Liputan6.com, Bandung - Produksi kertas daluang terus bertumbuh. Namun, hanya segelintir orang yang konsisten memproduksinya. Ahmad Mufid Sururi, salah satunya. Laboratorium Toekang Saeh, label yang didirikan oleh Mufid mampu bertahan lebih dari 12 tahun.
Sejak 2006, Mufid telah menekuni pembuatan kertas daluang secara manual. Meski manual, sudah ada ribuan lembar kertas yang tercipta untuk memenuhi pasar domestik. Salah satu pemesan yang paling banyak yaitu Pulau Jawa dan Bali.
"Kalau untuk produksi rutin, sifatnya lembaran kertas saja. Di luar itu, saya biasanya mengeksplorasi jadi benda seni," kata Mufid ditemui Liputan6.com di kawasan Bagusrangin, Kota Bandung, Minggu, 4 November 2018.
Advertisement
Menurut Mufid, kertas yang berasal dari lembaran kulit kayu saeh tersebut mulai dilirik pasar untuk berbagai aktivitas.
Baca Juga
"Kalau bicara tren, beberapa pelukis saat ini cukup banyak yang melukis dengan medium kertas daluang. Selebihnya ada yang dimanfaatkan untuk kerajinan tangan seperti tas, alat musik dan banyak lagi," ujarnya.
Selain itu, masih ada hal lain yang menurutnya tak kalah penting, yaitu terkait menjaga keseimbangan alam melalui penanaman pohon saeh.
Sejak awal menggeluti pembuatan kertas daluang, Mufid menanam sendiri pohon saeh yang merupakan bahan baku kertas daluang. Bahkan, ia sering dibantu teman-temannya untuk menanam pohon.
"Saat mulai memproduksi kertas daluang, mau tidak mau ikut menanam pohonnya juga. Apalagi pohon ini keberadaannya sudah jarang ditemukan. Saya juga sering titipkan bibitnya kepada teman yang masih punya lahan untuk menanam pohon," ungkapnya.
Konsistensi menanam sambil memproduksi kertas dengan modal yang terbilang nekat itu tidak lantas mengurangi kualitas produk yang dihasilkan. Mufid justru melihat, keunggulan kertas daluangnya ada pada kecintaan terhadap lingkungan. Tidak hanya memproduksi, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam melestarikan alam.
Ia mengatakan, pohon-pohon yang ditanam tidak diberi perawatan khusus. Dengan tanah yang sudah subur itu, dalam waktu dua tahun pohon sudah bisa dipanen.
Sepanjang 12 tahun menggeluti produk kertas daluang, Mufid juga selalu menggunakan pohon dan daun pisang. Pohon biasanya dipakai dalam proses pengeringan dengan cara menempelkan kulit pohon saeh yang sudah ditempa. Adapun daun pisang dimanfaatkan dalam proses pengeraman.
"Jadi, dari satu lembar kertas daluang saja kita bisa bercerita banyak hal. Termasuk soal merawat ekosistem," kata dia.
Dibuat Secara Manual
Bengkel Toekang Saeh tidak seperti pabrik tekstil atau rumah produksi tahu yang luasnya cukup besar. Ruangan yang ia pakai hanya seluas 4 x 4 meter. Namun, semangat berkarya seorang Mufid, seolah menyatakan bahwa proses panjang itu sebenarnya dapat dilalui dengan niat dan keuletan.
Perajin kertas daluang ini berkata, proses pembuatan kertas daluang sebenarnya sangat sederhana, dimulai dari memotong-motong dan menguliti batang pohon saeh. Kemudian kulit bagian dalam yang sudah dibelah direndam di dalam air bersih. Setelah itu kulit pohon dipukul-pukul dengan menggunakan alat yang disebut pameupeuh.
Alat pemukul yang dipakai Mufid terbuat dari kuningan. Teksturnya mulai dari yang berjarak sangat rapat hingga renggang. Kemudian kulit pohon dicuci dan diperas, lalu dipukul-pukul lagi sampai mencapai kelebaran yang diinginkan. Lalu dijemur sampai setengah kering.
Adapun soal ketebalan kertas, kulit kayu biasanya dirangkap. Setelah lebar dan ketebalan dirasa sudah cukup, kulit kayu kemudian direndam lagi lalu diperas dan dilipat untuk dibungkus dengan daun pisang sampai beberapa malam sampai mengeluarkan lendir. Beberapa bagian yang berlubang biasanya akan tertutup karena lendir tersebut.
Setelah proses tersebut, barulah kulit kayu dibentangkan dan dijemur di atas permukaan batang pohon pisang sampai kering. Proses penjemuran ini biasanya tergantung pada cuaca. Jika musim kemarau, bahan tersebut bisa lebih cepat kering.
