Rahasia di Balik Tiga Potong Setusuk Satai Maranggi

Sate maranggi menjadi salah satu aset penting pariwisata di Purwakarta.

oleh Abramena diperbarui 17 Okt 2016, 17:31 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2016, 17:31 WIB
Mengapa Sate Maranggi Hanya Tiga Potong Setusuk?
Sate maranggi menjadi salah satu aset penting pariwisata di Purwakarta. (Liputan6.com/Abramena)

Liputan6.com, Purwakarta - Satai maranggi adalah kuliner khas Purwakarta yang terbuat dari kambing muda. Dalam satu tusuk sate selalu terdapat tiga potong daging. Ternyata, ada makna di balik setusuk satai maranggi itu.

"Itu ada artinya. Daging pertama berarti tekad, daging kedua ucapan, dan daging ketiga memiliki makna gerak langkah kaki kita dalam berusaha," tutur R. Najib Siradj, pengusaha sate maranggi kepada Liputan6.com, Sabtu, 15 Oktober 2016.

Menurut lelaki yang akrab disapa Ajib itu, filosofi setusuk satai maranggi menjadi tekad dan optimisme dalam menjalankan usaha. Terbukti, setelah malang melintang di usaha sate selama 30 tahun, ia kini mulai menuai hasilnya.

Mantan buruh kontrak di salah satu BUMN itu mengaku awalnya hanya bermodal nekat dan sisa uang pesangon akibat diputus kontrak saat baru merintis usaha warung satai maranggi. Waktu itu, ia menjajakan satai maranggi dengan dipikul secara berkeliling.

"Pertengahan tahun 1986, kontrak saya diputus oleh perusahaan. Saya menerima uang pesangon Rp 308 ribu. Akhirnya, sisa belanja kebutuhan sehari-hari, saya memberanikan diri membuat usaha satai maranggi," tutur Ajib di warung sate maranggi miliknya di Jalan Mr Dr Kusumaatmadja Purwakarta.

Namun bukan keuntungan yang didapat dari berjualan keliling saat itu, dia justru kesulitan memasarkan jualannya. Ia harus berpindah-pindah jualan mulai dari Pasar Simpang ke Pasar Rebo hingga ke Pasar Jumat.

"Saat itu, untuk balik modal pun sudah menjadi sesuatu yang luar biasa," ujar Ajib.

Alhasil tak jarang satai dagangannya banyak tersisa. Ia tak segan membagikan satai marangginya tersebut kepada setiap orang yang dia temui di jalanan secara gratis. Namun bagi Ajib, pembagian gratis itu tidak merugikannya.

Ia berpikir, itu cara promosi usaha yang jitu. Di setiap bungkus maranggi, dia bubuhkan stempel nama Maskar (Masakan Karuhun) Sate Maranggi Pak Ajib.

"Saya setiap hari mengolah lima kilogram daging, paling laku 2 – 3 kilogram. Sisanya saya bakar saja, saya bagikan secara gratis lengkap dengan cap stempel. Saya kirimkan juga ke radio-radio di Purwakarta. Jalan kaki Pak," ujar Ajib.

Seiring perjalanan waktu dan usahanya dalam mempromosikan sate maranggi Ajib mulai menuai berkah. Dia mulai menerima banyak pesanan satai maranggi yang dinamainya sebagai resep karuhun tersebut. Yang paling diingatnya adalah pesanan 10 ribu tusuk maranggi datang dari salah satu perusahaan di Cikampek sekaligus menjadikannya pemesan pertama.

Dipesan Presiden

Mengapa Sate Maranggi Hanya Tiga Potong Setusuk?
Sate maranggi menjadi salah satu aset penting pariwisata di Purwakarta. (Liputan6.com/Abramena)

Seiring waktu, satai maranggi Ajib semakin populer. Pemesannya bukan hanya kalangan masyarakat biasa, tapi juga presiden. Presiden ke-5 RI Megawati Soekarno Putri pernah memesan satenya untuk sebuah acara hingga menghabiskan bahan daging sapi 50 kilogram.

"Ya dari situ, mulailah satai maranggi, terutama maranggi Ajib dikenal. Bahkan, pesanan saat itu juga datang dari Universitas Padjadjaran Bandung untuk makan siang di salah satu acara besar disana," tutur Ajib.

"Berkah sedekah intinya, saat kita dalam keadaan terjepit dan sulit, solusinya ternyata bukan menabung dan menumpuk harta, tetapi memberikan apa yang kita miliki kepada orang lain. Seadanya kita. Tidak perlu ditambah atau dikurang. Sekemampuan saja," ucap Ajib lagi.

Pria yang mengaku sudah tujuh kali menikah ini pun sempat menceritakan asal mula Maranggi. Saat duduk di kelas tiga sekolah dasar, dirinya mengaku pernah melihat seseorang bernama Mak Anggi memotong daging dan menusukannya ke dalam tusukan berbahan bambu. Ajib pun diperkenalkan oleh kedua orangtuanya kepada Mak Anggi yang berasal dari daerah Cianting Plered, Purwakarta.

"Nama maranggi mungkin dari sini awal mulanya. Penyebutan Maranggi untuk produk karuhun khas Purwakarta ini," ujar Ajib.

Setelah belajar dan banyak mengetahui tentang sate khas Purwakarta dari seorang nenek bernama Mak Anggi, Ajib kemudian memodifikasi melalui bumbu dan racikan tertentu sehingga Maranggi Ajib memiliki tekstur dan rasa yang khas jika dibandingkan dengan Maranggi lain yang diproduksi di Purwakarta.

Ajib menjelaskan sate marangginya lebih perhatian terhadap penyerapan bumbu baik sebelum maupun sesudah dibakar, sehingga rasa dagingnya menjadi berbeda karena cenderung basah.

Setelah populer, Ajib menemui Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang kala itu tengah gencar mempromosikan wisata dan kuliner. Ia menyampaikan sejumlah pemikirannya pada Bupati Dedi,  di antaranya jika ingin memajukan pariwisata, sudah menjadi keharusan untuk melindungi sate maranggi sebagai salah satu aset yang dimiliki Purwakarta.

Bak gayung bersambut, Bupati kemudian mengamininya. Bahkan, Dedi menyiapkan beragam konsep menggenjot promosi maranggi, mulai dari branding sate Maranggi dan mengumpulkan seluruh pedagang satai maranggi di Purwakarta untuk diberikan pelatihan, hingga pola produksi, promosi serta penjualan.

"Saya ingin berterima kasih kepada Pak Bupati. Kang Dedi telah berhasil membuat sate maranggi Purwakarta mendunia. Ini terus terang saja di luar dugaan. Berkahnya sampai pada kami pedagang maranggi," kata Ajib.

Dengan ketenaran satai maranggi saat ini, otomatis para pelaku usaha panganan itu semakin berkembang. Tidak terkecuali bagi Ajib. Jika dulu hanya memiliki warung kecil ukuran 4x4 meter, ia kini telah membuka usaha marangginya berupa rumah makan di berbagai tempat di Purwakarta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya