Tradisi Sunan Kalijaga Saat Malam Selikuran di Keraton Solo

Keraton Solo menggelar kirab tumpeng sewu untuk menyambut malam selikuran. Tradisi tersebut digelar untuk memperingati turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW.

oleh Fajar Abrori diperbarui 07 Jun 2018, 09:29 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2018, 09:29 WIB
Kirab Malam Selikuran
Selain membawa seribu tumpeng, kirab malam selikuran juga membawa lampion dan lampu ting.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Liputan6.com, Solo - Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo menggelar kirab seribu tumpeng untuk memperingati malam selikuran (malam ke-21) pada bulan Ramadan yang jatuh pada Selasa malam, 5 Juni 2018. Bagi sejumlah masyarakat, nasi tumpeng yang dibagikan tersebut diyakini memiliki tuah.

Iring-iringan prajurit keraton keluar dari pintu utama kori kamandungan menandai dimulainya kirab seribu tumpeng. Barisan paling depan merupakan para abdi para prajurit yang membawa bendera keraton serta umbul-umbul.

Para abdi dalem keraton yang membawa lampu tiang dan petromaks ikut menyusul di barisan selanjutnya. Mereka juga membawa lampion berukuran besar berbentuk bulan sabit maupun bintang lengkap dengan tulisan kaligrafi Arab berlafal "Allah" dan "Muhammad".

Sedangkan di belakang iring-iringan tersebut, terdapat empat kereta kencana yang masing-masing ditarik dua ekor kuda. Kereta tersebut untuk membawa permaisuri Paku Buwono XIII, pengageng keraton, dan keluarga Keraton Solo.

Adapun satu kereta kencana digunakan untuk membawa tamu kehormatan yang hadir dalam prosesi tersebut. Dua tamu penting itu adalah Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra, dan mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva. Mereka berdua memakai busana adat beskap berwarna putih.

Di belakang kereta kencana, para abdi dalem memikul dua ancak cantaka berukuran besar yang berisi nasi tumpeng, ayam ingkung, buah dan sayuran. Sedangkan, seribu nasi tumpeng dikemas dalam puluhan ancak cantaka berukuran kecil. Para abdi dalem berjalan kaki menyusuri jalan mulai dari keraton hingga Sriwedari yang berjarak 3 kilometer.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rebutan Nasi Tumpeng

Kirab Malam Selikuran
Sejumlah abdi dalem dan warga ikut berebut nasi tumpeng dalam tradisi malam selikuran yang digelar Keraton Solo.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Setibanya di bangunan joglo Sriwedari, seribu tumpeng itu pun didoakan oleh ulama keraton sebelum dibagikan kepada abdi dalem dan masyarakat. Mereka pun duduk bersila mengelilingi tumpeng tersebut.

Usai doa selesai dibacakan, para abdi dalem dan masyarakat langsung mendekat maju untuk ikut merayah nasi tumpeng. Mereka pun berebut untuk bisa memperoleh nasi tumpeng yang diyakini bertuah.

Salah satu warga asal Klaten, Supriyanto, mengaku senang bisa mendapatkan nasi tumpang pada malam selikuran. "Ini dapat dua nasi tumpeng. Nanti akan dibawa pulang untuk diberikan kepada orangtua di rumah," kata dia.

Bungkusan nasi tumpeng tersebut, lanjut Supriyanto, berisi nasi liwet, tiga butir telur puyuh, potongan mentimun, kedelain hitam dan cabai hijau besar. Nasi tersebut dipercaya memiliki berkah.

"Mendapat nasi tumpeng untuk ngalap berkah," ujarnya.

Malam Selikuran Sambut Lailatul Qadar

Kirab Malam Selikuran
Keraton Solo menggelar tradisi malam selikuran dengan mengarak 1000 tumpeng untuk menyambut malam lailatul qadr, Selasa malam (5/6).(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Sementara itu, Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta, KGPH Dipokusumo, mengatakan prosesi kirab seribu tumpeng digelar untuk memperingati malam selikuran yang jatuh pada Selasa malam, 5 Juni 2018. Tradisi tersebut digelar untuk memperingati turunnya wahyu lailatul qadar yang diterima Nabi Muhammad SAW.

"Tumpeng sewu dan lampion merupakan simbol sebagai malam seribu bintang saat malam lailatul qadar," jelas dia yang sering disapa Gusti Dipo.

Tradisi tersebut, menurut dia, telah ada sejak zaman Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam di Jawa. Dalam dakwahnya, salah satu Wali Songo itu menyampaikan ajaran Islam melalui akulturasi budaya Jawa.

"Yang menjadi patokan dari keraton itu ajaran dari Sunan Kalijaga. Prinsip dasarnya Sunan Kalijaga itu Islam, tapi njawani," jelasnya.

Sejak saat itu ajaran Sunan Kalijaga itu diteruskan oleh Raja Mataram Islam, Sultan Agung. Bahkan, tradisi tersebut bertahan hingga saat ini. "Malam selikuran dengan sewu tumpeng itu berlangsung hingga sekarang," kata dia.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya