Kreativitas Ugal-ugalan nan Atraktif dari Semarang Night Carnival

Maksud hati ingin eksplorasi burung Blekok (Ardeola speciosa) yang ikonik, jadinya malah eksplorasi perwujudan burung Kuntul (Egretta alba).

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 08 Mei 2017, 16:33 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2017, 16:33 WIB
Semarang Night Carnival 2017
Defile Genderang Seruling Lokananta yang tampil di SNC 2017 dari Akpol Semarang dilihat dari ketinggian. ( foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Semarang Night Carnival 2017 (SNC 2017) menjadi sebuah pesta jalan raya gila-gilaan pada Sabtu, 6 Mei 2017, di Semarang. Mengangkat tema Paras Semarang, secara umum interpretasi peserta terbagi menjadi empat kategori.

Berikut rangkaian foto-foto penyelenggaraan SNC 2017 yang heboh. 

Peserta SNC 2017 menyajikan koreografi unik sebelum mulai berjalan kaki sejauh 1,3 km dari titik nol kilometer Semarang. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Pertama adalah busana gaya Icaruz dan Daedalus, manusia bersayap dalam mitologi Yunani sebagai perwujudan ikon burung Blekok (Ardeola speciosa) Semarang. Faktanya, mayoritas peserta menyajikan perwujudan burung Kuntul (Egretta alba).

Perbedaan utamanya adalah pada warna. Burung Blekok memiliki bulu dengan kombinasi warna putih, coklat, dan hitam. Sementara, burung Kuntul nyaris semua bulunya putih.

Defile peserta SNC 2017 yang memilih kostum berthema kembang Sepatu. ( foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Kedua adalah busana dengan bertema flora. Bunga Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) banyak ditanam sebagai tanaman hias sekaligus tanaman pagar di kampung-kampung asli nan klasik di Semarang.

Tanaman dari Asia Timur itu dikupas dengan berbagai varian. Tak ada yang menonjolkan benang sari sebagai keistimewaan bunga ini, semua lebih mengeksplorasi kelopak bunganya.

Tarian yang disajikan oleh Thailand, termasuk penyaji dari luar negeri yang mendapat gemuruh tepuk tangan. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Ketiga menjadi busana paling heboh, yakni bertema kuliner. Busana karnaval yang ada hanya ditempel saja dengan ornamen yang mengambil bentuk jajanan khas Semarang semacam Lumpia, Wingko Babat, Ganjel Rel, Bandeng Presto dan lain-lain.

Dimanjakan Kreasi Visual

Semarang Night Carnival 2017
Tampilan gaya Icaruz yang mengeksplorasi keberadaan burung blekok sebagai burung liar yang dilindungi di kota Semarang. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Keempat, adalah busana yang menggambarkan keberagaman budaya. Busana karnaval yang ditampilkan semua seperti wajib menggunakan lampion. Lampion ini di Semarang dikenal sebagai dian (lampu) kurung.

Lampion mencapai puncak popularitas dan eksistensinya sekitar 1942. Lampion itu juga mempertegas pengakuan kepada warga China peranakan.

Sebagaimana halnya karnaval, tentu saja yang terjadi adalah kreasi visual yang ugal-ugalan. Mata penonton dimanjakan dengan kemeriahan busana yang atraktif.

Pembeda utama dibanding karnaval biasa adalah penyelenggaraannya di malam hari dan penerangan disiapkan senatural mungkin, sehingga peserta melengkapi busananya dengan kerlap kerlip lampu memikat. Kreasi visual itu memberi efek kejut dan daya pikat yang bermutu. 

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi bersama Asisten Deputi Pengembangan Pasar Bisnis dan Pemerintahan Kemenpar, menekan tombol dimulainya SNC 2017. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Keberadaan SNC 2017 sebagai katarsis atau sarana pelepasan berbagai emosi memang seperti mendapat pembenaran. Meskipun gaungnya belum sepopuler karnaval sejenis di Jember, penyelenggaraan SNC setiap tahunnya nyatanya menjadi sesuatu yang selalu ditunggu warga. Bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga sebagai kreator.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi pernah mengatakan bahwa karnaval-karnaval ini memang digelar untuk memberikan oase bagi eksplorasi kreativitas. Selama ini, Semarang nyaris tak pernah masuk dalam peta pergerakan seni budaya.

"Ini yang akan kita buktikan bahwa Semarang itu kreatif. Pemerintah sebagai entitas negara tugasnya memfasilitasi, memberi wadah. Era sekarang adalah era kreatifitas dimana anak-anak muda memegang kendali. Tentu dengan tetap memanusiakan kaum sepuh, namun anak muda diberi keleluasaan peran," kata Hendi.

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya