Kisah Tembang Sunan Bonang yang Merengkuh Sukma

Tembang berbahasa Jawa ini sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun silam. Tembang ini awalnya adalah alat dakwah yang efektif yang digunakan Sunan Bonang.

oleh Moch Harun Syah diperbarui 23 Nov 2018, 07:02 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2018, 07:02 WIB
Makam Sunan
Makam Sunan

Liputan6.com, Rembang - Beragam cara digunakan oleh para sunan atau wali untuk menyebarkan Islam di Pulau Jawa berabad silam. Salah satunya adalah dengan mencipta banyak lagu dengan napas Islam.

Tembang Tombo Ati yang artinya penyejuk hati misalnya. Tembang berbahasa Jawa ini sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun silam. Tembang ini awalnya adalah alat dakwah yang efektif yang digunakan Sunan Bonang.

Sunan Bonang memang wafat pada 1525. Namun karyanya masih bisa dinikmati sampai sekarang. Beberapa musisi Tanah Air bahkan mengaransemen ulang Tombo Ati agar lebih akrab di telinga dan hati.

Sempat ada perbedaan keyakinan mengenai lokasi pusara Sunan Bonang. Namun hal itu tak mempengaruhi niat masyarakat untuk menziarahinya. Dan Tombo Ati pun terus bergema menyejukkan hati umat Islam.

Sampai kini makam Sunan Bonang terus dibanjiri peziarah. Meski sampai saat ini pusara Sunan Bonang masih menjadi perdebatan. Setidaknya ada 4 pusara atau petilasan yang diyakini. Salah satunya di Rembang dan Lasem. Di Rembang ini diyakini sebuah petilasan. Tanpa cungkup, nisan, dan hanya ada melati. Orang-orang menyebut sebagai Mbonang.

Setiap 10 Dzulhijah lokasi tersebut ramai dikunjungi peziarah. Biasanya usai menunaikan salat Idul Adha, ribuan warga Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dan sejumlah kota sekitarnya menyerbu rumah juru kunci makam Sunan Bonang.

Mereka berharap botol yang mereka bawa terisi air bekas penjamasan atau penyucian bende becak atau gong kecil yang dilakukan setiap 10 Dzulhijah.

Konon, bende becak atau gong kecil itu merupakan jelmaan dari utusan Raja Majapahit Brawijaya Lima yang bernama Becak.

Raja tersebut konon dikutuk Sunan Bonang karena bernyanyi dengan suara keras, saat sang sunan sedang mengaji bersama santri-santrinya. Acara penyucian bende becak itu merupakan tradisi masyarakat setempat.

Sementara itu, menyambut datangnya bulan Dzulhijah, keraton kasunanan Surakarta, menggelar ritual gerebeg besar di halaman Masjid Agung Solo. Gunungan yang berisi makanan dan hasil bumi di kirab dari halaman keraton menuju Masjid Agung, untuk kemudian diperebutkan warga.

Warga yang datang tidak hanya dari Solo, namun juga dari kota-kota di sekitarnya. Mereka percaya bahwa gunungan tersebut membawa berkah. Tak heran mereka melakukan apa pun untuk bisa mendapatkan gunungan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya