Kisah Macan-Macan Kumbang di Lembah Kematian Nusakambangan

Sebanyak 18 ekor macan tutul yang terdeteksi di Nusakambangan, 12 di antaranya adalah jenis macan tutul. Enam lainnya adalah jenis macan kumbang.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 16 Feb 2018, 21:10 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2018, 21:10 WIB
Sepasang macan tutul Jawa terdeteksi di Nusakambangan. (Foto: Liputan6.com/BKSDA Jateng/Muhamad Ridlo)
Sepasang macan tutul Jawa terdeteksi di Nusakambangan. (Foto: Dok. BKSDA Jateng/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Pulau Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah, dikenal karena dua hal, yakni penjara tak tertembus dan kematian. Di pulau ini ada enam lembaga pemasyarakatan dengan tingkat pengamanan khusus dan super maksimum.

Horor Nusakambangan tak hanya melulu soal sejarah penjaranya yang telah berumur seratusan tahun. Hutan perawannya, adalah hutan misterius yang dihuni oleh beragam satwa liar.

Ular piton, buaya muara, dan macan kumbang atau macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) adalah beberapa penghuni endemik "Pulau Kematian" ini. Satwa-satwa liar itu adalah penjaga-penjaga pulau alamiah yang dimiliki Nusakambangan.

Yang disebut terakhir, macan tutul Jawa, jumlahnya tak main-main. Hewan predator yang soliter ini terdeteksi berjumlah 18 ekor. Jumlah yang lebih dari cukup, hanya untuk menghabisi narapidana yang tersesat.

Dari 18 ekor macan tutul yang terdeteksi di Nusakambangan, 12 di antaranya adalah jenis macan tutul (Panthera pardus). Sedangkan enam lainnya berjenis macan kumbang atau tutul Jawa.

 

Perkembangbiakan Macan Tutul di Nusakambangan

Macan kumbang terdeteksi di Nusakambangan. (Foto: Liputan6.com/BKSDA Jateng/Muhamad Ridlo)
Macan kumbang terdeteksi di Nusakambangan. (Foto: Dok. BKSDA Jateng/Muhamad Ridlo)

Koordinator Polisi Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah wilayah Konservasi II, Rahmat Hidayat mengatakan, ke-18 jenis macan tutul itu terdeteksi terakhir kali pada Oktober 2017. Ketika itu, BKSDA Jawa Tengah memasang kamera pengintai (trap camera) di sejumlah lokasi Pulau Nusakambangan.

Sayangnya, saat itu, kamera yang terpasang tak mendeteksi ada anak macan tutul. Hal ini terjadi lantaran kamera pengintai tak dipasang menyeluruh di Pulau Nusakambangan.

“Tetapi kalau kami memasang kamera trap, kami belum pernah menjumpai yang anakan. Terakhir tahun kemarin, bulan Oktober,” ucap dia, Jumat (16/2/2018).

Padahal, diyakini Pulau Nusakambangan masih cukup mendukung untuk kehidupan macan tutul. Di pulau penjara ini masih tersedia makanan alamiah, seperti babi hutan, kera, biawak, berbagai jenis ikan, udang, kepiting, dan ular, serta kancil.

Oleh karenanya, diperlukan perlindungan dan peningkatan konservasi untuk kawasan hutan habitat yang memiliki luas sekitar 500 hektare.

“Perlu ada peningkatan upaya konservasi di sana. Terutama koridor habitat kehidupan liar di Nusakambangan," dia menjelaskan.

 

Koridor Habitat Alamiah di Nusakambangan Terancam

Macan tutul Jawa. (Foto: Liputan6.com/BKSDA Jateng/Muhamad Ridlo)
Macan tutul Jawa. (Foto: Dok. BKSDA Jateng/Muhamad Ridlo)

Dari keseluruhan luas Pulau Nusakambangan yang mencapai 121 kilometer persegi, beberapa bagian di antaranya telah dirambah manusia. Selain itu, ada pula penambangan kapur untuk semen.

Pulau milik Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) ini sebagian digunakan untuk lembaga pemasyarakatan dan infrastruktur pendukung. Ada pula bagian yang dibuka untuk wisata, terutama di sisi pulau timur.

Sisanya, adalah hutan lindung dan koridor konservasi di tengah selatan dan barat pulau. Dikhawatirkan, penambangan dan perambahan liar mengancam koridor habitat satwa yang tersisa.

Ini pula yang memantik aktivis konservasi dan mahasiswa pencinta alam berkali-kali berdemonstrasi menuntut dihentikannya penambangan dan pembalakan di Pulau Nusakambangan. Mereka menolak eksploitasi sumber daya alam lantaran berpotensi merusak cagar alam, sekaligus membahayakan masyarakat Cilacap.

Protes Aktivis Konservasi demi Kelestarian Nusakambangan

Senja di seberang Pulau Kematian, Nusakambangan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Senja di seberang Pulau Kematian, Nusakambangan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Di luar fungsi monumentalnya sebagai pulau penjara, Nusakambangan adalah salah satu hutan lindung terakhir di kepulauan Jawa. Sebab itu, penambangan kapur untuk bahan baku semen dan penebangan hutan harus dihentikan.

“Yang pertama rusaknya ekologi. Salah satu dampak dari korporasi yang bertanggung jawab,” ucap Qitfirul Rizal Azis, dari Komunitas Mahasiswa Pencinta Alam Imam Ghazali Pecinta Alam (KMPA Ighopala), Desember 2017.

Pulau Nusakambangan juga berfungsi sebagai benteng dari kemungkinan bencana tsunami, seperti yang pernah terjadi di tahun 2006. Saat itu Kota Cilacap tak terdampak tsunami lantaran keberadaan pulau ini.

Itu berbeda dengan daerah lainnya, Pangandaran dan Cilacap bagian timur, seperti Pantai Widarapayung dan Binangun yang terdampak tsunami dan menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa.

Rizal pun berpendapat, degradasi lingkungan di Cilacap dipengaruhi lemahnya fungsi pengawasan, hukum, tata kelola, dan kebijakan pemerintah. Di sisi lain kekayaan alam Cilacap merupakan magnet bagi investor, sehingga beramai-ramai mendirikan industri yang mengeksplorasi sumber daya alam.

Ia khawatir, persoalan lingkungan di Cilacap semain bertumpuk jika pemerintah tak bersikap tegas kepada korporasi yang melanggar.

Saksikan video pilihan berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya