Sejarah Tak Terduga di Balik Rumah Panggung Reyot dan Tua

Meski reyot, warga masih sering meletakkan sesajen di dalam rumah panggung tua itu.

oleh Eka Hakim diperbarui 27 Okt 2016, 19:39 WIB
Diterbitkan 27 Okt 2016, 19:39 WIB
Sejarah Tak Terduga di Balik Rumah Panggung Reyot dan Tua
Meski reyot, warga masih sering meletakkan sesajen di dalam rumah panggung tua itu. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Sebuah rumah panggung reyot yang terletak di perkampungan tua Onto, tepatnya di lereng Gunung Lompo Battang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, terlihat hanya sebuah gubuk tua tak terawat dan usang biasa. Di balik itu, rumah panggung tersebut menyimpan sejarah tak terduga.

Rumah panggung tersebut merupakan salah satu jejak tertua awal munculnya Kabupaten Bantaeng, Sulsel. Meski tak dirawat, rumah panggung itu sering dijadikan tempat pelaksanaan ritual-ritual adat, seperti hajatan pernikahan dan kelahiran bayi.

Menurut masyarakat setempat, rumah panggung yang berada dalam Perkampungan Toa Onto itu seluruhnya berjumlah tujuh unit yang terdiri dari ‎enam unit berukuran besar letaknya menghadap arah utara dan satu unit berukuran kecil ‎yang menghadap ke arah selatan.

"Lokasi perkampungan tua Otto terletak sebelah utara Kota Bantaeng (Butta Toa) yang dimana ditempuh dengan jarak sekitar 12 km," kata Majja (68), warga Loka Kab. Bantaeng, Sulsel kepada Liputan6.com, Rabu, 26 Oktober 2016.

Majja mengatakan,‎ rumah panggung itu bernama Balla Tujua yang termasuk cagar budaya.

"‎Balla Tujua itu dikenal sebagai rumah adat tempat awal munculnya kerajaan kuno Bantaeng. Namun yah, kondisinya memiriskan karena hampir tak terawat padahal seharusnya wajib dijaga," kata Majja.

Berdasarkan cerita turun temurun, perkampungan tempat rumah panggung itu berada merupakan tempat pertapaan para keturunan raja yang disebut dengan istilah Kare dari beberapa daerah di Bantaeng. Di antaranya dari Sinoa, Bisampole, Gantarang Keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi.‎

"Ceritanya kala itu, ketujuh Kare sepakat untuk melakukan pertapaan agar mengetahui siapa di antara mereka yang terpilih sebagai pemimpin tunggal," kata Majja.

Pertapaan bagi tujuh Kare itu, lanjut Majja, bertujuan meminta restu dan petunjuk Sang Dewata. Dalam pertapaan di rumah panggung itu, Dewata kemudian memberikan gambaran dari ketujuh Kare tersebut siapa yang tepat menjadi pemimpin bagi warga Bantaeng.

"Rumah panggung itu beratap, berdinding serta mempunyai tiang dari bambu. Di situlah ketujuh Kare bertapa," ujar dia.

Saat bertapa, satu di antara Kare, yakni Kare Bisampole, terkena cahaya yang turun langsung dari langit. Seiring itu, ia mendengarkan suara yang berbunyi "Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna?" (Apa yang kau cari di tengah cuaca dingin seperti ini?).

"Lalu, Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak berpisah-pisah seterusnya," kata Majja menirukan cerita yang didengarnya.

Selanjutnya, suara yang tak diketahui sumbernya itu lalu membalas jawaban Kare Bisampole dengan kalimat "Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah ke tempat permandian yang terbuat dari sebilah bambu).

Keesokan harinya, tujuh Kare tersebut mencari tahu keberadaan tempat yang didapatkan dari suara misterius tersebut. Tempat yang dimaksud ternyata masih dalam perkampungan Onto.

"Saat tiba di tempat yang dimaksud, tujuh Kare melihat ada seorang pria tampak sedang mandi yang menurut masyarakat disebut ‎To Manurunga ri Onto," kata Majja.

Ketujuh kare kemudian mendekati pria itu dan menyampaikan tujuan mereka. "Mereka meminta Tomanurung untuk memimpin mereka saat itu,"  ucap Majja.

Asal Mula Nama Bantaeng

Sejarah Tak Terduga di Balik Rumah Panggung Reyot dan Tua
Perkampungan tua Onto tempat rumah panggung reyot berada. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Tomanurung bersedia menerima tawaran untuk diangkat menjadi pemimpin asalkan syarat dipenuhi. Syaratnya kala itu, menurut Majja, disebut dalam bahasa Makassar yang berbunyi, "Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu" yang berarti "Saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut."

"Tujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun berkata dengan bahasa Makassar 'Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.' Artinya, saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, selanjutnya engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukan sebagai racun," ujar Majja.

Setelah kedua pihak bersepakat, Tomanurung kemudian diangkat sebagai raja atau dikenal dengan sebutan Tomanurung ri Onto. Setelah pengangkatan Tomanurung menjadi raja, seluruh daerah Bantaeng yang tadinya merupakan lautan berubah menjadi daratan.

Semenjak jadi raja, Tomanurung pun mempersunting seorang gadis asal kampung Onto yang dijuluki Dampang Onto atau gadis jelitanya Onto.‎ Setelah itu, mereka pun berangkat ke tempat yang disebut gamacayya.

Sementara, nama Bantaeng sendiri muncul pada saat Tomanurung bersama dengan tujuh Kare sedang bernaung di bawah pohon besar yang saat ini masih ada di dekat rumah panggung yang reyot tersebut.

"Kala itu, Tomanurung bertanya mengenai nama pohon tempat ia bernaung kepada Kare Bisampole jika pohon itu namanya Pohon Taeng. Dan sontak ke 7 Karena membenarkan hal itu dengan berkata logat Makassar "Ba" yang artinya betul. Dari situlah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng," ujar Majja mengungkap cerita sejarah Bantaeng yang berkembang di masyarakat.

Konon, karena daerah Onto ini sakral dan tempat perlindungan bagi keturunan Raja Bantaeng bila mendapat masalah besar, anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya