Liputan6.com, Palembang - Hidup dan tinggal di pinggiran Sungai Pedado Bungkuk, Kelurahan Karya Jaya, Kecamatan Kertapati, Sumatera Selatan (Sumsel) menjadi anugerah bagi warga sekitar. Bentangan anak Sungai Musi tersebut mendatangkan berbagai rezeki, terutama bagi ibu-ibu.
Seperti halnya Asmawati (55), warga RT 09, Kelurahan Karya Jaya. Ia sudah tiga tahun terakhir menjadi pedagang perahu terapung untuk membantu suaminya mencukupi kebutuhan hidup.
Melihat peluang berjualan bahan makanan antardesa, Asmawati memilih mengayuh dayung perahu untuk berjualan menyusuri bentangan anak Sungai Musi tersebut.
Advertisement
Perahu yang awalnya hanya digunakan untuk transportasi ke sawah dan memancing ikan, kini beralih fungsi sebagai penopang kehidupannya. Setiap hari, nenek lima cucu itu mengayuh perahunya menjajakan sayur mayur, ikan segar dan jajanan ke tiap desa-desa di kawasan Kelurahan Karya Jaya Palembang.
Baca Juga
"Dari pagi berjualan dan mampir ke rumah warga di pinggir sungai, jika mereka ingin berbelanja. Saya juga berhenti di sekolah pinggir sungai dan menjajakan jajanan di sana sampai anak sekolah pulang," ujar dia kepada Liputan6.com, saat ditemui di Pasar Terapung Sungai Sekanak Palembang, Jumat, 10 Februari 2017.
Dari usaha di atas perahu terapung itu, Asmawati rata-rata hanya mengantongi untung sebesar Rp 25.000, bahkan terkadang hasil yang didapat lebih sedikit. Meski begitu, ia tetap bersemangat mencari uang mengingat si bungsu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Pendapatan sang suami yang berprofesi sebagai petani padi dirasa tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Apalagi jika ladang padinya diserang hama, mereka hanya membawa hasil panennya dalam jumlah sedikit.
"Kalau gagal panen, padi yang bisa diambil itu kualitasnya buruk dan hanya dikonsumsi sendiri. Beras yang dihasilkan tidak laku dijual," ucap dia.
Untuk menghemat pengeluaran, keluarga Asmawati terkadang hanya mengonsumsi beras hasil panennya, ikan hasil pancingan dan pucuk daun ubi sebagai sayuran. Mereka pun jarang mencicipi sumber protein seperti ayam ataupun daging sapi.
Rezeki Hari Minggu
Ketika Minggu tiba, Asmawati dan pedagang perahu terapung lainnya sangat senang. Itu karena kegiatan lomba perahu bidar mini yang sering digelar di kelurahannya. Keramaian yang ada terciprat padanya karena jajanan yang dijualnya laris manis diburu para penonton dan peserta lomba perahu bidar.
Makanan yang dijajakannya juga sangat murah dan cukup mengenyangkan, seperti gorengan bakwan dan pisang. Dari situ, ia bisa mendapatkan uang tambahan lebih untuk membeli bahan makanan yang akan dijual keesokan harinya.
Mencoba peruntungan sebagai pedagang perahu terapung juga dilakoni oleh Desi Andira (35), warga RT.20, Kelurahan Karya Jaya. Desi memilih berjualan seminggu sekali saja, ketika kegiatan lomba perahu bidar mini di Sungai Pedado Bungkuk.
Ada beragam jenis makanan yang dijualnya, seperti gorengan, klepon, pempek, kerupuk dan cemilan ringan lainnya. Uang hasil jualannya juga digunakan untuk berbelanja kebutuhan rumah tangganya. Bahkan, sang suami yang bekerja di Dinas Kebersihan kota Palembang turut mendukung usaha istrinya tersebut.
"Kalau sehari-hari hanya di rumah, saya mengurus anak. Waktu hari Minggu, saya sudah berjualan sejak pukul 11.00 WIB hingga sebelum kegiatan lomba dimulai. Lumayan untungnya untuk beli bahan di dapur," ujar ibu dua anak ini.
Tidak hanya suka yang dirasakan Desi dan pedagang perahu terapung lainnya. Ada duka tersendiri yang harus mereka rasakan.
Saat musim hujan tiba, mereka terkadang tidak berjualan. Bahkan ketika berjualan hujan langsung turun, mereka berlomba-lomba mencari tempat berteduh, baik di bawah pohon ataupun di rumah tetangga.
Advertisement
Venesia dari Timur
Aktivitas pedagang perahu terapung ini sebenarnya merupakan tradisi para warga terdahulu di kota Palembang. Karena kawasan Palembang dikelilingi aliran Sungai Musi yang masih bersih, para warga pun banyak yang berjualan di sungai.
Menurut Ali Hanafiah, Sejarawan Sumsel, Palembang dulunya dijuluki kota Venesia dari timur karena banyak anak Sungai Musi dan ada kehidupan di tiap alirannya, termasuk pasar terapung. Namun tradisi ini nyaris punah karena warga lebih memilih hidup didaratan.
“Pasar terapung dan pedagang perahu terapung ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam hingga sekitar tahun 1970,” katanya.
Di masanya, transaksi pedagang perahu terapung hanya dilakukan di pinggir sungai. Sistem kepercayaan pun terjaga dengan baik. Di mana ketika pembeli yang berada di atas rumah, mengulurkan ember berisi uang yang diikatkan ke tali ke pedagang. Pedagang pun meletakkan barang belanjaan sesuai dengan uang yang diberikan si pembeli didalam ember.
“Pembeli tidak akan curiga kalau belanjaannya tidak sesuai dengan uang yang diberikan, begitu juga dengan pedagangnya yang jujur berjualan,” beber Ali.
Karena perkembangan zaman, membuat warganya lebih memilih berbelanja ke pasar inpres dan transaksi jual beli di perairan pun ditinggalkan. Luasan anak Sungai Musi pun semakin sempit dan diperparah dengan kebiasaan buruk para warga membuang sampah disungai.
Biaya pembuatan perahu pun semakin melonjak. Tidak hanya tingginya biaya upah, sulitnya mendapatkan kayu berkualitas hingga proses produksi yang cukup lama. Hal inilah yang membuat pedagang perahu terapung semakin tergerus waktu.
Namun dia opimistis dengan dibuatnya lagi pasar terapung oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang, animo masyarakat akan kembali tumbuh. Terlebih sistem pengairan di anak Sungai Musi mulai diperbaiki dan pasar terapung dijadikan destinasi bagi para wisatawan.