Pada sisi yang menempel pada pohon pisang tersebut permukaan kertas terasa lebih halus, sedangkan bagian lainnya lebih kasar.
"Untuk memperhalus bagian yang masih kasar cukup digosok dengan kerang," kata Mufid.
Keunikan lain dari kertas daluang ini adalah nilai yang dibuat sesuai pesanan. Satu lembar kertas ukuran A4 akan berbeda dengan kertas berukuran besar.
Selain itu, dikarenakan oleh teknik pembuatannya yang seratus persen manual, tekstur kertas yang terbentuk oleh karakter serat kulit kayu dapat dipertahankan dan memberi corak keunikan tersendiri pada setiap lembarannya.
"Untuk ukuran 1 x 1 meter harganya Rp 750 ribu. Kalau ukurannya lebih besar dari itu harganya berbeda lagi karena proses pengerjaannya lebih rumit dan waktunya lebih panjang," ungkapnya.
Selain menjual kertas daluang, pria yang sehari-harinya pemain musik ini mengaku menyukai kolaborasi. Tidak jarang ia menerima kedatangan mahasiswa yang ingin meneliti daluang.
"Paling banyak yang datang mahasiswa yang ingin melakukan penelitian. Ada juga yang memang ingin mengeksplorasi kertas daluang menjadi barang, kerajinan tangan, atau benda seni," tuturnya.
Advertisement
Jangan Lupakan Daluang
Daluang punya beberapa sebutan. Ada yang menyebutnya deluang. Bagi orang Jawa, benda ini disebut deluwang. Namun, intinya sama saja yaitu lembaran tipis yang dibuat dari kulit pohon saeh (Broussonetia papyrifera) atau mulberry. Sehingga, daluang sering disebut juga paper mulberry.
Mufid mengatakan, kertas daluang diciptakan sebelum pabrik kertas ada di Indonesia. Menurut dia, orang-orang zaman dulu menciptakan alat tulis dari mengolah alam di sekitarnya.
Kertas tradisional Indonesia ini pada masa lampau digunakan untuk pemenuhan berbagai keperluan, baik sebagai lembaran kulit kayu untuk keperluan praktis sehari-hari ataupun keperluan lainnya yang bersifat khusus yang terkait dengan keperluan peribadatan suatu agama, keperluan sebagai media dalam tradisi tulis, bahkan untuk pemenuhan kebutuhan administrasi di pemerintahan lokal.
Pemanfaatan daluang pada masa lampau, di antaranya dapat ditelusuri melalui naskah kuno manuskrip. Di antaranya teks naskah Kakawin Ramayana yang berasal dari abad ke-9 Masehi, naskah Sumanasantaka, Pujastawa Wedana, Sanghyang Swawar Cinta (naskah Sunda abad ke-18 M), dan Serat Sastramiruda.
Daluang pada teks Kakawin Ramayana, dinyatakan sebagai bahan pakaian pandita. Adapun berdasarkan teks naskah Serat Sastramiruda, daluang digunakan sebagai bahan wayang beber, salah satu jenis wayang yang berkembang di Jawa yang memanfaatkan lembaran atau gulungan daluang untuk merekam kisahan atau cerita pewayangan dalam bentuk bahasa.
Selain terdapat dalam informasi naskah tua, daluang digunakan dalam berbagai tradisi tulis di Indonesia, mulai dari tradisi pesantren sampai dengan pemanfaatan untuk keperluan administrasi di zaman kolonial sampai awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Namun, seiring dengan masuknya kertas pabrik dari Eropa, daluang dianggap tidak layak, baik secara praktis maupun ekonomis. Akibat dari hal tersebut, daluang berikut dengan segala macam aspek pendukungnya menjadi terancam punah.
Mulai dari nyaris punahnya keberadaan pohon paper mulberry sebagai bahan baku pembuatan daluang, tidak terwariskannya sistem pengetahuan dan teknologi tradisional, hilangnya sikap menghargai potensi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, bahkan termasuk memudarnya rasa memiliki atas salah satu aspek budaya yang seharusnya menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Sejak 2014, daluang sudah tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI) di Kemdikbud yang disahkan pada Oktober 2014 dengan SK Mendikbud Nomor 270/P/2014.
Ketika ditanya harapannya kepada pemerintah mengenai usaha yang sedang dilakukannya ini, Mufid menjawab dengan lirih.
"Saya kurang yakin karena sudah dari 2006 saya merintis upaya agar orang tidak melupakan daluang, sampai saat ini masih ada saja yang belum tahu. Kalaupun pemerintah sadar mungkin mereka tak tahu apa yang harus dilakukan," ujarnya.
Â
Simak video pilihan berikut ini: