Pangeran Diponegoro Syaratkan Perang Jawa Libur Selama Ramadan

Gencatan senjata yang berlangsung selama Bulan Ramadan berakhir tragis. Pada hari kedua Lebaran, Pangeran Diponegoro ditangkap.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 07 Jun 2016, 20:07 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2016, 20:07 WIB
Pangeran Diponegoro
Gencatan senjata yang berlangsung selama Bulan Ramadan berakhir tragis. Pada hari kedua Lebaran, Pangeran Diponegoro ditangkap.

Liputan6.com, Jakarta Di penghujung Desember 1829, telah jelas bagi Pangeran Diponegoro bahwa Belanda sudah menang perang. Pada bulan sebelumnya, September 1829, Diponegoro mengatakan kepada Mangkubumi bahwa ia seolah menerima petunjuk illahi (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia bila diteruskan.

Perjuangan selama lima tahun yang sudah disiapkan dengan matang tampaknya harus menemui akhir. Berkali-kali utusan Jenderal De Kock datang membujuk. Ada beberapa opsi yang ditawarkan untuk melunakkan hati sang pangeran.

Seperti dikatakan Peter Carey, sejarawan sohor asal Inggris, misalnya saran agar Keraton Yogya dibagi menjadi tiga wilayah kekuasaan: pemerintah kolonial, Susuhunan, dan Mangkunegaran. Begitu pun usul untuk membagi dua kesultanan Yogya dengan menawari Diponegoro wilayah kerajaan sendiri—yang dicoret dari daftar oleh Elout, Menteri Kolonial untuk Negeri-negeri Jajahan Belanda.

Pada Selasa 16 Februari, Pangeran Diponegoro setuju untuk bertemu dengan Jan Baptist Cleerens, utusan Jenderal De Kock. Ia mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badarudin untuk mengundang Cleerens ke Remokamal, di hulu Kali Cingcingguling. Pertemuan itu berlangsung “lancar dan akrab” tapi tidak ada satu poin pun yang disepakati.

Karena De Kock masih di Batavia, Pangeran Diponegoro bermaksud menunggunya di Bagelen Barat. Namun, Cleerens membujuk agar Diponegoro melanjutkan perjalanan dan menunggu di Menoreh.

Sketsa Pangeran Diponegoro koleksi Rijkmuseim Jakarta (istimewa)

Pada 21 Februari 1830 atau empat hari menjelang bulan puasa tiba, Pangeran Diponegoro tiba di Menoreh, pegunungan perbatasan Bagelen dan Kedu. Ia disambut dan dielu-elukan. Rombongannya pun bertambah dua kali lipat menjadi 700 orang saat tiba di daerah kekuasaan Belanda itu.

Meski mendapat predikat musuh Belanda nomor wahid, masyarakat masih memujanya. Pangeran Diponegoro tinggal di sebuah rumah besar yang berdinding bambu dan beratapkan daun kelapa.

Rumah singgahnya itu terletak di sebuah kawasan tanjung, di tepi Kali Progo, yang oleh masyarakat disebut daerah Metesih. Historia, mengutip Peter Carey, menyebut pesanggrahan itu terletak tepat di sebelah barat laut Wisma Keresidenan Kedu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Bulan Puasa yang Tak Biasa

Pangeran Diponegoro menghabiskan waktu di Magelang sambil beristirahat dan memulihkan sakitnya. Pangeran sangat menderita akibat serangan malaria selama di pelarian. Sementara itu, bulan puasa akan dimulai pada 25 Februari. Dan ini adalah bulan puasa yang tidak biasa bagi pasukan Pangeran Diponegoro.

Namun, seperti dikutip dari buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, Pangeran Diponegoro menegaskan tidak ada diskusi serius yang dapat dilakukan sampai bulan puasa berakhir pada 27 Maret. Jikapun ada, itu hanya ramah tamah biasa. De Kock pun menerima hal itu.

Menurut Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford, kekakuan dan keresmian terpancar kuat dari lukisan Pieneman (Istimewa).

Selama beristirahat di Magelang, pasukan Diponegoro membengkak menjadi 800 orang. Banyak dari pengikutnya merupakan bekas prajurit dan bekas anggota resimen kawal pribadi sang pangeran. Sebagian besar dari mereka bersenjatakan tombak. Pasukannya sekarang tampil dalam balutan sorban dan jubah hitam yang dulu diberikan oleh Cleerens.

Sikap baik dan ramah yang diterima Pangeran Diponegoro dalam pertemuan resmi pada Maret 1829 dengan para pejabat dan perwira senior Belanda membuat ia yakin persahabatan mereka akan langgeng. Pangeran Diponegoro berharap setelah bulan puasa berakhir, masalah-masalah yang timbul selama permusuhan lima tahun dapat diselesaikan.

Historia menegaskan De Kock bahkan bermanis muka kepada Diponegoro dengan memberinya seekor kuda bagus warna abu-abu dan uang f 10.000 yang dicicil dua kali untuk biaya para pengikutnya selama bulan puasa

Seperti ditulis Peter Carey, De Kock bahkan membiarkan keluarga pangeran untuk bergabung di Magelang, termasuk ibunya, dua putrinya, dan dua putranya yang masih belia, yakni Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib. Putra tertuanya, Diponegoro II, juga hadir di Magelang bersama Basah Imam Musbah, panglima Diponegoro di Kedu Utara.


Setelah Bulan Puasa Berakhir...

Meski demikian, sikap De Kock kepada Pangeran Diponegoro sesungguhnya bersifat politis. Ia membiarkan sang pangeran menikmati kenyamanan semu sambil memastikan penyerahan diri para panglima yang tersisa sebelum mengambil tindakan kepada Ngabdul Kamid (nama Islam Pangeran Diponegoro).

Bagi mereka, kedatangan Pangeran Diponegoro ke Magelang adalah tanda kekalahan secara de facto.

“Motif dan cara tidak terhormat seperti ini tentu tidak dikatakan secara terbuka, namun dalam pandangan de Kock, apa boleh buat, tujuan menghalalkan segala cara,” seperti ditulis Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro.

De Kock sendiri telah menemui Pangeran Diponegoro dalam tiga kesempatan yang berbeda pada masa tersebut. Dua kali saat jalan Subuh di taman keresidenan dan sekali ketika ia datang sendiri ke pesanggrahan sang pangeran.

Namun, sikap manis De Kock selama bulan puasa tak dapat meruntuhkan pendirian Diponegoro. Jenderal Belanda itu sadar Diponegoro takkan mau menyerah tanpa syarat. Tumenggung Mangunkusumo, mata-mata yang ditanam Residen Valck dalam kesatuan Diponegoro, melaporkan bahwa Diponegoro tetap kukuh dalam niatnya untuk mendapat pengakuan sebagai sultan Jawa bagian selatan.

Foto ilustrasi dan lukisan tentang Pangeran Diponegoro (Foto koleksi Peter Carey)

Seorang pejabat senior Belanda lain menggarisbawahi sikap Diponegoro sebagai ‘Ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya’ (ratu dan pengatur agama di seluruh Tanah Jawa) atau “kepala agama Islam”.

Pada akhirnya De Kock pun mengambil langkah tegas. Pada 25 Maret 1830, dua hari sebelum bulan puasa berakhir, ia memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, untuk mempersiapkan kelengkapan militer guna mengamankan penangkapan sang pangeran.

Gencatan senjata yang berlangsung selama Bulan Ramadan pun berakhir memilukan. Ketika Pangeran Diponegoro datang untuk perundingan damai pada hari kedua Lebaran, 28 Maret 1830, pemimpin Perang Jawa yang terkenal itu dikhianati. Ia ditangkap dan lalu diasingkan hingga tutup usia di Makassar pada 8 Januari 1855.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya