Tuntutan Jaksa bagi Otak Pembunuhan dan Pemerkosaan Bocah Sorong

JPU menuntut dua terdakwa lain kasus pemerkosaan dan pembunuhan bocah Sorong itu lebih ringan dari rekannya.

oleh Katharina Janur diperbarui 21 Agu 2017, 19:01 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2017, 19:01 WIB
DPD RI Apresiasi Perppu Kebiri Terhadap Kekerasan Seksual
Penerbitan Perppu ini memperlihatkan keseriusan Pemerintah menangani masalah pemerkosaan, kejahatan dan kekerasan seksual pada anak.

Liputan6.com, Jayapura - Sidang kasus pembunuhan dan pemerkosaan bocah Sorong, Papua Barat, memasuki agenda pembacaan tuntutan. Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Sorong menuntut dua terdakwa pemerkosa sekaligus pembunuh bocah berusia enam tahun, Keisha Mamansa, dengan hukuman pidana seumur hidup dan hukuman mati.

Kedua terdakwa, Ronald Wanggaimu dan Lewi Gogoba, dituntut dengan Pasal 81 ayat 1, ayat 3, dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 76 UU yang sama.

JPU Edi Sulistio Utomo menuntut keduanya dengan hukuman mati dan seumur hidup. JPU beralasan Ronald yang diduga sebagai pelaku utama dituntut hukuman mati. Ronald juga diduga yang menenggelamkan jenazah Keisha ke dalam lumpur.

Sementara, Lewi Gogoba dituntut hukuman penjara seumur hidup. Sebab, Lewi diduga membunuh korban dan terlibat kekerasan seksual. Kemudian, pelaku lainnya, Nando, yang masih di bawah umur, dituntut hukuman pidana delapan tahun penjara.

"Saat kejadian, Ronald yang membawa Keisha ke hutan bakau di ujung landasan pacu Bandara DEO Sorong dan melakukan kekerasan seksual di lokasi itu," ucap Edi, Senin (21/8/2017).

Kronologi Pemerkosaan dan Pembunuhan

Kejadian tragis ini terungkap pada Selasa, 10 Januari 2017. Jenazah bocah perempuan itu terkubur di dalam aliran sungai berisi lumpur di Kompleks Kokodo, Kota Sorong, Papua Barat.

Pada hari yang sama, Kepolisian Resor Sorong Kota, Papua Barat, menangkap tiga terduga pemerkosa sekaligus pembunuh bocah tersebut. Saat itu, Kapolres Sorong Kota AKBP Edfrie R Maith mengatakan, kasus pemerkosaan yang berujung kematian itu dipicu karena ketiga pelaku, yakni Ronald, Lewi, dan Nando mengonsumsi minuman keras atau miras.

Berdasarkan hasil pemeriksaan saksi dan hasil interogasi awal pelaku, korban diperkosa bergilir sebelum dibunuh. "Awalnya, korban dibawa oleh pelaku Ronald ke ujung runway Bandara DEO Sorong, kemudian yang bersangkutan mengajak pelaku Lewi dan Nando untuk memerkosa korban secara bergilir," ujar dia, dilansir Antara.

Saat diperkosa, korban melawan dengan cara berteriak meminta tolong, sehingga para pemerkosa itu langsung mencekik leher korban hingga tewas. Agar tidak ketahuan, para pelaku membenamkan jasad korban ke dalam lumpur sungai dan kemudian melarikan diri.

Namun, warga mengetahuinya karena tangan korban kasus pembunuhan dan pemerkosaan bocah Sorong itu terangkat ke permukaan.

"Ketiga pelaku sudah ditangkap dan saat ini sedang menjalani pemeriksaan oleh tim penyidik guna proses hukum lebih lanjut. Para pelaku terancam undang-undang perlindungan anak dan pasal pembunuhan KUHP dengan ancaman hukuman sekitar 15 tahun," ujar Edfrie.

Dukungan Tuntutan Hukuman Mati

20160203-Komnas-PA-Datangi-Presiden-Jakarta-Faizal-Fanani
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, angkat bicara soal bullying di Gunadarma. (Sumber foto: Liputan6.com/Faizal Fanani)

Terkait tuntutan JPU terhadap ketiga terdakwa, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) sebagai lembaga pelaksana tugas dan fungsi keorganisasian dari perkumpulan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Pusat mendukung langkah tegas Kejaksaan Negeri Sorong.

Bahkan, Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menyebutkan bahwa perbuatan Ronald Waggaimu dan Lewi Gogoba tergolong perbuatan sadis, kejam, dan tidak berperikemanusiaan. Ia menilai tuntutan jaksa tidak berlebihan atas pelaku.

Arist menambahkan, Ronald yang merupakan pelaku utama, bahkan sengaja mengambil Keisha dari rumahnya. Dengan aksinya ini, seharusnya jaksa memberikan tambahan hukuman pemberatan.

"Penerapan UU RI Nomor 17 Tahun 2016 untuk para predator kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi di Sorong, merupakan langkah dan terobosan baru yang diharapkan dapat menjadi efek jera bagi para predator dan monster anak," ujar Arist, dalam rilis kepada Liputan6.com, Senin ini.

Arits pun berharap, tuntutan Kejaksaan Negeri Sorong tersebut mendorong seluruh aparatur penegak hukum di Indonesia untuk memberikan atensi agar menggunakan dan menerapkan undang-undang pemberatan tersebut untuk menjerat pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Terutama, demi keadilan bagi korban dan keluarganya.

"Komnas Perlindungan Anak akan menurunkan Quick Investigator Voluntary Komnas Anak Tim Papua dan Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Papua Barat guna memantau persidangan berikutnya sampai pada sidang pembacaan putusan," Arist memungkasi.

Sementara, aktivis perempuan Sorong, Jane Haurisa, menyebutkan hukuman mati dan seumur hidup yang diberikan dalam tuntutan JPU bisa membuat efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap anak.

"Tapi hukuman ini juga tak bisa mengembalikan Keisha atau korban dari anak yang mengalami kekerasan lainnya," ia menjelaskan.

Sementara, terdakwa Nando yang hanya dihukum delapan tahun, seharusnya tak layak diberikan hukuman tersebut. Namun, karena hakim beranggapan Nando masih di bawah umur, ia diberikan ruang untuk memperbaiki diri.

"Seharusnya, pelaku kejahatan mendapatan hukuman yang setimpal," Jane menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya