Liputan6.com, Semarang Kawasan pecinan, seperti nyaris selalu luput dari perbincangan problematika kota. Padahal sebuah kota merupakan sebuah wilayah yang seharusnya menunjukkan watak manusiawi.
Melihat dari kacamata ini, warga Pecinan Semarang, khususnya anak-anak mudanya terancam lupa ingatan. Lupa ingatan di sini maksudnya lupa pada sejarah pemukimannya.
Advertisement
Baca Juga
Berdasarkan penelitian HF Tillema pada 2005, wilayah Pecinan Semarang sempat menjadi wilayah kumuh, gersang, dan tidak sehat. itu terjadi di tahun 1911. Budayawan Semarang yang juga warga pecinan, Tubagus P Svaradjati menyebutkan bahwa populasi di Pecinan mencapai 1000 orang/hektar dengan angka kematian 64,3 setiap 1000 orang.
"Relokasi itu tak jauh dari benteng Belanda (sekarang Kota Lama) sehingga mereka masih mudah diawasi. Tindakan itu diambil karena pemerintah Hindia Belanda takut terulangnya pemberontakan orang Tionghoa di Batavia, 1740," kata Tubagus, Sabtu (4/2/2017).
Dari buruknya lingkungan itu, maka pemeritah kotapraja kemudian mengizinkan orang Tionghoa tinggal di luar pecinan. Dalam penelitiannya, Pratiwo (2010) mencatat, sejak pemerintah Hindia Belanda menghapuskan Wijkenstelsel pada 1915, orang Tionghoa banyak mendirikan rumah-toko (ruko), antara lain, di jalan Ambengan (MT Haryono), Bojongsche weg (Pemuda), jalan Karangturi (Dr Cipto) sampai Peterongan. Data-data tersebut berasal dari catatan Liem Thiam Joe (1937).
Pusat Perdagangan
Tubagus bercerita bahwa tersebarnya pecinan sebagai permukiman orang Tionghoa di seantero kota, dalam konteks sosiologis, membuktikan satu hal: Tionghoa Semarang mampu beradaptasi dan membaur dengan masyarakat dan lingkungan lebih luas. Hal itu juga menunjukkan bahwa kebhinekaan sejatinya sudah terjadi sejak lama sampai ada campur tangan politik.
Saat ini, di Pecinan Semarang ada pusat perdagangan kain (Gang Warung), pertokoan emas (Gang Pinggir), dan pasar tradisional kelas wahid (Gang Baru). Rumah makan, bank, hotel, toko alat tulis, salon, optik, apotek, money changer, praktik dokter dan sebagainya tersebar di Gg Pinggir, Gg Warung, Gg Besen, Gg Tengah, Gg Gambiran atau nyaris di setiap jalan di Pecinan.
"Sebagai pusat perdagangan Pecinan membutuhkan tempat usaha lebih luas. Hal ini disiasati dengan diubahnya rumah-rumah hunian sebagai unit usaha. Segera rumah-rumah tradisional kecinaan dirobohkan dan dibangunlah yang baru, rata-rata berlantai tiga," kata Tubagus.
Melihat situasi terkini, Tubagus menilai penduduk pecinan lupa pada diskriminasi yang menimpa mereka. Diawali pada 1970-an rezim Orde Baru, pemerintah kota Semarang memangkas habis fasad arsitektural kecinaan rumah-rumah. Itu terjadi terutama di jalanan protokol Gg Pinggir-Gg Warung. Dalihnya, demi pelebaran jalan dan keindahan wilayah. Alhasil, seluruh raut bangunan di Pecinan berubah: serupa kerangkeng dengan lajur tembok lurus di lantai duanya.
"Pada masa itu, komunisme-fobia merebak dan kebudayaan Tionghoa dalam semua ekspresinya diberangus, penduduk Pecinan was-was bila menolak mengubah rumah mereka. Muncul isu, mereka bakal dipenjara bila tidak menuruti kehendak penguasa," kata Tubagus.
Advertisement
Bom Waktu Penghancuran
Pada akhir 1980-an, penghancuran kawasan pecinan kembali dilakukan. Dalihnya menanggulangi banjir, pemerintah memaksakan Normalisasi Kali Semarang (NKS). Ketika itu puluhan bangunan kuno dibongkar atau dikepras. Di jalan Petudungan 22 ruko dihancurkan, 3 di antaranya hanya tersisa 3-4 meter. Di Gg Warung 24 ruko bagian belakangnya dipotong. Proyek NKS ini, tentu saja, ditentang keras oleh terutama pemilik bangunan yang rumahnya terdampak.
"Nyatanya normalisasi sungai itu tak membuat lebih baik. Airnya pun tidak mengalir lancar. Jalan inspeksi di kedua sisinya malah kumuh dan banjir di seantero kota tetap tak teratasi," kata Tubagus.
Kini menatap wajah Pecinan Semarang terutama kehidupan anak mudanya, seperti menatap kerumunan manusia bermata sipit tanpa ingatan. Warga Pecinan Semarang yang sudah mapan juga seperti ikut arus melumat jatidirinya sendiri. Satu demi satu gedung kuno dihancurkan, diganti dengan bangunan baru yang, celakanya, tidak lebih indah dari yang lama.
Tubagus menyebutkan jika hal itu dibiarkan saja tanpa penataan serius, pecinan akan menjadi kawasan tanpa identitas. Juga, akibat daya dukung lingkungan terbatas dan infrastruktur yang sarat beban, di Pecinan suatu saat bakal timbul permasalahan genting dengan biaya sosial-ekonomi yang besar.
"Sebagai pengingat, masyarakat pelupa niscaya sedang menggali kuburnya sendiri lebih lekas. Sangat bijak jika pinisepuh Pecinan bertindak sebelum nasi menjadi bubur," kata Tubagus.