Calon Tunggal di Pilkada 2024 Dinilai Membungkam Demokrasi, Elite Parpol Abaikan Aspirasi

Rekayasa calon tunggal dinilai merusak hakikat pilkada yang demokratis yang mensyaratkan adanya kontestasi yang setara dan adil di antara para kontestan.

oleh Muhammad Ali diperbarui 12 Agu 2024, 01:20 WIB
Diterbitkan 12 Agu 2024, 01:20 WIB
Ilustrasi Pilkada Serentak 2020 (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi Pilkada Serentak 2020 (Liputan6.com / Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID) Kholil Pasaribu menilai keberadaan calon tunggal dalam Pilkada 2024 menjadi pilihan yang disenangi partai politik. Gejala ini terlihat terutama pilkada di provinsi-provinsi besar.

"Ada semacam kesepahaman di antara partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi pemenangan Prabowo-Gibran pada pilpres lalu untuk melanjutkan kerja sama politik dalam pilkada ini," kata dia kepada Liputan6.com, Minggu (11/8/2024).

Menurutnya, tidak ada yang salah dengan kehendak KIM tersebut. Hanya saja, memaksakan hanya ada satu pasangan calon dalam pilkada tentu saja sebuah cara berpolitik yang tidak sehat dan memperlihatkan gejala munculnya bibit-bibit tirani mayoritas.

"Para elite parpol tidak lagi memedulikan apakah cara yang dilakukan itu rasional atau tidak. Menguntungkan bagi kehidupan politik dan demokrasi yang sehat atau sebaliknya," ujarnya.

Celakanya parpol di luar KIM mulai memberikan sinyal kuat untuk bergabung dalam koalisi besar ini. Hal itu dimulai dengan memberikan dukungannya kepada pasangan calon yang diusung KIM sehingga di daerah tersebut sangat besar potensi terjadi calon tunggal dalam pilkada nanti.

"Sejatinya, sebagai rumah produksi calon pemimpin, setiap partai memiliki kader-kader terbaiknya yang telah dipersiapkan tampil di posisi-posisi strategis seperti kepala daerah. Tapi pertimbangan pragmatis lebih mendominasi cara berpolitik yang diperlihatkan elite-elite partai," kata Kholil.

Ia berpandangan, sikap politik yang dipertontonkan para elite parpol itu setidaknya menunjukkan bahwa, pertama, pengabaian secara nyata aspirasi dan kehendak masyarakat yang menginginkan adanya banyak calon kepala daerah yang akan mereka pilih.

"Kooptasi kehendak politik rakyat oleh elite parpol tersebut sesungguhnya merampas hak masyarakat untuk mendapatkan calon kepala daerah yang terbaik dan banyak untuk dipilih dan nantinya akan memimpin daerah mereka setidaknya lima tahun ke depan," terang Kholil.

 

Merusak Hakikat Pilkada yang Demokratis

Kedua, rekayasa calon tunggal merusak hakikat pilkada yang demokratis yang mensyaratkan adanya kontestasi yang setara dan adil di antara para kontestan. Pilkada tanpa kontestasi adalah kebohongan yang dibalut dengan tata cara dan prosedur demokrasi.

"Ketiga, partai politik semakin kehilangan kecerdasan, kemandirian dan independensinya dalam mengelola organisasi politiknya. Parpol sebagai rumah produksi calon pemimpin daerah dan negara menjadi kehilangan peran dan fungsinya sama sekali," kata dia.

Keempat, dalam jangka panjang sikap membeo elite-elite parpol demi mendapat bagian kue kekuasaan itu, akan semakin parah merusak bangunan dan masa depan demokrasi.

"Sebenarnya, jika yang menjadi alasan terbesar mengapa calon tunggal itu menjadi pilihan adalah karena tingginya persentase syarat pencalonan berupa 20% jumlah kursi yang dimiliki setiap parpol atau gabungan parpol di DPRD atau 25% jumlah suara sah, hal itu sesuatu yang mungkin untuk diatasi," kata dia.

Partai politik dapat melakukan revisi terbatas terkait syarat pencalonan yang ada dalam UU Pilkada. Hanya saja pilihan ini tidak mau dilakukan karena bagi parpol, bergabung secara bersama-sama dengan partai lain jauh lebih menguntungkan terutama bagi partai yang tidak memiliki kader yang layak dijual.

 

Tren Calon Tunggal Terus Meningkat

Berdasar data, sejak pilkada 2015, tren kenaikan calon tunggal terus meningkat. Data berikut secara berturut-turut memperlihatkan angkanya.

Pada pilkada 2015 terdapat 3 calon tunggal; Pilkada 2017 terdapat 9 calon; Pilkada 2018 terdapat 16 calon; Pilkada 2020 terdapat 25 calon. Dari 53 kasus calon tunggal yang ada, hanya 1 yang pernah mengalami kekalahan.

"Artinya peluang kemenangan calon tunggal di Pilkada sangat tinggi, mencapai 98,11%. Ternyata ini jauh lebih menggiurkan bagi parpol ketimbang mengusung paslon yang hasil survei elektabilitasnya bahkan di atas 60% sekalipun," ucap Kholil.

Realitas politik ini tidak bisa dianggap normal dalam demokrasi. Sebaliknya ini alarm yang harus diwaspadai. Masih ada waktu bagi parpol untuk berpikir ulang secara serius untuk mengambil langkah politik yang lebih menghargai masyarakat pemilik kedaulatan sejati.

"Begitu pun, publik bisa menentukan sikap politik dengan cara cerdas jika di daerahnya terdapat calon tunggal. Perlawanan yang dilakukan bukan dengan menolaknya dan tidak datang ke TPS karena tidak ingin mencoblos. Sebaliknya membagi kesadaran ke semua pemilih untuk tetap ke TPS dengan memberikan hak suara memilih satu kolom kosong yang ada dalam surat suara," ujar dia.

"Calon tunggal pada akhirnya adalah cara paling demokratis untuk secara perlahan membungkam demokrasi yang sehat. Saat yang bersamaan secara perlahan menyemai benih-benih autokrasi. Jika ini tidak dilawan, tidak menutup kemungkinan otoritarianisme berjubah demokrasi akan tumbuh dalam lima tahun ke depan," dia menambahkan.

 

Infografis Kilas Balik Satgas Nusantara Amankan Pilkada hingga Pilpres. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Kilas Balik Satgas Nusantara Amankan Pilkada hingga Pilpres. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya