Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Tim Anti-Mafia Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2014, Refly Harun menyarankan Hakim MK tidak mengedepankan paradigma hitung-hitungan dan paradigma terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang bersifat kumulatif dalam memutuskan sengketa pilpers.
Refly meyakini hakim akan menolak permohonan pasangan nomor urut 2 Prabowo-Sandiaga, jika dua pendekatan tersebut tetap digunakan untuk membuktikan suatu perkara.
"Kalau Pilpers sudah sampai ke MK dan paradigmanya masih dua paradigma awal yaitu paradigma hitung-hitungan dan pradigma TSM. Saya kira the game is over (selesai)," ujar Refly dalam diskusi bertajuk Menakar Kapasitas Pembuktian MK, di Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2019).
Advertisement
Refly menjelaskan kelemahan dua paradigma tersebut untuk membuktikan suatu perkara. Misalnya, paradigma hitung-hitungan.
Hakim pasti membutuhkan waktu yang lama. Refly pesimis, hakim dapat memeriksa bukti-bukti yang dilampirkan pemohon dalam waktu 14 hari kerja.
"Bukti yang signifikan untuk membuktikan bahwa mereka unggul. Paling gampang C1 dan C1 pleno dan itulah yang akan dihitung ulang sembari mengecek keaslian dokumen. Agak susah kalau cuma 14 hari," ujar dia
Masih kata Refly, pembuktian dengan paradigma TSM yang sifatnya kumulatif juga sangat sulit dilakukan MK.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Membedah
Refly membedah mulai dari tersuktur. Hakim harus bisa membuktikan bahwa ada struktur kekuasaan yang memang melakukan pelanggaran.
"Ini ada struktur kekuasaan harus bisa terkoneksi pasangan calon," terang dia.
Kemudian, sistematis itu harus terpola. Begitu juga masif. Hingga saat ini tolok ukurnya masih buram. Sejauh mana sesuatu bisa dikatakan masif.
"Apakah masif harus memenuhi kriteria seluruh indonesia atau satu provinsi bisa dikatakan cukup masif atau plus satu kecamatan dan sebagainya," terang dia.
Makanya, Refly merekomendasikan agar MK membagi dua pembuktikan pertama kuantitatif dan kualitatif. Sehingga, ketika pemeriksaan pendahuluan dalam konteks Pilkada, Pileg, Pilpers MK lebih dulu mempertanyakan kepada pemohon apa yang ingin dipermasalahkan kuantitatif atau kualitatif.
"Kalau kuantitatif dulu maka anda harus membuktikan anda unggul dan ada buktinya. Sementara itu, kualitatif tanya mau mempermalahkan apa," ujar dia.
Refly pun menilai pendekatan yang tepat ialah mengunakan paradigma pemilu yang jujur dan adil. Dalam hal ini, MK harus berani membuat kriteria pemilu yang dianggap inkontitusional.
Agar nantinya yang diputuskan bisa diterima akal sehat, rasio dan emosi "Apakah money poltics, pengerahan ASN, penggunaan APBN atau dana haram," ungkap dia.
Sayangnya, paradigma tersebut belum pernah dipakai oleh MK. "Paradigma jujur yang adil begini. Proses penyelenggaran pemilu itu harus lah konstitusional seperti yang tercantum pada Pasal 22 e yakni langsung, umum, bebas, jujur dan adil," terang Refly.
Advertisement