Liputan6.com, Jakarta - Banyak sisi menarik dari kisah salah satu pahlawan nasional yang legendaris Pangeran Diponegoro. Pemimpin Perang Jawa ini lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785 sebagai putra sulung Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Meski lahir dari keluarga bangsawan, sejak kecil sang pangeran dibesarkan di Tegalrejo, di luar keraton. Ia dibesarkan oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng, janda kharismatik pendiri Yogyakarta, Sultan Mangkubumi. Kehidupan masa kecil Pangeran Diponegoro di Tegalrejo sejak usia 7 tahun mendekatkannya dengan rakyat jelata, kaum santri, dan ulama.
Yang paling berpengaruh membentuk kepribadian Pangeran Diponegoro sesungguhnya adalah Ibu Ratu. Ia adalah seorang wanita yang saleh dan berkarakter serta pendukung utama tarekat (paguyuban tasawuf) Shattariyah. Dia terbukti menjadi ibu angkat yang keras terhadap pangeran muda.
Advertisement
Ratu Ageng membawa sang pangeran ke kediamannya yang didirikan dua mil ke barat laut dari Yogyakarta. Pangeran diajar untuk bergaul dengan orang Jawa dari semua kelas, khususnya petani dan para santri. Dia juga dikenalkan ajaran dan praktik Shattariyah.
Baca Juga
Selain itu, Ratu Ageng juga mengajarkan keterampilan administrasi praktis, utamanya untuk menghadapi tantangan fisik yang berat. Pangeran diajak melakukan perjalanan ziarah jarak jauh dengan berjalan kaki ke pesantren-pesantren setempat dan tempat-tempat yang berkaitan dengan dewa pelindung Jawa. Pangeran muda tumbuh sebagai seorang pemain catur dan penunggang kuda yang ulung.
Bukan tanpa alasan sejak kecil Pangeran Diponegoro dididik secara khusus. Ia lahir menjelang fajar pada bulan Jawa Sura, bulan pertama dalam tahun Jawa. Bahkan kakeknya, Sultan Mangkubumi, sudah meramalkan bahwa pangeran dengan nama lahir Bendoro Raden Mas Mustahar ini bakal menimbulkan kerepotan yang luar biasa kepada Belanda.
Selain itu, ketika Pangeran Diponegoro sedang tidur di Parangkusumo selama ziarahnya ke Pantai Selatan sekitar tahun 1805, ia mendengar suara: “Engkau sendirilah sarana itu, tetapi tidak akan lama, hanya agar terbilang di antara para leluhur.” Kebesaran Diponegoro sudah diramalkan.
Ratu Adil dan Cita-cita Negara Islam
Pada 1805 Diponegoro berziarah ke pantai selatan Jawa, sebuah perjalanan yang ditandai ketika ia sudah menjadi remaja dewasa. Di gua-gua dan tempat-tempat suci yang ia pakai untuk bermeditasi, ia menerima wangsit yang mencerminkan peran masa depan depannya sebagai Ratu Adil Jawa. Pangeran Diponegoro ingin mengembalikan keseimbangan moral alam semesta serta membangkitkan “kemuliaan agama Islam di tanah Jawa.”
Meski demikian, Diponegoro sebenarnya tidak murni seorang reformis Islam. Sebaliknya, menurut Peter Carey penulis buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, sang pangeran lebih sebagai pelindung tatanan lama di mana sistem kepercayaan Jawa terkait dengan dewi pelindung Laut Kidul, Ratu Kidul, dan pelindung spiritual lain dari penguasa Jawa tengah selatan lain agar bisa berdampingan dengan ajaran Islam.
Pangeran Diponegoro selalu merasa ada konflik internal dalam dirinya antara seorang mistikus dan panggilan wangsit atau takdir pribadi sebagai panglima militer dan pemimpin politik. Namun, situasi kala itu sungguh luar biasa.
Dunia remaja Diponegoro adalah dunia adat dan tradisi Jawa yang abadi, yang dihancurkan oleh intervensi kolonial Eropa. Di satu sisi terjadi pergolakan dunia dan kejadian-kejadian di Timur Tengah, dengan tentara Prancis sejenak menguasai Mesir dan Suriah (1798-1801) dan gerakan Saudi-Wahhabi hingga menguasai Mekah dan Madinah (1803-1812).
Contoh dari Turki Ottoman memberikan inspirasi kepada penduduk muslim Nusantara karena dianggap sebagai negara Islam yang mampu mempertahankan diri terhadap Kristen Eropa.
Salah satu pengaruh Turki Ottoman tampak pada pemberian pangkat dalam pasukan Diponegoro.
Misalnya Alibasah (pangkat perwira tinggi), Basah (pangkat perwira menengah), dan Dulah atau Agadulah (pangkat perwira pertama). Istilah Turki pun diucapkan dengan lafal Jawa, seperti Bulkiyo dari Bolluk, Borjumuah dari Bashibusoek, dan Turkiyo dari Turki Harkio.
Berkaitan dengan itu, Pangeran Diponegoro kemudian mengubah nama dan pakaiannya. Ia mengatakan, “Namaku bukan Diponegoro lagi, tapi Ngabdulkamid.” Ia kemudian menyepi di tempat-tempat sunyi, mengikuti kebiasaan Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi nabi.
Ia berkelana dari masjid ke masjid, pesantren ke pesantren di pelosok desa yang jauh dari nagara. Ia juga meninggalkan pakaian kebesarannya dan setelah itu mengenakan pakaian berwarna putih atau hijau, warna yang disukai Nabi Muhammad SAW. Karena itulah dalam potret dan lukisan koleksi Belanda, sang pangeran tampak dalam busana saleh kebesarannya dan surban.
Salah satu simbol Diponegoro sebagai Ratu Adil tampak dari pusaka tongkat kesayangannya, Kanjeng Kiai Cakra. Pusaka yang dibuat untuk Sultan Demak pada abad ke-16 ini diberikan kepada Pangeran Diponegoro pada 1815.
Simbol cakra memiliki arti penting karena cakra adalah senjata tradisional milik Dewa Wisnu. Reinkarnasinya yang ke-7 dengan mengenggam senjata cakra dikaitkan dengan mitologi Jawa terkait kedatangan Ratu Adil atau Erucakra—sebuah gelar yang disematkan kepada Pangeran Diponegoro.
Janji Perang Sabil
Pangeran Diponegoro kemudian bercita-cita untuk mengubah masyarakat dan Kesultanan Yogyakarta menjadi masyarakat Islam dalam wadah balad (negara) Islam. Dan menurut dia, seperti diwartakan Babad Dipanagara, pembentukan balad Islam hanya bisa dicapai dengan perang sabil terhadap kafir.
Untuk merealisasikan cita-citanya itu, Pangeran Diponegoro melakukan aktivitas lobi, juga bergaul dengan komunitas santri dan petani. Ia mendapat dukungan dari para pemimpin daerah, termasuk dari para kyai yang terkenal seperti Kiai Mojo, Kiai Mlangi, Kiai Waron, Kiai Taptoyani, serta para ulama lainnya.
Peter Carey mencatat ada 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan penghulu yang sepaham dengannya. Dalam Babad Dipanagara versi Surakarta disebutkan bahwa banyak tumenggung, kliwon, panewu, mantri, pangeran arya hampir setiap malam datang ke Tegalrejo. Mereka berjanji setia dan akan mendukung Diponegoro untuk melakukan perang sabil.
Ketika bersiap melakukan perang, Pangeran Diponegoro melakukan persiapan secara sempurna. Ia mempersiapkan spioen (mata-mata) serta membeli perbekalan berupa beras dari pasar secara besar-besaran. Dengan tekun Diponegoro mempersiapkan operasi senyap (conspiracy of silence) yang baru disadari oleh Belanda ketika pasukan Diponegoro berhasil memasuki Yogyakarta pada bulan Juli 1825. Pasukan Hindia Belanda terkepung di dalam kota. Pemberontakan kemudian meletus di pelbagai tempat di wilayah Kesultanan.
Saleh Asad Djamhari pernah meneliti peran spioen dalam strategi perang Diponegoro. Menurut sejarawan Universitas Indonesia ini, peran para spioen dimulai sesudah penutupan jalan ke Tegalrejo (1825) oleh Patih Danurejo.
Kala itu Diponegoro memerintahkan para pembantunya mempersiapkan markas komando di Desa Selarong dan cadangannya di Jekso. Para pengikutnya dipanggil melalui para spioen agar berkumpul di Selarong bila sewaktu-waktu pecah perang.
Baca Juga
Setelah itu Pangeran Diponegoro memerintahkan pembelian padi secara besar-besaran, memobilisasi massa, dan membagi-bagikan mandala perang (16 mandala). Bahkan para spioen ditugasi melakukan pembelian senjata api (geweren) dan penimbunan mesiu. Persiapan Diponegoro untuk perang sabil melalui conspiracy of silence, menurut Saleh Asad Djamhari, berjalan sangat baik.
Salah satu tanda kuat bahwa perang yang dicita-citakan Diponegoro merupakan perang sabil adalah syarat yang diajukan Kiai Mojo, salah satu panglima perang Diponegoro yang paling penting, kepada William Stavers yang bertindak sebagai utusan resmi Jenderal De Kock. Dalam pertemuan pada 1826, Diponegoro menyampaikan tiga syarat untuk menghentikan peperangan. Syarat itu adalah: Pertama, orang Belanda harus memeluk agama Islam. Kedua, wilayah pesisir harus dikembalikan kepada Kesultanan. Ketiga, orang Belanda boleh tetap tinggal di Jawa, tetapi dilarang berdagang.
Jelas sekali itu adalah cara halus dari Diponegoro untuk menolak menyerah. Namun Jenderal De Kock tidak berputus asa. Ia berupaya membujuk Kiai Mojo untuk membelot. Bahkan, seorang sahabat Kiai Mojo, Pangeran Purbaya dari Surakarta, ikut membujuk Kiai Mojo melalui surat. Namun, Kiai Mojo menjawab, “Tidak ada raja yang berbaik budi mengangkat derajat ulama, selain Sultan Hamid (Diponegoro).
Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun telah mengambil nyawa 200.000 orang Jawa dan merusak kehidupan dua juta lebih—sepertiga dari penduduk pulau pada waktu itu.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Jawa, Perang Diponegoro memecah belah masyarakat Jawa tengah-selatan menjadi tiga kelompok yang berbeda: “wong Islam”, yaitu orang Jawa yang mendukung pangeran; “kafir laknatullah”, yaitu penjajah Belanda; dan “kafir murtad”, yakni orang-orang Jawa yang mendukung Belanda.
Advertisement