Eni Lestari, TKW Kediri Pembela Buruh Migran Sedunia

Eni pernah bermimpi untuk kuliah, tapi keinginannya dikubur dalam-dalam setelah usaha orangtuanya bermasalah.

oleh Zainul Arifin diperbarui 30 Agu 2016, 13:30 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2016, 13:30 WIB
Eni Lestari, TKI yang berpidato di PBB
(Zainul Arifin/Liputan6.com)

Liputan6.com, Malang - Seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Kediri, Jawa Timur, bakal berpidato saat pembukaan KTT ke-71 PBB di New York, Amerika Serikat, pada 19 September 2016. Eni Lestari namanya.

Eni selama ini aktif di berbagai organisasi buruh migran sebelum akhirnya terpilih menjadi ketua International Migrant’s Aliance (IMA). Saat ini, ia juga menjadi koordinator Persatuan Buruh Migran Indonesia (BMI) Tolak Overcharging (Pilar), juru bicara Asian Migrants Coordinating Body (AMCB), sebuah aliansi organisasi buruh migran dari Nepal, Srilanka, Thailand, Filipina, dan Indonesia.

Eni Lestari telah 15 tahun menjadi buruh migran. Jalan panjang dilalui anak sulung dari tiga bersaudara ini.

Ia harus menanggalkan mimpi menempuh perguruan tinggi akibat krisis moneter pada 1997, kala usaha kedua orangtuanya yang berjualan di pasar tradisional Kediri ambruk diterpa badai ekonomi saat itu.

"Saat itu saya baru lulus sekolah menengah atas (SMA). Situasi ekonomi keluarga saat itu berat, saya di antara ingin lanjut kuliah atau cari kerja," ujar Eni.

Selama dua tahun, dia mencari informasi kuliah murah yang mengajarkan keterampilan penuh agar lulus bisa langsung bekerja. Namun karena biaya mahal ditambah dua adiknya masih kecil, Eni memutuskan mengubur impiannya untuk kuliah.

Pada 1999, seorang kawan datang menawari bekerja ke Hong Kong dengan iming–iming gaji Rp 2 juta. Orangtuanya melepas keberangkatannya dengan berat hati.

Ditipu

Sebelum ke Hong Kong, Eni tinggal selama lima bulan di tempat penampungan milik sebuah Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Surabaya. Selama di penampungan itu pula, ia dan puluhan calon buruh migran lainnya mendapat pelatihan bahasa dan keterampilan sebagai pekerja rumah tangga.

Ironisnya, pelatihan bahasa hanya diajari oleh mantan buruh migran, tanpa tahu struktur bahasa yang benar. Selama di penampungan itu pula, tak ada bekal pengetahuan tentang sosial dan budaya masyarakat di negara tujuan bekerja.

Perbedaan budaya yang tak dipahami ini juga menjadi persoalan serius. Dampaknya, apa yang diajarkan di penampungan itu banyak tak berguna.

"Praktis apa yang dilatih di penampungan hanya berguna sekitar 20 persen saja. Soal hak dan kewajiban kami juga tak dijelaskan. Kontrak kerja dalam bahasa asing diberikan beberapa saat sebelum kami berangkat," papar Eni.

Tiba di rumah majikan tempatnya bekerja, paspor langsung disita. Pada tiga bulan pertama, tak sepeser pun uang gaji diterima. Baru pada bulan keempat ia menerima gaji, itu pun hanya 50 persen dari yang dijanjikan. Alasannya, untuk mengganti biaya agen mengurus buruh migran masuk ke negara tujuan.

"Saya ini juga korban underpay. Dan banyak praktik seperti itu terjadi. Di tempat kerja tak diberi hari libur, tak boleh komunikasi dengan orang lain, semua kondisi tak layak. Itu membuat saya tak betah."

Pada bulan ketujuh bekerja, sekitar awal 2000-an, Eni berhasil kabur dan meminta pertolongan pada sebuah shelter buruh migran, yakni Mission From Migrant Walker. Di lembaga ini, ia mendapat penjelasan tentang berbagai aturan ketenagakerjaan dan aturan hukum yang berlaku.

"Di situ saya baru tahu kalau sudah tertipu mentah–mentah oleh agen pengirim dan majikan tempat saya bekerja," kata Eni.

Tergerak

Melalui lembaga itu, Eni berjuang menuntut haknya dan menang atas majikannya, yakni mendapat gaji yang tak dibayarkan. Di shelter itu, ia tinggal selama lima bulan sembari belajar tentang hukum dan advokasi, serta lebih sering berinteraksi dengan kawan buruh migran Indonesia lainnya.

"Di sini saya sadar bisa berbuat sesuatu, bisa menjelaskan soal hak dan kewajiban kepada rekan TKI lainnya. Dan saya adalah bukti itu sendiri yang bisa melakukannya, menuntut hak," ucap dia.

Bersama rekan–rekannya, dia membentuk Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) pada Oktober 2000. Prinsip pemberdayaan terhadap buruh migran yang menjadi korban perbudakan ini menjadi prioritas organisasi tersebut.

"Jika buruh migran diberi pemahaman dan difasilitasi, mereka bisa mengubah nasibnya sendiri, bisa memperjuangkan nasibnya sendiri," tutur Eni.

Ia dan rekan–rekannya di ATKI terus mendorong adanya perubahan pola pikir agar mau memperjuangkan hak dan lebih berdaya. Selama ini, orang Hong Kong menyebut TKW asal Indonesia sebagai tenaga murah, cantik, dan bersih. Menurut Eni, hal itu menunjukkan ketidakberdayaan buruh migran Indonesia.

"Ini yang harus kita lawan dan memang butuh waktu lebih dari lima tahun untuk mengubah pola pikir kawan–kawan kami," ujar Eni.

Eni dan anggota ATKI yang berbasis relawan pun memilih Victoria Park yang menjadi lokasi favorit ribuan buruh migran saat hari libur sebagai tempat kampanye. Organisasinya menjelaskan pada mereka tentang hak, hukum dan isu ketenagakerjaan lainnya.

"Kami harus datang langsung ke lokasi agar bisa menjangkau lebih luas ke kawan TKI lainnya. Agar visi misi kami ke semua TKW dan TKI tahu haknya," papar Eni.

Lalu pada 2008, bersama sejumlah organisasi buruh migran Indonesia, mereka membentuk sebuah aliansi besar, Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI). Sejak kali pertama dibentuk, JBMI rata–rata menerima lima ribu pengaduan tiap tahunnya. Mayoritas soal pemotongan gaji dan kondisi kerja tak layak.

Jika bersengketa ke pengadilan, mereka dibantu oleh lembaga Mission From Migrant Walker. Pada 2015, tercatat ada 700 kasus yang disidang di pengadilan yang dibantu oleh lembaga itu.

JBMI bersama organisasi buruh migran dari negara lainnya pada akhirnya membentuk Asian Migrants Coordinating Body (AMCB), sebuah aliansi organisasi buruh migran dari Nepal, Srilanka, Thailand, Filipina, dan Indonesia.

"Karena masalah kesejahteraan, kesetaraan buruh migran ini adalah masalah bersama dan harus dihadapi bersama–sama," ucap Eni.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya