Sakralnya Yadnya Kasada Suku Tengger di Gunung Bromo

Kendati Yadnya Kasada tak seramai tahun lalu, banyak penganut Hindu Bali yang ikut merayakan ritual sakral Suku Tengger tersebut.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 10 Jul 2017, 21:31 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2017, 21:31 WIB
Puncak Gunung Bromo
Wisatawan dan anggota suku Tengger mendaki Gunung Bromo saat Festival Yadnya Kasada di Probolinggo, Jawa Timur (10/7). Warga Tengger melakukan ritual lempar hasil bumi sebagai wujud syukur pada Sang Hyang Widi. (AFP Photo/Juni Kriswanto)

Liputan6.com, Probolinggo - Ribuan pemeluk Hindu Suku Tengger menggelar ritual agung Yadnya Kasada pada Senin dini hari tadi. Kendati tak seramai tahun lalu, banyak penganut Hindu Bali yang ikut merayakan ritual sakral Suku Tengger tersebut.

Adapun Sendratari Roro Anteng dan Joko Seger menjadi pembuka puncak perayaan agung Yadnya Kasada warga Suku Tengger di Lereng Gunung Bromo. Tarian ini menceritakan awal mula munculnya Suku Tengger, yang merupakan anak cucu dari pasangan Roro Anteng dan Joko Seger.

Meski telah lama menikah, Roro Anteng dan Joko Seger tidak memiliki keturunan. Mereka akhirnya dikaruniai 25 anak setelah Joko seger melakukan pertapaan. Namun, ada satu syarat yang harus dipenuhi, yakni mengorbankan putra bungsu mereka, Raden Kusuma.

"Tarian Gunungsari Tengger ini tidak mudah, dan juga sangat sakral, dari itu diperlukan penjiwaan yang cukup matang agar bisa bercerita asal mula nenek moyang Suku Tengger ini," tutur Hafsari, salah satu penari tarian Roro Anteng dan Joko Seger, Senin (10/7/2017).

Supeno, dukun dari Pandan Sari Probolinggo mengatakan, ritual Yadnya Kasada ini adalah sebagai tanda rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa yang telah memberi rezeki.

"Tujuan dari ritual ini supaya masyarakat selamat dan tidak ada musibah yang menimpa dan hasil tani bisa lancar dan di mudahkan rejeki," kata Supeno.

Sendratari Roro Anteng dan Joko Seger menjadi pembuka puncak perayaan agung Yadnya Kasada warga Suku Tengger di Lereng Gunung Bromo. (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Meski dengan berat hati, keduanya akhirnya merelakan Raden Kusuma sebagai tumbal anak cucu Roro Anteng dan Joko Seger. Berikutnya, sebagai gantinya, Suku Tengger harus membuang hasil bumi setiap purnama ke 12, sesaji yang berupa hasil bumi inilah yang kemudian diwujudkan dengan ongkek.

Usai pementasan sendratari, ribuan pemeluk Hindu dari empat kabupaten di Jawa Timur, yakni Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang, membawa ongkek berisi hasil bumi, lauk-pauk, dan ternak ke Pure Agung Luhur Poten di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo.

Usai melakukan upacara persembahyangan, umat Hindu Tengger berjalan ke Gunung Bromo sambil membawa ongkek untuk dilabuh ke kawah Gunung Bromo. (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Meski tidak seramai tahun lalu, banyak pemeluk Hindu Bali yang turut merayakan adat Suku Tengger ini. Mereka ikut melakukan persembahyangan yang dipimpin seorang Mangku Pura.

Wisatawan dan anggota suku Tengger mendaki Gunung Bromo saat Festival Yadnya Kasada di Probolinggo, Jawa Timur (10/7). Warga Tengger melakukan ritual lempar hasil bumi sebagai wujud syukur pada Sang Hyang Widi. (AFP Photo/Juni Kriswanto)

Selesai upacara persembahyangan, umat Hindu Tengger melakukan perjalanan ke Gunung Bromo. Mereka membawa ongkek untuk dilabuh ke kawah gunung berapi tersebut sebagai puncak ritual agung Yadnya Kasada.

Saksikan video menarik di bawah ini:

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya