Liputan6.com, Cilacap - Air liur kerap diasosiasikan dengan jorok dan menjijikkan. Namun, tidak dengan santri-santri di Pesantren Rubat Mbalong Ell Firdaus, Kadungreja Cilacap. Mereka mengubah air liur menjadi pupuk organik yang berdaya guna.
Pemanfaatan air liur sebagai pupuk organik ini rupanya sejalan dengan visi pesantren mengembangkan pertanian terpadu. Air liur yang diubah menjadi pupuk organik itu dimanfaatkan sebagai pupuk cair dan padat agar tanaman santri semakin subur.
Tiap menjelang fajar, sebelum memulai aktivitasnya, sekitar 250 santri, baik laki-laki maupun perempuan mengantre untuk berkumur. Tiap santri hanya diperbolehkan berkumur dua kali.
Advertisement
Baca Juga
Air kumuran dari air liur pertama dan kedua setelah bangun tidur itu diyakini mengandung banyak bakteri pengurai. Lantas, santri mengumpulkannya di jeriken-jeriken khusus. Tiap pagi, setidaknya terkumpul sekitar 10 liter kumuran air liur santri.
Air liur itu kemudian diproses menjadi Mikro Organisme Lokal (MOL) dengan cara mencampurnya dengan air beras (leri) dan gula atau air tebu. Setelah diperam selama sepekan, MOL air liur itu bisa digunakan sebagai starter atau pemicu percepatan berbagai pupuk organik dan insektisida alami.
Dari starter pupuk air liur, santri mencampurnya dengan bahan alami lainnya, seperti buah maja atau kemplung, kulit pisang, daun sirisida, daging keong yang dicacah, rebung, dan lain sebagainya.
Manfaatnya bermacam-macam. Misalnya, starter pupuk air liur yang dicampur dengan buah maja akan menghasilkan pupuk lengkap, N, P dan K organik. Pupuk air liur yang mengandung bakteri Saccharomyces, Cellulomonas, Lactobacillus, dan Rhizobium itu membuat pupuk cair dan padat lebih cepat bisa digunakan.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Teknologi Tepat Guna Karya Santri Rubat Mbalong
Aplikasi pada tanaman, 0,5 liter MOL maja cair dicampur dengan 14 liter air bersih. Lantas pupuk cair itu disemprotkan ke tanaman pagi-pagi benar, ketika matahari belum terik.
Tanaman pun memperoleh nutrisi yang diperlukan. Hasilnya, tanaman akan berkembang lebih pesat, subur, dan berbuah lebat. Hasil panennya dikonsumsi oleh ratusan santri sebagai menu makanan sehari-hari.
Pengasuh Pondok Pesantren Rubat Mbalong Ell Firdaus, KH Ahmad Hasan Mas’ud atau akrab disapa Gus Hasan berkisah, sebenarnya pupuk air liur itu bukan lah ciptaan pesantren Rubat Mbalong. Sang penemu, adalah KH Fuad Affandi, pengasuh pesantren Al Ittifaq, Ciwedey, Bandung.
Penemuan Fuad ini diberi nama MFA (Mikroorganisme Fermentasi Alami). MFA berkhasiat mempercepat ketersediaan nutrisi tanaman, mengikat pupuk dan unsur hara, serta mencegah erosi tanah.
Oleh santri Rubat Mbalong, penemuan itu dikembangkan menjadi berbagai pupuk cair dengan kegunaan yang bermacam-macam. Ada yang berguna untuk asupan nutrisi nitrogen, fosfor, kalium, zat besi, kalsium. Nutrisi itu diperoleh dari campuran masing-masing bahan.
Dari air liur itu pula, santri mengembangkannya menjadi pestisida organik atau nabati. Pupuk tersebut dicampur urine kelinci, kambing, dan sapi.
Salah satu yang cukup membanggakan adalah ketika salah satu santri Rubat Mbalong, Ahmad Mustolih, mencampurkan starter air liur dengan kulit pisang. Mustolih prihatin, di sekitar pesantren banyak industri pisang sale yang menyebabkan kulit pisang menjadi limbah tak berguna.
Namun, di tangan santri ini, kulit pisang diubah menjadi pupuk cair dan padat yang bermanfaat untuk tanaman. Dari inovasinya itu, Ponpes Rubat Mbalong Ell Firdaus meraih juara kedua inovasi teknologi tepat guna di Kabupaten Cilacap.
"Keberhasilan santri mengubah kulit pisang menjadi pupuk cair dan padat diapresiasi. Alhamdulillah," ucapnya kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Â
Advertisement
Ponpes Rubat Mbalong Mandiri dan Gratis
Konsistensi Ponpes Rubat Mbalong mengembangkan pertanian terpadu dan ekonomi kreatif juga dilirik oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, swasta hingga perbankan. Bank Indonesia (BI) Purwokerto salah satunya.
Ponpes memperoleh bantuan budidaya jamur tiram, pengembangan pertanian padi Hazton, sarana kandang dan gedung usaha peternakan sapi, industri paving blok dan batako. Adapun pada sisi branding, ponpes memperoleh pelatihan strategi pemasaran dan pengemasan.
Ponpes juga mengikuti Festival Ekonomi Syariah (Fesyar) Regional Jawa ke-1 di Bandung 2017. Sang pengasuh, Gus Hasan didaulat menjadi narasumber pada talkshow kemandirian ekonomi pesantren.
Kemudian, mengikuti ISEF 2017 di Surabaya, lagi-lagi Gus Hasan menjadi narasumber. Terakhir, pesantren mengikuti Fesyar Regional Jawa ke-2 di Semarang, 2018 ini.
Di luar itu, Ponpes Rubat Mbalong membudidayakan cacing tanah, belatung, ikan, unggas, kambing, sapi dengan pakan fermentasi. Seluruhnya adalah sebuah rangkaian besar yang saling membutuhkan.
Misalnya, kotoran sapi masuk dalam instalasi pengolahan yang lantas diubah menjadi gas metana. Gas metana disalurkan dengan pipa-pipa dan digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak.
Pertanian terpadu dan pengembangan ekonomi kreatif membuat Ponpes Rubat Mbalong mandiri. Santri tak perlu membayar iuran. Seluruhnya, gratis.
"Kalau membayar paling hanya untuk air minum saja. Itu pun di luar pondok. Kalau santri ke pondok tidak ada iuran alias gratis," Gus Hasan menambahkan.