Liputan6.com, Jakarta - Wacana terpidana dengan masa percobaan bisa ikut pilkada menimbulkan kontroversi. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, siapapun calon dalam pilkada harus bersih dari kasus hukum.
"Kalau pencalonan, enggak boleh punya beban apalagi sudah jadi tersangka atau pernah ditahan. Saya enggak setuju, semua calon harus bersih," ungkap Fahri di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (13/9/2016).
Baca Juga
Menurut Fahri, apapun masalahnya, setiap orang yang memiliki kasus hukum sebaiknya tidak diizinkan mencalonkan diri. Setidaknya hingga saat ini, Fraksi PDIP dan Fraksi PAN juga menolak wacana tersebut.
Advertisement
"Kecuali kalau hanya menjadi saksi tidak apa-apa. Kalau sudah jadi tersangka selayaknya gugur dalam pencalonan," ucap Fahri.
Ia menilai, seharusnya dipisahkan antara masa pencalonan dan masa pilkada. Saat masa pencalonan pada pemilu, kata Fahri, semua calon harus bebas dan bersih dari urusan pribadi.
"Jangan ada utang. Kalau mau maju jangan utang. Kan ada ketentuan juga dalam agama kalau perang, enggak boleh utang. Maju pilkada sama seperti maju perang," papar Fahri.
Dia khawatir jika calon memiliki utang saat pencalonan, maka saat ia terpilih menjadi kepala daerah ia menggunakan jabatannya untuk membayar utang. Apalagi calon yang memiliki persoalan hukum.
"Nanti ada ekspektasi lebih besar, dia tutup ini kasusnya saat sudah jadi aparatur negara," tutur Fahri.
Sementara itu untuk fase pilkada, lanjut dia, sebelumnya sempat ada kesepakatan agar penegak hukum tidak memproses terlebih dahulu calon kepala daerah yang memiliki kasus. Sebab menurutnya, itu dapat menimbulkan kekacauan politik terkait para pendukung calon tersebut.
"Nanti kacau kalau memproses orang yang mau pilkada. Nanti begitu dilantik baru tidak apa-apa, mau ditersangkakan juga enggak apa-apa. Dia sudah jadi aparatur resmi. Di situ dia harus mempertanggungjawabkan sekaligus membela diri," tandas Fahri.
Sebelumnya rapat antara Komisi II DPR RI, pemerintah, KPU, dan Bawaslu sepakat terpidana hukuman percobaan yang tidak dipenjara secara fisik, boleh kut pemilihan kepala daerah (pilkada).
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, KPU harus mengikuti hasil rapat dengar pendapat antara pemerintah dan DPR itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.