Kura-Kura Moncong Babi Terancam Punah

Daging kura-kura moncong babi diburu untuk konsumsi, ramuan obat-obatan, dan untuk keperluan ritual adat.

oleh Liputan6 diperbarui 04 Apr 2017, 17:03 WIB
Diterbitkan 04 Apr 2017, 17:03 WIB
Satwa jenis kura-kura Moncong Babi (Carettochelys insculpta) sitaan dari upaya penyelundupan, di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. (ANTARA)

Liputan6.com, Manokwari - Perburuan liar kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) mengancam kelestarian satwa endemik Papua itu. Pemanfaatan kura-kura moncong babi sangat tinggi, bahkan tidak ada telur ditinggalkan dalam sarang untuk menetas.

Saat ini, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua bekerja sama dengan BP2LH Manokwari serta Usaid Lestari mengkaji populasi dan ancaman kelestarian kura-kura moncong babi. Populasinya hanya ditemukan di beberapa tempat di wilayah pesisir selatan Papua.

Survei satwa ini dilakukan di tiga lokasi penyebaran yaitu di Sungai Mamats, Sungai Catelina, dan Sungai Eilanden yang semuanya berada di wilayah Kabupaten Asmat dan dalam area kawasan Taman Nasional Lorentz.

"Kura-kura moncong babi dewasa diburu untuk dikonsumsi ataupun dijual. Itu dikhawatirkan akan mengancam kelestarian beberapa tahun ke depan," kata peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup (BP2LH) Manokwari, Gatot Nugroho, di Timika, Selasa (4/4/2017), dilansir Antara.

Gatot menyerukan perlunya upaya serius dari semua pihak untuk menghentikan aksi perburuan liar kura-kura moncong babi agar populasinya tidak sampai punah. Masyarakat lokal bisa terus memanfaatkan protein kura-kura moncong babi, tapi pengambilannya dilakukan secara terbatas guna menjaga terus kelangsungan populasinya.

"Kalau kita bisa manfaatkan sekaligus membantu perkembangan populasinya di alam dengan campur tangan manusia. Mungkin itu salah satu solusi. Kita bisa diberikan kuota, berapa yang bisa diambil dari alam, misalnya telur, kemudian anakan (tukik)," jelas Gatot.

Ia mengakui satwa endemik Papua yang hanya ditemukan di pesisir selatan Papua dan sebagian Australia itu kini dijual dengan harga fantastis di sejumlah negara seperti Taiwan dan Tiongkok dan negara-negara Asia Timur lainnya.

Warga di negara-negara Asia Timur itu memanfaatkan daging kura-kura moncong babi untuk konsumsi, ramuan obat-obatan, bahkan untuk keperluan ritual adat.

Populasi kura-kura moncong babi terbanyak terdapat di wilayah Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Lantaran harganya yang tinggi di pasaran internasional itu, aksi perburuan liar dan penyelundupan tukik satwa itu ke luar Papua akhir-akhir ini meningkat drastis.

Hal itu terbukti dengan semakin banyaknya kasus penyelundupan tukik kura-kura moncong babi yang terungkap di Bandara Mozes Kilangin Timika, bahkan di Bandara Ngurah Rai Denpasar dan Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Jakarta.

Kepala Bidang Teknis Konservasi BBKSDA Papua Ahmad Yani mengatakan upaya perlindungan berbagai satwa endemis Papua termasuk kura-kura moncong babi masih terkendala karena keterbatasan sumber daya petugas.

Guna meminimalisasi praktik perburuan liar dan penyelundupan satwa tersebut, kini pemerintah berupaya mencari solusi dengan membentuk kelompok masyarakat mitra polisi kehutanan (MMP).

"Kami sudah coba melibatkan MMP di Cagar Alam Pegunungan Cycloop, Kabupaten Jayapura yang luasnya sekitar 30 puluh ribu hektare. Di sana terdapat sekitar tiga hingga lima kelompok MMP dengan anggota masing-masing 15 orang. Mereka inilah yang menjaga berbagai ancaman terhadap satwa di kawasan itu," tutur Yani.

Pola tersebut, kata dia, akan dikembangkan di wilayah Kabupaten Asmat agar warga setempat ikut menjaga kekayaan alam mereka agar tidak punah.

Ke depan, katanya, masyarakat lokal akan dilibatkan untuk mengumpul telur dan selanjutnya membantu menetaskan telur-telur kura-kura moncong babi.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya