Menunggu Sanksi Eks Polisi dan Staf Imigrasi Pemalsu Dokumen TKI

Gara-gara pemalsuan dokumen itu, nyawa seorang TKI melayang sia-sia di Malaysia.

oleh Ola Keda diperbarui 25 Jan 2017, 14:00 WIB
Diterbitkan 25 Jan 2017, 14:00 WIB

Liputan6.com, Kupang - Petualangan mantan anggota polisi, Eduard Leneng dan Gostar Moses Bani, PNS pada kantor Imigrasi Klas IA Kupang, dalam sindikat perdagangan orang berakhir. Keduanya menghadapi sidang perdana di Pengadilan Negeri Klas I A Kupang, Selasa, 24 Januari 2017, bersama 11 terdakwa lainnya.

Mereka berdua merupakan perekrut sekaligus pemalsu data diri TKI asal Desa Tupan RT 03/RW 02, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang ditemukan meninggal di Malaysia.

Sidang dipimpin hakim ketua Eko Wiyono dan didampingi dua hakim anggota, David Sitorus dan Jamser Simanjuntak. Hadir pula JPU, Eirene dan Novi. Dalam sidang itu, 13 tersangka disidangkan terpisah.

Empat tersangka sebagai perekrut yakni, Eduard Leneng, Marta Kaligula, Putri Novitasari dan Gostar Moses Bani disidangkan terpisah dengan sembilan pelaku lainnya dengan dakwaan terpisah.

Dalam sidang empat tersangka perekrut itu, hanya tersangka Eduard Leneng dan Gostar Moses Bani yang didampingi penasehat hukum. Dalam dakwaan yang dibacakan terpisah, JPU mengatakan para tersangka terbukti bersalah karena telah merekrut dan memberangkatkan korban yang saat itu masih di bawah umur. Selain itu, para tersangka juga terbukti memalsukan dokumen milik korban.

"Terdakwa dengan tahu dan mau melakukan percobaan untuk membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di negara lain," kata Eirene dalam pembacaan dakwaan tersebut di Pengadilan Negeri 1 A Kupang.

Selain itu, saat direkrut, korban tidak memiliki surat persetujuan dari orangtuanya. Karena tidak memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri, atas saran tersangka Eduard Leneng, dokumen serta data diri korban yang diperlukan sebagai syarat dalam bisa bekerja di Malaysia dipalsukan.

"Akta kelahiran, KTP, ijazah dan dokumen lainnya dipalsukan oleh tersangka serta memalsukan tanggal dan tahun lahir. Namanya juga dirubah menjadi Melinda Sapai," ujar Eirene.

Menurut JPU, Yufrida Selan awalnya direkrut oleh tersangka Martha Kaligula dan dititipkan ke kantor PJTKI milik tersangka Putriana Novitasari. Selanjutnya, atas perintah Eduard Leneng, Martha bertemu dengan tersangka Gostar Moses Bani, salah satu PNS di Kantor Imigrasi Klas 1A Kupang guna mengurus dokumen keberangkatan korban.

"Pemalsuan dokumen itu atas saran Eduard Leneng. Eduard juga juga sebagai sponsor keberangkatan TKI lain, Fridolina Usbatan," kata JPU.

Perbuatan terdakwa, menurut JPU, melanggar Pasal 4 dan Pasal 102 (1)A UU No 39 Tahun 2004 tentang penempatan tenaga kerja. Sementara, penasehat hukum tersangka, Samuel Haning mengatakan tidak mengajukan esepsi.

Yufrida Selan, lahir di Tupan TTS, 19 Juli 1997. Keluarga Yufrida berasal dari Desa Tupan, RT 03/RW 02, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Frida direkrut secara ilegal ke Malaysia pada tanggal 02 september 2015.

Pada 15 Juli 2016, jenazah Frida sampai ke ke rumah orangtua dalam keadaan tak bernyawa. Ketika keluarga korban melihat kondisi jenazah dengan melihat foto, ada banyak jahitan menutup kulit.

Keluarga Frida, Metu Selan lalu melaporkan ke Polsek Amanuban Barat/ Batu Putih. Diikuti dengan pemeriksaan jenazah oleh Petugas Polres TTS dan RSUD Soe, TTS.

Data dan tanda-tanda fisik menunjukkan bahwa jenazah tersebut adalah Yufrida Selan, tapi pada paspor yang dikeluarkan oleh Imigrasi Kupang, tertulis nama Melinda Sapay, Tuasene 15 Juli 1994.

Dugaan kuat, Frida adalah korban perdagangan orang dan anggota tubuhnya diambil atau diperjualbelikan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya