TPN Ganjar-Mahfud: Hak Angket Sengaja Di-framing Jadi Menakutkan dan Haram

Juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Deddy Sitorus, menilai rencana hak angket DPR tentang Pemilu 2024 tidak perlu dibingkai (framing) seolah-olah seperti drama yang menakutkan. Pasalnya, hak angket sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia sejak zaman pemerintahan Presiden Soekarno.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 01 Mar 2024, 14:05 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2024, 14:05 WIB
Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus
Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Deddy Yevri Sitorus, menilai rencana hak angket DPR tentang Pemilu 2024 tidak perlu dibingkai (framing) seolah-olah seperti drama yang menakutkan. Pasalnya, hak angket sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia sejak zaman pemerintahan Presiden Soekarno.

Menurut Deddy, pada tahun 1950-an, ada hak angket tentang penggunaan devisa yang diajukan saat pemerintahan Presiden Soekarno. Pada zaman Presiden Soeharto, ada hak angket tentang Pertamina.

Begitu pula zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, ada hak angket tentang Bulog Gate dan Brunei Gate. Selanjutnya, di zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri ada hak angket tentang Dana Non Budgeter Bulog.

Sementara itu, di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tercatat ada banyak hak angket yang dilakukan DPR, antara lain hak angket tentang Pertamina, hak angket impor beras, hak angket penyelesaian kasus BLBI, hak angket DPT Pemilu Tahun 2009, hak angket Bank Century, serta hak angket tentang KPK pada tahun 2017.

"Jadi saya bingung sejak kapan hak angket menjadi drama yang menakutkan? Dalam sejarah bangsa ini, dari zaman Bung Karno sudah ada hak angket tentang penggunaan devisa, itu tahun 50-an. Tapi sekarang ada framing seolah-olah hak angket ini sesuatu yang salah, bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan nalar publik, dan sesuatu yang haram," kata Deddy dalam keterangannya, Jumat (1/3/2024).

Menurut Deddy, hak angket tentang penyelenggaraan Pemilu 2024 seharusnya tidak mendapat penolakan oleh partai peserta pemilu, bahkan pasangan calon (paslon) di Pilpres 2024.

Hal itu disebabkan penyelenggaraan Pemilu 2024 menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat terkait berbagai kejanggalan dan kecurangan yang terjadi secara telanjang serta mudah diketahui melalui media sosial (medsos) dan media mainstream tanpa perlu melakukan investigasi.

Berbagai kecurangan itu, lanjutnya, antara lain terkait politisasi bansos, politik uang (money politic), pengerahan aparat, intimidasi, quick count, hingga Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU yang bermasalah.

"Pertanyaan-pertanyaan ini yang membutuhkan hak angket agar bisa menyelidiki dan membuka persoalan. Mempercakapkan masalah ini dalam forum DPR melalui hak angket adalah hal yang konstitusional, meskipun saat ini yang sangat gerah justru orang yang di-framing menjadi pemenang pemilu," ujar Deddy.

Ada Upaya Penggembosan Hak Angket Dugaan Kecurangan Pemilu 2024

pengundian nomor urut capres-cawapres Pemilu 2024
Pasangan capres-cawapres Pemilu 2024, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md (kiri ke kanan) berpose usai pengundian nomor urut di halaman gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (14/11/2023). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu mengungkapkan, ada upaya menggemboskan hak angket dengan ancaman individu.

"Hal itu merupakan praktik yang kerap dilakukan saat pemerintahan Orde Baru, di mana siapa pun yang tidak sejalan dengan Presiden Soeharto akan diinjak atau dihilangkan," kata dia.

Padahal, lanjutnya, hak angket bukan soal siapa yang menang, berapa suara yang diperoleh, melainkan tentang bagaimana pemerintah atau penguasa bertanggung-jawab dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, serta langsung, umum, bebas, dan rahasia (jurdil dan luber).

"Harus dicatat, belum ada hasil pemilu yang sudah ditetapkan KPU, sehingga jangan anti dulu ketika hak angket ini diajukan untuk membongkar soal berbagai dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu," tutur Deddy.

 

5 Fungsi Positif Hak Angket

Deddy kemudian mengungkapkan bahwa hak angket memiliki setidaknya 5 fungsi positif. Pertama, memungkinkan lembaga legislatif melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah maupun badan eksekutif lainnya.

Kedua, dapat meningkatkan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun kekuasaan. Ketiga, membantu memastikan akuntabilitas pemerintah atau penyelenggara kekuasaan kepada rakyat.

Keempat, hasil dari proses angket dapat digunakan sebagai dasar perbaikan kebijakan atau prosedur dalam penyelenggaraan kekuasaan. Kelima, menjadi sarana pendidikan politik kepada masyarakat.

"Bagi PDI Perjuangan hak angket bukan hanya soal perolehan suara atau siapa yang menang dan kalah, tetapi bagaimana agar semua proses busuk dalam Pemilu 2024 tidak lagi terulang," tutur Deddy.

Deddy menambahkan, sekarang tim dari paslon 3 sedang mengumpulkan alat bukti untuk mendukung pengajuan hak angket di DPR tentang dugaan kecurangan pemilu 2024. Langkah yang sama juga dilakukan tim pemenangan paslon 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.

Menurut Deddy, seharusnya langkah yang sama juga dilakukan Tim Kemenangan Nasional (TKN) paslon 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, karena hal itu menyangkut legitimasi dari klaim kemenangan mereka di Pilpres 2024.

"Saya rasa ini bukan soal perjuangan paslon 1 dan paslon 3, tapi juga paslon 2 supaya nantinya pas 20 Oktober 2024 ketika pelantikan presiden ini akan menjadi catatan sahnya pemerintah yang tidak diperdebatkan lagi legitimasinya," kata Deddy.

Infografis Tarik Ulur Wacana Hak Angket DPR Kecurangan Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Tarik Ulur Wacana Hak Angket DPR Kecurangan Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya