK, karena terbentur selisih suara maksimal pasangan calon selaku pemohon dengan pihak terkait yang merupakan pasangan calon pemenang, sebagaimana diatur di dalam Pasal 158 UU Pilkada dan PMK Nomor 1-5 Tahun 2015.
Baca Juga
Karena itu, Saldi melihat, kedua aturan itu harus didiskusikan kembali dengan baik. Sebab, Saldi menekankan, MK harusnya bisa menerobos kedua aturan itu dan menitikberatkan persoalan TSM pada masing-masing perkara PHPKada.
"Sekarangkan straight ke Pasal 158 dan PMK Nomor 5. Ke depan harus didiskusikan dengan baik ini," ujar dia.
"Jadi ketentuan pembatasan itu bisa diterobos kalau ada bukti-bukti (pelanggaran) di awal. Bisa diproses kalau ada pelanggaran yang bersifat TSM," ucap Saldi.
Sebagai informasi, MK telah memutus 140 perkara dari total 147 perkara PHPKada yang terdaftar di MK. Dari 140 PHPKada itu, sebanyak 5 perkara ditarik kembali pemohon dan 1 perkara diperintahkan MK untuk melakukan penghitungan surat suara ulang.
Sementara 35 perkara lain rontok karena dianggap melewati tenggat waktu pendaftaran yang disyaratkan, 96 perkara gugur karena tidak memenuhi syarat selisih suara pasangan calon, dan 3 perkara tidak diterima MK karena salah objek permohonan.