Liputan6.com, Purbalingga - Hujan tak membuat Siyah, 56 tahun, menghentikan pekerjaannya. Ia terus menganyam satu demi satu helai rambut menjadi bulu mata. Ngidep, itulah istilah pekerjaan yang sedang dilakukan oleh Siyah.
“Hari ini saya harus menyelesaikan 15 bulu mata palsu,” kata Siyah, saat ditemui di rumahnya, di Desa Wlahar, Kecamatan Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah, pada Jumat 14 Oktober 2016.
Setiap hari ia ditarget 12 bulu mata oleh pengepul. Siyah sudah 15 tahun menjadi buruh plasma bulu mata palsu. Berbeda dengan karyawan pabrik, buruh seperti Siyah ini membuat bulu mata di rumahnya.
Setiap hari hasil karyanya yang ia kerjakan mulai pukul 08.00, dan selesai pukul 17.00 harus diserahkan ke pengepul. Dari pengepul inilah kemudian diserahkan ke pabrik bulu mata yang sebagian besar milik pengusaha Korea Selatan.
Baca Juga
Tiap orang berbeda target hariannya. Tergantung kuat tidaknya fisik seseorang untuk duduk lama sambil membuat bulu mata. Setidaknya ada empat klasifikasi target bulanan dan ini berpengaruh terhadap bonus bulanan.
Jika bisa mengerjakan 12 helai akan mendapatkan bonus Rp 5.000. Sedangkan, target 17 helai dibayar Rp 10 ribu, 20 helai Rp 12 ribu, dan target 25 helai mendapat Rp 14 ribu.
“Kalau saya sudah tua, mata sering sakit dan pusing. Jadi ya ambil target yang paling kecil,” kata dia.
Berbeda dengan Siyah, Kadirah (28) berani mengambil target 17 helai sehari. Ia menjadi pengidep untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Meski desa itu terkenal dengan kerajinan anyaman bambunya, hampir sebagian besar perempuan di desa itu bekerja sebagai pengidep. Di desa itu ada delapan pengepul. Satu pengepul biasanya membawahi sekitar 20-30 pengidep.
Advertisement
Kadirah mengatakan setiap helai bulu mata yang berhasil ia kerjakan akan dibayar Rp 775. Sedangkan bulu mata dengan tingkat kesulitan sedang, upah satuannya Rp 665.
Dalam sebulan, ia bisa mendapatkan upah Rp 472 ribu. Itu sudah termasuk bonus kehadiran senilai Rp 1.000 tiap harinya. Jika sehari saja ia tak hadir, maka uang bonus itu akan hangus.
Tak ada BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja yang diberikan oleh perusahaan. Bahkan, seringkali bulu mata itu dikembalikan oleh penyortir dan tanpa mendapat bayaran.
"Tergantung mood si penyortir, kalau lagi baik ya diterima semua," ujar dia.
Ia dan teman-temannya sebenarnya sudah pernah ingin membentuk serikat buruh. Namun, niat itu belum kesampaian. Selain kesadaran yang masih rendah, mereka juga takut tidak dipekerjakan lagi oleh pengepul.
“Kami sebenarnya ingin upah naik menjadi Rp 1000 per helai dan ada BPJS Ketenagakerjaan,” katanya.
Di pasaran, setelah dikemas dalam pabrik, harganya bisa mencapai Rp 300-500 ribu per helai. Apalagi jika sudah dikemas dan diberi merek terkenal, tentu harganya bisa lebih mahal lagi.
Kadirah mengatakan hampir seluruh perempuan di desanya menjadi pengidep. Bahkan, mereka yang baru lulus SMP dan tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah, akan menjadi pengidep.
Susah Buatnya Murah Harganya
Apa yang dilakukan Siyah dan Kadirah hanyalah tahap pertama dari sejumlah tahap agar bulu mata bisa dipakai. Tahap berikutnya adalah menyortir, mewarnai, membentuk, hingga pengepakan.
Buruh plasma bulu mata palsu tidak hanya ada di Desa Wlahar. Namun, ada puluhan ribu perempuan yang bekerja sebagai pembuat bulu mata.
Seperti apa yang dilakukan oleh Khotimah, 36 tahun. Hampir satu jam ia duduk tanpa banyak gerak. Hanya tangannya saja yang terus memilin helai rambut satu demi satu. Siang itu, Khotimah sedang mencoba membuat bulu mata yang biasa dipakai penyanyi Syahrini.
"Susah membuatnya, tapi harganya sangat murah," ujar Khotimah, buruh plasma bulu mata palsu Desa Pengadegan, Kecamatan Pengadegan.
Idep atau bulu mata palsu yang biasa dipakai Syahrini masuk kategori target murah. Dari satu pasang bulu mata itu, buruh mendapatkan Rp 600. Dalam sehari mereka harus menyelesaikan 20 pasang bulu mata untuk jenis itu.
Berbeda dengan bulu mata jenis lainnya, bulu mata Syahrini panjangnya mencapai 40 sentimeter. Dalam satu ikat, terdapat tiga helai rambut yang diikat dalam satu ikatan. Berbeda dengan bulu mata lainnya yang hanya satu helai rambut dalam satu ikatan.
Khotimah merupakan satu dari ribuan buruh plasma yang setiap hari harus menyelesaikan target pembuatan bulu mata sebanyak 14 buah. Dalam sehari, jika bisa mencapai target, ia akan dibayar Rp 13 ribu.
Rinciannya, satu bulu mata dihargai Rp 600. Uang hadir Rp 3.000 dan uang prestasi mencapai target Rp 3.000.
"Kalau enggak mencapai target ya uang yang didapat sedikit. Rusak sedikit saja langsung dikembalikan tanpa dibayar," kata Khotimah.
Sri Muniah, Ketua RT 06/RW 21 Desa Pengadegan, mengatakan ia sudah berhenti menjadi buruh bulu mata karena matanya sudah tak kuat untuk bekerja. "Rata-rata buruh plasma pasti menderita sakit mata dan pusing-pusing," ujar dia.
Selain menjadi buruh idep dan wig, hampir sebagian besar tetangganya juga bekerja di pabrik dengan skala besar. Tak hanya ibu rumah tangga yang memilih bekerja di pabrik, anak-anak lulusan SMP juga banyak yang memilih tak melanjutkan sekolah demi bekerja di pabrik bulu mata.
Menurut Sri, untuk mendaftar di pabrik, tak dibutuhkan KTP atau ijazah. Asal bisa ngidep, mereka akan diterima kerja. Bahkan, beberapa di antaranya bisa bekerja sebelum ijazah SMP keluar.
Sakiyem (17) memilih bekerja di pabrik dibanding dengan melanjutkan sekolah. "Untuk membantu orang tua," ujar dia.
Dalam satu RW, rata-rata ada 50 lulusan SMP yang tak melanjutkan sekolah dan memilih menjadi buruh pabrik. Rata-rata adalah perempuan yang bisa membuat bulu mata. Sedangkan, lulusan laki-laki lebih memilih ke Jakarta karena tak bisa ditampung di pabrik.
Derita buruh tak hanya dialami oleh buruh plasma. Di pabrik bulu mata, permasalahan buruh juga cukup banyak.
"Seringkali kami tak mendapat cuti hamil. Jika cuti dipersilakan untuk keluar," kata salah seorang buruh perempuan, sebut saja Wati (35).
Bahkan jika ada saudaranya yang meninggal dunia, petugas pengamanan pabrik harus mengawalnya karena tak percaya dengan buruhnya. Wati sudah bekerja 12 tahun dan upahnya saat ini Rp 1,1 juta. Upah tersebut seringkali tak mencukupi kebutuhan ketiga anaknya. Apalagi suaminya hanya buruh serabutan.
Perlakuan kerja di perusahaan yang diterimanya juga sering tak manusiawi. Untuk ribuan buruh yang bekerja di pabrik, hanya disediakan puluhan kamar mandi untuk dipakai bersama-sama. Itu pun jamnya sudah diatur, kapan mereka bisa masuk ke toilet.
Masih menurut Wati, serikat pekerja di Purbalingga selama ini tidak mewakili kepentingan buruh. Jika ada buruh yang ingin mendirikan serikat pekerja, maka akan langsung dipecat.
Advertisement
Bulu Mata Katy Perry
Data yang tercatat di Dinas Tenaga Kerja Purbalingga menyebutkan, sedikitnya 50 ribu tenaga kerja lokal masuk di sektor ini. Mereka tersebar di 33 pabrik bulu mata dan 18 pabrik di antaranya milik pengusaha asing.
Tukimin, Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Purbalingga, mengatakan buruh plasma tidak masuk dalam skema hubungan ketenagakerjaan. "Mereka masuknya di sektor informal," ujar dia.
Meski begitu, ia mengakui buruh plasma bulu mata palsu selama ini mendapat perintah dan upah dari pabrik meski tidak secara langsung. Hubungan ketenagakerjaannya melalui pengepul yang menyetorkan hasil kerja buruh plasma ke pabrik-pabrik.
Menurut dia, buruh plasma sebaiknya membentuk serikat pekerja agar hak-haknya bisa diakomodasi oleh pengepul dan pabrik. Ia menambahkan, akhir-akhir ini tidak semua bulu mata hasil kerja buruh plasma diserahkan ke pabrik.
Beberapa di antaranya dijual ke salon-salon di dalam negeri. Ia khawatir, bulu mata yang dijual bebas ini tidak memenuhi standar baku mutu. Menurut dia, selama ini bulu mata yang masuk pabrik hasilnya semua diekspor.
Hanya saja, kata dia, bulu mata yang dipakai artis-artis internasional tidak ada yang bermerek Purbalingga. Pabrik di Purbalingga yang sebagian besar milik pengusaha Korea Selatan ini menjualnya ke Singapura dan Korea.
"Jadi brand yang keluar memang Korea bukan Indonesia," kata dia.
Ia menyebutkan, produksi bulu mata Purbalingga setiap tahunnya mencapai 10 juta pasang. Nilai ekspornya hampir mencapai Rp 1 triliun setiap tahun.
Pangsa pasar bulu mata palsu disebutnya masih sangat luas. Hal ini disebabkan bulu mata digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari. Berbeda dengan Siyah. Meskipun ia ahli membuat bulu mata, sekalipun dalam hidupnya ia belum pernah menggunakan bulu mata.
Presiden Direktur PT Bintang Mas Triyasa, Audrie Sukoco mengatakan, produk bulu mata Purbalingga merajai di daratan Eropa, Amerika Serikat, hingga Afrika.
"Kalau merek dari rekanan di negara lain, bukan Indonesia," kata dia.
Ia mengatakan bulu mata Purbalingga sudah menjadi langganan selebritas Hollywood mulai dari era Madonna hingga masa kini, Katy Perry. Katy Perry bahkan menggunakan produk Eyelure yang diproduksi PT Royal Korindah. Pabrik ini merupakan yang tertua di Purbalingga.
Di Indonesia, sejumlah artis menjadi duta bulu mata palsu produk Purbalingga. Mereka dikontrak khusus untuk mendongkrak penjualan di pasar domestik. Beberapa artis yang pernah meng-endorse bulu mata Purbalingga di antaranya, Olga Lidya, Syahrini, dan Cherrybelle.
Sejumlah produsen kecantikan wanita kelas kakap macam Maybelline, L’Oreal, dan Kiss juga menggunakan bulu mata palsu Purbalingga. Saat ini, industri bulu mata Purbalingga hampir menyamai industri di Tiongkok.