Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus menggenjot pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dengan adanya UU Tapera nantinya diharapkan mampu menjadi solusi dan payung hukum bagi penyediaan rumah murah bagi masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Maurin Sitorus mengatakan, ketersediaan perumahan merupakan masalah yang serius di Indonesia. ‎Pasalnya, kebutuhan rumah saat ini mencapai 15 juta unit.
"Masalah perumahan ini masalah serius. Masalah besar karena sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin kesulitan untuk mendapatkan rumah. Saat ini backlock perumahan mencapai 15 juta unit dan rumah tidak layak huni mencapai 7,6juta‎ unit," ujarnya diJakarta, Selasa (2/2/2016).
Baca Juga
Dia menjelaskan, dalam upaya pemerintah menyediakan rumah layak bagi masyarakat pun selama ini menghadapi banyak kendala, seperti keterjangkauan harga, ‎sumber pembiayaan dan ketersediaan anggaran. Namun dengan adanya UU Tapera nantinya diharapkan bisa mengatasi masalah-masalah tersebut.
"Negara bertanggung jawab menyediakan rumah layak huni bagi masyarakat.‎ Tapi ada beberapa tantangan dan kendala yang dihadapi seperti masalah keterjangkauan, aksesbilitas, sumber pembiayaan, ketersediaan pembiayaan jangka panjang. Oleh sebab itu tabungan Tapera sangat penting," kata dia.
Menurut Maurin, Tapera telah diterapkan sejak lama di banyak negara. Dan buktinya, tabungan tersebut sukses menjadi solusi penyediaan rumah di negara-negara tersebut. Hal ini yang coba dicontoh oleh pemerintah.
"Banyak negara yang sudah punya Tapera, seperti di China sejak 1990-an, Malaysia juga sejak 1990-an, kemudian Meksiko, Brasil dan lain-lain.‎‎ Kita ini tertinggal tapi lebih baik dibanding tidak sama sekali. Dengan adanya UU ini masyarakat bisa punya rumah layak huni," tandasnya.
Pungutan berganda
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo mengatakan bahwa saat ini ada beberapa pungutan yang memiliki tujuan sama untuk perumahan antara lain Bapertarum PNS, Yayasan Kesejahteraan - Prajurit (YKPP) dan BPJS Ketenagakerjaan yang juga menyediakan program perumahan bagi pekerja.
"Saya kira pengusaha dan pekerja pasti mendukung program Tapera ini, namun yang dipersoalkan adalah adanya dobel pungutan dengan program serupa tadi. Solusinya, mungkin perlu dikaji agar lembaga-lembaga tersebut bisa diintegrasikan," kata Eddy Ganefo.
Berdasarkan draf RUU Tapera diatur pungutan untuk pekerja sektor formal sebesar 3 persen terdiri dari 2,5 persen dibayar oleh pekerja dan 0,5 persen pengusaha (pemberi kerja).
Menurut Eddy, agar tidak memberatkan, dana Tapera seharusnya diambil atau dipotong dari sebagian iuran yang telah rutin disetor pekerja dan pemberi kerja ke BPJS Ketenagakerjaan.
Selain itu, dia berharap pemerintah melakukan intervensi dalam pelaksanaan Tapera karena program tabungan perumahan ini ditujukan bagi seluruh warga Indonesia sehingga layak dibantu, dengan tetap mempertimbangkan penghasilan rakyat bersangkutan.
"Kemudian mungkin perlu dikaji ulang lagi soal pengelolaan dan tarif. Misalnya bagi masyarakat yang sudah punya, seharusnya tetap bisa menggunakan tabungannya di Tapera untuk beli rumah atau keperluan lain. Karena nggak fair juga, kok orang disuruh menabung tapi tidak bisa pakai dananya karena sudah punya rumah," tegas Eddy Ganefo. (Dny/Gdn)
Â
Advertisement