Liputan6.com, Yogyakarta - Batu bertumpuk sempat membuat heboh di Indonesia seperti di Sungai Cibojong, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, awal Februari lalu. Beberapa orang mengaitkan ini dengan mistis dan sebagainya.
Namun, bagi Suryadi GT pendiri dari Komunitas Balancing Art Indonesia 5 Mei 2013 lalu ada penjelasannya bahkan filosofinya. Ia menyebut batu bertumpuk ini sebagai seni. Warga Imogiri, Bantul ini menyebut seni ini berasal dari Italia dan mulai digemari dalam beberapa tahun terakhir.
Advertisement
Baca Juga
"Mereka saat ini baru tahu kalau itu seni, walaupun itu seni paling dasar. Akhirnya, mereka tahu ternyata seni ini luas ya," ucap dia saat ditemui Liputan6.com di XT Square, Sabtu, 3 Maret 2018.
Suryadi mengaku mempelajari seni batu bertumpuk ini tidak asal ataupun instan. Ia mengenal seni ini dari temannya, Bildan, warga Sumatera yang saat ini tinggal di San Francisco, Amerika Serikat.
"Awalnya ketemu Bildan di Sumatera, dia kerja di Hawaii. Dia punya istri di San Francisco dan menetap di sana, dikenalkan itu," katanya.
Melalui Bildan, ia banyak mencari tahu tentang seni batu bertumpuk ini. Mulai dari pengertian, sejarahnya sampai ia masuk dalam grup International Balancing Art ini.
"Masuk ke grup internasional itu jadi kenal seluruh dunia. Korea, Kokai dari Jepang, Michael Grab dari Colorado sampai Pieter Jull," sebut Suryadi.
Setelah masuk di grup internasional inilah akhirnya ia sering mengunggah tentang Balancing Art ini. Selanjutnya, ia ditantang untuk membuat komunitas untuk mengenalkan seni ini di Indonesia.
"Saya jawab saya enggak punya pembimbing. Lalu ada yang mau bimbing saya, itu Michael Grab, saya dapat teori-teori," tuturnya.
Senang mendapat pembimbing tidak lantas ia cepat berkreasi untuk membuat batu bersusun. Menurutnya, pembimbing dari luar negeri ini justru sangat detail karena selama satu tahun ia belum mempraktikkan dan harus mengerti dasar seni ini dahulu.
"Satu tahun saya itu cuma teori saja. Belum praktik, lalu setelah itu style itu kalau belum bisa belum boleh ke style lainnya. Kayak orang sekolah katanya belum ada minimal touch, enggak gampang makanya saya lama," katanya.
Ia mengakui untuk mencapai beberapa style tidaklah mudah. Ia harus benar benar menyelesaikan model yang diajar terlebih dahulu.
"Saya enggak layak karena yang menilai orangnya jelas beda kan sama yang baru. Kalau layak baru boleh ditampilkan," katanya.
Suryadi pun mengakui dukungan sangat tinggi datang dari luar negeri untuk seni ini. Namun, ia mengakui seni ini belum banyak diterima oleh orang Indonesia.
"Seni ini belum bisa diterima awalnya, tapi lambat laun mulai dimengerti kalau ini seni," ujarnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tingkatan Seni Batu Bertumpuk
Suryadi menjelaskan untuk mengetahui seni itu harus mengetahui tingkatan seni tersebut selain filosofinya. Seni ini setidaknya ada beberapa tingkatan mulai dari tingkat dasar, yaitu Stacking yang paling banyak ditemui seperti di Sungai Cibojong, Cidahu, Sukabumi, awal Februari lalu itu.
"Dasar itu Stacking, menumpuk batu dari gede ke kecil-kecil ada yang menyebut Chairin ada yang menyebut Stone Tower atau Rock Tower. Ada juga yang gayane (gayanya) sejenis Stacking, tapi dibuat di gunung. Itu Inugsuk, bentuknya kayak manusia, itu tanda keberadaan," katanya.
Tingkatan selanjutnya adalah Bridge Arch sesuai namanya bentuknya mirip seperti jembatan atau bangunan dua arah. Proses seni ini harus dinikmati setiap langkahnya karena sudah memiliki basic yang kuat, yaitu Stacking.
"Jadi Arch harus step by step. Proses menikmati flating, presisi itu harus ditentukan, tambah lagi lalu tahan, kayak proses lalu ada lagi tambah lagi batunya," ujarnya.
Setiap proses seni bertumpuk ini harus memilki persiapan yang matang. Menurutnya seperti tujuan hidup manusia, jika tujuan itu sudah diketahui maka akan tahu kapan proses ini akan terus berlanjut.
"Kapan kita men-counter suatu masalah dijatuhkan pada titik yang bener.Tidak sembarang. Kalau sekarang mereka (anak baru) bisa bisa, tapi divisualkan saja. Memaknai (proses) itu tidak semua bisa," katanya.
Tahap selanjutnya adalah Counter Balance, yaitu menyusun batu, namun batu itu berada di arah yang berlawanan. Proses ini ia sebut sebagai optimistis karena karena batu itu harusnya jatuh ke salah satu sisi namun tidak terjadi.
"Men-counter berat jenis benda yang jatuh berlawanan yang harusnya jatuh di sebelah kiri kita puter beratnya ke kanan tapi dalam keadaan Stacking dan seimbang. Itu proses bagi kita optimis saya susupkan itu optimis," ujarnya.
Optimistis yang ingin disampaikan ini menunjuk pada suatu masalah yang dihadapi manusia yang bisa diselesaikan. Asal balancer (seniman batu bertumpuk) ini mengetahui titik yang tepat untuk menempatkan titik nol.
"Karena tripod stacking-nya zero gravity-nya tepat. Dia bisa menemukan titik yang tepat kena angin enggak bakalan ambruk tetap balance dengan syarat posisinya harus tepat. Optimisnya itu satu bukti 1 persen kemungkinan melawan 99 persen ketidakmungkinan. Kalau optimistis kita bisa membelokkan satu arah," katanya.
Teknik selanjutnya adalah Combo. Teknik di tingkatan ini merupakan kombinasi antara stacking, counter balance, dan Tic Tac Toe. Jadi ada tiga hal dalam satu karya seni itu.
"Dalam visual art itu ada cabang ada tambahan miring," katanya.
Tingkatan selanjutnya Tornado yang memiliki prinsip yang hampir sama dengan Stacking yakni menyusun batu secara verikal. Hanya saja batu terkecil di posisi terbawah dan semakin tinggi batu semakin besar.
"Selanjutnya Tic Tac Toe, yaitu Intelock siku tiga batu yang minimal touch. Itu membuktikan lagi ketidakmungkinan karena itu ada ujung terkecil, tapi kalau itu ditempatkan pada line ujung gravity sing bener maka bisa terjadi," katanya.
Tingkatan teknik selanjutnya ada Stone Flower. Batu itu disusun seperti sebuah tanaman tekniknya mirip Combo, tapi lebih indah Stone Flower.
"Terakhir, Jedi itu benar-benar beda, karena permukaan media itu halus dan ada sentuhan terkecil, jadi benar-benar yang keseimbangan sempurna," katanya.
Advertisement
Filosofi Pendekar Sakti
Setelah lama menggeluti seni ini ia akhirnya menyebut seni batu bertumpuk ini memiliki filosofi sendiri, yaitu filosofi gravity. Filosofi ini berpusat pada satu titik, yaitu titik nol.
"Terbentuk dari vertikal dan horizontal adanya balance itu ada di titik dua ini. Ini menggambarkan hubungan dengan Tuhannya vertical line. Horizontal ini menggambarkan hubungan dengan alam," ujarnya.
Filosofi ini harus bisa berintropeksi bahwa manusia tidak ada yang bisa disombongkan. Karena berada di tengah-tengah, sehingga tidak memiliki hal yang perlu dibanggakan.
"Dari atas kita turun juga nol di alam semesta juga nol. Dari sini munculah attitude humble. Titik nol itu menggambarkan ikhlas jelas bahwa suatu saat proses itu akan menemukan hasilnya atas usaha ini," katanya.
Memahami filosofi ini tidak semua balancer bisa. Terutama bagi balancer yang terhitung baru saja membuat seni ini.
"Tidak semua orang bisa. Makanya saya lihat anak anak sekarang untuk mencari itu karena masih banyak yang ingin dianggap iso (bisa), pengin di-wow," katanya.
Ia punya pesan sendiri bagi generasi muda yang ingin belajar tentang batu bertumpuk ini. Jelasnya, harus memahami filosofi seni ini dan harus sabar dalam berproses.
"Kalau mau belajar ya di nol ke jiwanya. Jangan berambisi cepat iso. Pahami dulu fungsi-fungsinya karena kalau enggak merusak jiwane dewe. Seni ini kalah-kalah sama seninya ini akan jadi orang yang sombong. Seperti stacking jejek ngleleng ora karuan," katanya.
Filosofi batu bertumpuk itu senada dengan pesan dari cerita silat populer karya Asmaraman Kho Ping Hoo serial Pendekar Sakti. Di puncak kesaktiannya, sang pendekar menyebut dirinya Bu Pun Su alias tak punya ilmu.
Â
Etika Batu Bertumpuk
Kepada balancer ia berpesan agar tidak terjebak dalam seni ini dan jangan kalah dari seni ini. Sebab, intinya seni ini membutuhkan keseimbangan dan merasakan berada di titik nol.
"Kita butuh kesimbangan menjaga kerataan kita sendiri atau sudah duwur kan dia merasa dia paling tinggi, dibeginikan aja jatuh berantakan. Enggak ada yang abadi, kalau ada sentuhan di pihak ketiga itu ancur," katanya.
Terlebih lagi, setiap balancer itu memiliki etika juga. Alhasil, tidak asal membuat batu bertumpuk kemudian menghalalkan segala cara. Salah satunya harus meminta izin jika lokasi itu berada di tempat khusus.
"Misal di tempat wisata itu menjaga estetika yang sudah ada. Kalau ada tempat lalu mengambili batu bikin rusak, lalu tidak boleh di-upper head, di kanan kiri tebing enggak boleh," ujar Suryadi.
Advertisement
Seni dan Manfaat
Suryadi mengatakan pula, ada dua kategori di batu bertumpuk ini, yaitu ada basic balance dan kedua adalah indoor balance atau fix media. Namun, ia menganjurkan jika ingin mempelajari seni ini gunakan batu saja karena bisa juga jadi alat terapi
"Batu itu elemennya terbentuk dari beberapa elemen. Ada api, angin, air, dan tanah. Beda sama gelas. Berat jenis batu bisa jadi terapi. Karena mau menyeimbangkan itu ada pernapasannya, kayak ada meditasi," ujarnya.
Seni ini meliputi pernapasan, relaksasi, dan kontrol emosi. Pasalnya, seni ini harus dinikmati prosesnya karena hasil akhir adalah bonus.
"Saat kita melakukan pointed itu butuh waktu lama kadang kita menyeimbangkan kan perlu waktu itu durasi. Kalau enggak sabar itu sudah gamau. Jadi itu tumbuhlah emotional control," ujarnya.
Menurutnya, emotional control akan jelas terlihat saat balancer ini memahami seni ini. Seperti pengalaman ia membuat batu bertumpuk di sungai dan diganggu orang karena dinilai seperti orang gila.
"Pengalaman bikin itu di sungai baru mau ambil kamera, batu yang sudah disusun dilempar seperti apa rasanya coba. Semua ambruk, so mau marah enggaklah. Itu emotional control saya diuji," katanya..
Pernapasan juga penting karena dalam proses mencari titik nol pointed itu dibutuhkan pernapasan yang teratur, kepekaan maksimal, kesabaran yang maksimal. Menurutnya, hal itu juga bisa menjadi sarana meditasi bagi balancer.
"Mood bahan arah angin alam itu pengaruh. Hasil akhir itu diciptakan dari alam, makanya itu harus flow (mengalir)," katanya.
Pengalaman Mendalami Seni Batu Bertumpuk
Suryadi saat ini memiliki misi untuk menyatukan balancer mulai dari Aceh hingga Papua yan dibalut dalam misi Bhinneka Tunggal Ika di komunitas ini. Komunitas ini nanti tidak hanya berbicara tentang seni saja tapi juga bahasa dan budaya.
"Karena di grup ini juga dari luar negeri juga," katanya.
Ia tengah gencar untuk mensosialisasikan seni ini yang sudah ia lakukan sejak 2016 lalu mulai tampil di televisi. HIngga mengenalkan seni ini ke sekolah hingga kampus-kampus.
"Termasuk nanti ke anak-anak. Ada pendekatan sendiri kita sisipin dengan bahan-bahan yang lebih ringan," katanya.
Menurutnya, seni ini akan membuat perubahan tingkah laku jika benar-benar paham makna filosofinya. Sebab, inti dari seni kembali menuju ke titk nol alias ikhlas.
Ia pun punya pengalaman dengan anak tetangganya yang autis saat mengajarkan seni ini.
"Aku ajarkan da melakukan Stacking yang elek (jelek) banget, tapi dia penuh kegembiraan aku nerocos (menangis) aku barang ngene iki tidak bagus, tapi yang melakukan itu sudah istimewa banget. Banyak hal yang harus disyukuri," katanya.
Memahami seni ini tidak hanya akan membuat dirinya lebih bersyukur, tapi juga akan dekat dengan alam. Sebab, berbagai pengalaman ia alami berkaitan dengan kejadian alam.
"Karena dekat dengan lama pas akan mau gempa saya kerasa kayak dikasih tanda, olah rasa, sinau seko laku," katanya.
Tidak hanya itu, seni ini seolah membalikkan manusia ke masa lalu. Bahwa seni ini sebenarnya sudah lama ada di nusantara, namun hilang karena berbagai faktor salah satunya adalah penjajah.
"Nusantara kita pernah ada kita yang tertua, bahkan ya namanya susun batu simbol interlock paling besar itu candi. Di Colorado itu po candi, Italia da po. Sebenarnya kita tertua, zaman batu kita ada di Jawa Timur. Seni kena skip (disembunyikan) penjajah, ya hilang," ujarnya.
Â
Advertisement