Liputan6.com, Solo - Fadila Rahmatika (FR), tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Ponorogo, Jawa Timur yang diduga disiksa oleh majikannya di Singapura, akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah.
TKI tersebut sempat dirawat selama 18 hari di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Surakarta, Jawa Tengah, karena mengalami gangguan kejiwaan.
"Saat ini kondisi FR sudah membaik dan sudah bisa berkomunikasi secara lancar, serta sudah mulai mengingat kejadian yang menimpanya," ucap Erwiana Sulistyaningsih dari Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) dalam keterangan tertulis, Senin, 30 Januari 2017.
Advertisement
Erwiana menilai hal itu adalah perkembangan yang sangat baik, karena selama ini FR secara psikologis belum stabil dan terkadang sulit diajak berkomunikasi. "Dan jika ditanya kejadian yang menimpa dirinya, kepalanya terasa pusing."
Adapun yang menjemput FR adalah keluarga, pendamping, dan tim pengacara dari Kabar Bumi.
Baca Juga
"Setelah kepengurusan administrasi selesai serta pengajuan rekam medis dari pengacara diterima oleh pihak RSJ Surakarta, serta sudah mendapatkan jadwal pengambilan rekam medis, maka FR bisa dibawa pulang ke rumahnya," tutur Erwiana.
Selanjutnya, tim pengacara akan melanjutkan proses hukumnya, termasuk menyusun kronologi kasusnya. "FR dan ibu Masringah akan segera ke Polda Jawa Timur untuk melakukan BAP (berita acara pemeriksaan)," Erwiana menambahkan.
Ia memaparkan, seperti korban perdagangan manusia lainnya, FR adalah korban kemiskinan. Dia berharap untuk membantu orang tuanya setelah lulus sekolah SMA, dengan bekerja ke Singapura.
Namun harapan FR kandas. Di majikan yang pertama, dia bekerja digigit anjing peliharaan majikan dan kemudian pindah ke majikan kedua. Di majikan kedua, dia mengalami siksaan dan dipulangkan ke Batam, Kepulauan Riau, dengan kapal. TKI tersebut bahkan hanya membawa bekal uang enam dolar Singapura.
Buruh Migran Bukan Babu dan Pengemis
"Pemerintah harusnya berkaca dengan berbagai permasalahan buruh migran Indonesia yang setiap hari selalu bertambah," ujar Erwiana.
Senin kemarin, kata dia, empat jenazah dipulangkan ke NTT dan satu orang ditelantarkan di Bandara Eltari, Kupang. Seorang itu tidak membawa barang dan gaji selama bekerja di Malaysia
Menurut dia, penyebab utama banyak warga Indonesia terpaksa ke luar negeri karena minimnya lapangan pekerjaan. "Walaupun Indonesia merupakan negara agraris, namun rakyat mayoritas tidak mempunyai lahan untuk bertani."
Selain itu, lanjut Erwiana, minimnya perlindungan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, justru diberikan kepada pihak swasta. Padahal, penyerahan tanggung jawab perlindungan ini diamanatkan dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN).
"Walaupun dalam kurun tujuh tahun ini UU PPTKILN No 39/2004 direvisi, namun sampai saat ini masih belum kelar," sebut dia.
Ia menambahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang diajukan oleh DPR dan pemerintah juga masih belum mengakomodasi hak berserikat, melakukan kontrak mandiri bagi pengguna perseorangan. Padahal, mayoritas buruh migran Indonesia (BMI) bekerja pada pengguna perseorangan dan tuntutan BMI untuk diperbolehkan kontrak mandiri untuk menghindari overcharging.
Justru, lanjut Erwiana, harapan dari BMI untuk ini tidak diakomodasi di dalam revisi UU Nomor 39 Tahun 2004. Ironisnya lagi, beberapa waktu lalu, salah satu anggota DPR yang seharusnya melakukan pengawasan justru menyampaikan pernyataan yang sangat melukai perasaan BMI dan seluruh keluarganya.
"BMI dikatakan sebagai 'babu' dan 'mengemis', padahal mereka selama ini telah menyumbang devisa bagi negara," Erwiana Sulistyaningsih memungkasi.
Advertisement