Kisah Miris Orang-Orang Terpasung di Sumatera Selatan

Dua orang penderita gangguan jiwa terpaksa harus dipasung dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

oleh Nefri Inge diperbarui 07 Jul 2017, 18:50 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2017, 18:50 WIB
Amrulllah tinggal di bawah rumah kayunya (Liputan6.com / Nefri Inge)
Amrulllah tinggal di bawah rumah kayunya (Liputan6.com / Nefri Inge)

Liputan6.com, Palembang - Kasus pemasungan yang masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih banyak terjadi di Sumatera Selatan (Sumsel).

Dari data Dinas Sosial (Dinsos) Sumatera Selatan (Sumsel), Kabupaten Empat Lawang mengantongi kasus pemasungan terbanyak dari beberapa kabupaten/kota di Sumsel. Jumlahnya mencapai 92 orang, dengan 35 orang yang masih dipasung dan 57 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang pernah dipasung tetapi sudah dilepas.

Seperti di Kecamatan Muara Pinang, Kabupaten Empat Lawang, tercatat ada enam ODGJ yang terpasung. Dari data yang diperoleh, tinggal dua orang yang masih terpasung dengan kondisi yang memprihatinkan.

Amrullah (42) menjadi salah satu korban pemasungan di kediamannya di Desa Lubuk Tanjung, Kecamatan Muara Pinang. Bapak dua anak ini harus bertahan hidup dengan rantai pasungan yang membelenggu pinggangnya.

Sang ibu, Rusna (62), saat ini hanya bisa pasrah karena tidak tahu lagi bagaimana cara mengobati anaknya. Sudah hampir tiga tahun Amrullah mengalami gangguan jiwa dan baru dua tahun terakhir terpaksa dipasung.

"Sudah dua kali dipasung, tapi rantainya lepas. Jadi sekarang dipasung di pinggang agar tidak lepas. Kalau keluar rumah, suka mengganggu bahkan menyerang warga. Saya juga sering diserangnya," ucap Rusna kepada Liputan6.com, beberapaa waktu lalu.

Sebelum mengalami gangguan kejiwaan, anak ketiga dari enam bersaudara itu dua kali kandas saat berumah tangga. Kondisi jiwanya mulai terganggu setelah hasil kebun kopi yang siap panen ternyata dicuri oleh orang.

Berbagai cara dilakukan Rusna untuk kesembuhan anaknya, mulai dari pengobatan tradisional, secara spiritual, hingga dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Ernaldi Bahar Palembang. Namun, tanda-tanda kesembuhan sang anak tak kunjung terlihat.

Karena tidak mengantongi kartu berobat gratis dari pemerintah, Rusna harus merogoh uang lebih untuk biaya pengobatan anaknya.

"Dua tahun lalu sempat dibawa ke RSJ di Palembang, diantarkan mobil ambulans. Diminta uang Rp 1 juta dari puskesmas sini, jadi anak saya pinjam uang ke sana sini," katanya.

Kendati layanan di RSJ Ernaldi Bahar selama tiga minggu gratis, dia tetap harus membeli obat untuk anaknya. Begitu ia harus membawa anaknya kembali ke rumah, tidak ada bantuan dari pemerintah maupun dari puskesmas setempat.

Petugas puskesmas di tempat tinggalnya juga sering datang untuk memberikan obat ke anaknya. Untuk satu paket pengobatan berupa suntik dan pil, Rusna harus membayar sebesar Rp 50.000. 

"Karena tidak ada uang lagi dan anak saya tidak mau disuntik terus, sekarang tidak ada lagi obat yang dikasih. Terakhir enam bulan lalu," katanya.

Rusna sendiri hingga saat ini belum mengantongi Kartu Indonesia Sehat (KIS) maupun kartu berobat gratis Sumsel Semesta dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel. Kini, Amrullah yang terpasung tinggal sendirian di rumah bagian bawah. Sedangkan, Rusna tinggal terpisah di rumah bagian atas sendirian.

 

Saksikan video menarik di bawah ini:

Korban Kriminal

Eko terpaksa dipasung di belakang rumahnya (Liputan6.com / Nefri Inge)
Eko terpaksa dipasung di belakang rumahnya (Liputan6.com / Nefri Inge)

Kasus pemasungan lainnya juga dialami Eko (25), warga Desa Batu Galang, Kecamatan Muara Pinang, Kabupaten Empat Lawang. Pria yang dulunya pernah menjadi pemandu wisata di Bali ini terpaksa dipasung didalam rumah karena mengidap gangguan jiwa.

Kondisi fisik Eko yang sangat bugar bertolak belakang dengan kejiwaannya. Sudah hampir empat tahun Eko mengalami pemasungan. 

Karena sering meresahkan keluarga dan warga sekitar, akhirnya kaki Eko harus dirantai dan tinggal di bagian belakang rumah.

Nawi (95), sang nenek yang setiap hari merawat cucunya tersebut. Untuk mencukupi kebutuhan hari-hari, Nawi bekerja sebagai pengeruk tanah dan pemotong rumput di lahan kebun milik warga. Dalam sehari, Nawi bisa membawa pulang uang Rp 40.000.

Ternyata, gangguan kejiwaan yang dialami Eko bermula saat sang ayah meninggal dunia. Eko dan Andri, kakaknya, melihat sang ayah tewas dibunuh orang di hadapannya.

"Setelah ayahnya meninggal, Eko langsung sakit, disusul kakaknya Andri. Tapi Eko yang parah dan harus dipasung. Sedangkan Andri hanya gila saja," katanya.

Bupati Empat Lawang Syahril Hanafiah mengakui bahwa kabupaten yang dipimpinnya memang sering terjadi kasus pemasungan. Tidak hanya ODGJ saja, tapi juga pelaku kriminal juga sering dipasung.

"Memang jadi kebiasaan, tapi akhir ini kita sudah kerja sama dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Dinsos Empat Lawang. Kami yakin bisa dikurangi dengan cara memberikan pengertian kepada masyarakat," katanya.

Dia mengatakan pihaknya pun membuka kesempatan kepada masyarakat untuk mengadukan kasus pemasungan. Pemkab Empat Lawang pun berjanji akan memfasilitasi semua kebutuhan, baik tenaga medis hingga kendaraan untuk membawa berobat ke RSJ Palembang.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya