Liputan6.com, Solo - Pentas di sebuah panggung gedung pertunjukan adalah hal yang lumrah. Menjadi hal yang tak lazim saat para seniman menampilkan karyanya di antara onggokan rongsokan yang tidak ada nilai fungsionalnya ataupun estetikanya.
Namun, apa yang dianggap tak lazim itu menjadi sebuah realita dalam acara Fabriek Fikr 2. Diinisiasi oleh maestro tari Sardono W Kusumo dan didukung Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Fabriek Fikr memberikan sebuah narasi baru untuk menstimulus mimpi-mimpi dari khalayak umum.
Fabriek Fikr 2 digelar pada Sabtu-Minggu 19-20 November 2016 di Pabrik Gula Colomadu. Puluhan seniman asyik menggunakan material rongsokan sebagai piranti panggung ataupun sebagai setting panggung. Mesin-mesin penggiling gula dimanfaatkan oleh mereka sebagai bagian dari pertunjukan itu.
Pabrik Gula Colomadu adalah pabrik yang dibangun di era KGPAA Mangkunegara IV. Pabrik gula sebagai sebuah simbol masa industrialisasi di Jawa ini dibangun pada 1861. Seiring dengan pasang surut perjalanan usahanya, pabrik gula ini berhenti beroperasi pada 1998.
Setelah berhenti beroperasi, pabrik ini hanya layaknya bangunan kuno. Mesin-mesin penggilingan tebu, pipa-pipa berukuran besar hingga keberadaan cerobong asap menjadi benda mati. Lantaran kosong inilah, kerap dianggap pabrik ini penuh dengan mistis. Meski sebelum berhenti operasi pun, pabrik yang pernah menjadi simbol kedigdayaan industri gula Nusantara ini memang terkesan angker.
Tak ingin menjadi benda mati, Sardono pun memotori Fabriek Fikr yang digelar di Pabrik Gula Colomadu. Fabriek Fikr untuk tahun ini menjadi edisi kedua, setelah bagian pertama sukses dihelat satu tahun sebelumnya.
Fabriek Fikr 2 berbeda dengan edisi pertama. Jika yang pertama lebih menonjolkan sebuah karya, kali ini mengedepankan sebuah proses berkesenian sebagai sebuah pentas seni. Beberapa dari mereka pun melakoni kemah di tempat yang terkenal angker.
Adalah seniman Teater Tony Bruer dan beberapa temannya yang melakoni kemah di pabrik selama sepuluh hari menjelang hari pentas. Melalui kemah, ia ingin menyelami pabrik gula untuk menciptakan sebuah karya seni.
Tony, begitu sapaannya, memahami bahwa pabrik ini memang angker. Meski demikian, keberadaannya sebagai seniman menuntutnya untuk melakoni pentas kesenian ini.
Advertisement
Berkemah di pabrik, ia menganggap tubuh sebagai ruang eksplorasi. Melalui kemah di pabrik kuno, ia menanggalkan semua narasi lama untuk mengeksplorasi tubuhnya menjadi karya seni.
"Saya juga manusia, saya juga punya rasa takut. Tetapi di sini, saya berusaha menanggalkan semuanya. Saya hadir di sini sebagai kaum urban yang saya juga percaya bahwa mistis itu memang ada. Tetapi melalui kemah ini, saya ingin membuat sebuah narasi baru tanpa meninggalkan narasi lama, bahwa pabrik gula yang dianggap angker ini bisa menjadi medium menghasilkan sebuah performance art, " kata Tony Bruer panjang lebar, Senin, 21 November 2016.
Bermain dengan Simbol
Tony sendiri dalam pentas ini bermain dengan simbol-simbol. Ia melempar batu ke tabung yang ditutupi seng. Lemparan batu itu tentu saja memekakkan telinga dan benar-benar mengganggu. Setelah itu, ia kemudian menyusun batu-batu itu menjadi sebuah rangkaian.
Ia seolah ingin menunjukkan bahwa batu-batu sebagai simbol bangunan pabrik itu memiliki sifat keras. Namun, ada sisi lain dari sifat batu itu. Jika batu-batu diatur, maka sikap keras itu akan melunak.
Pun dengan pabrik gula ini. Meski terlihat kokoh dengan beragam keangkerannya, bangunan-bangunan ini bisa memiliki nilai estetika jika memang kita bisa mengaturnya.
Sebelum Tony Bruer sendiri ada pertunjukan kuliner performance oleh penari Papua. Mereka memperagakan pentas bakar batu. Dalam pentas ini mereka tidak hanya memasak, tetapi juga menari.
Lalu ada juga sebuah panggung proses berkesenian melukis. Jika para pelukis biasanya mengecat kanvasnya dengan cat dengan bantuan tangan, tetapi tidak kali ini. Penari cantik yang memiliki rambut panjang menyuguhkan eksplorasi seni melukis. Mereka menggunakan rambut panjangnya sebagai sebuah kuas-kuas cat.
Setelah lima penari itu muncul pantomim asal Jogja, Jemek Supardi. Ia melakukan eksplorasi di atas roda mesin penggiling tebu berukuran raksasa yang kemudian ditembakkan visual video mapping Charlie Caplin. Jemek meliuk-liukkan tubuhnya berkolaborasi dengan lima penari Papua dengan iringan musik DJ.
Ada juga expanded cinema karya Sardono W Kusumo. Film ini berisi rekaman perjalanan berbagai seniman ke berbagai negara. Ia membuat rekaman itu melalui kamera 8 mm.
Lantas aksi ditutup dengan video mapping. Saat langit beranjak gelap, video mapping dipancarkan di dinding-dinding pabrik. Hasilnya memang indah. Fasad bagian depan dari bangunan kuno ini menciptakan sebuah sensasi tersendiri. Bangunan ini terlihat menawan.
Sardono W Kusumo mengatakan Fabriek Fikr adalah bagian dari sebuah proses membangun ekosistem. Melalui Fabriek Fikr masyarakat diajak untuk membangun sebuah narasi baru tanpa meninggalkan narasi lama. Narasi baru ini menjadi sebuah pijakan berkreasi.
"Melalui ini kita ingin menciptakan narasi dan imajinasi baru. Karena yang menggerakkan roda kehidupan adalah daya imajinasi kita. Masyarakat kemudian bisa merasa bahawa pabrik gula ini indah. Tapi narasi lama (anggapan angker) itu tidak kita hilangkan. Intinya kita memberikan input kepada imaginasi lama lewat painting performance, expanded cinema dan juga musik-musik DJ," jelas Sardono.