Liputan6.com, Aceh - Kedatangan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil ke Kabupaten Aceh Barat, Jumat (15/2/2019), disambut aksi mahasiswa. Mereka saling dorong dengan petugas, melompati pagar, mengejar sang menteri hingga akhirnya tertahan blokade polisi dan satuan polisi Pamong Praja di teras kantor wedana.
Aksi Komite Pimpinan Wilayah Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (KPW-SMUR) Aceh Barat tersebut berawal bocornya informasi kedatangan menteri. Aksi dilakukan dengan dalih banyaknya kasus sengketa lahan perkebunan antara korporat dengan masyarakat yang penyelesaiannya dinilai tidak ada titik terang.
Baca Juga
Sebagai catatan, Menteri ATR/KBPN, Sofyan Djalil datang ke Kabupaten Aceh Barat dengan sejumlah agenda. Di antaranya, penyerahan sertifikat tanah untuk kabupaten yang berada di kawasan barat selatan Aceh, serta mengisi kuliah umum di Universitas Teuku Umar.
Advertisement
Sekitar pukul 10.00 WIB, mahasiswa berkumpul di depan pintu gerbang kantor wedana yang dijaga ketat polisi dan Satpol PP. Sempat terjadi saling dorong antara mahasiswa yang memaksa masuk dengan petugas keamanan hingga akhirnya mahasiswa memilih bertahan di pintu gerbang.
Menginjak satu jam mahasiswa bergantian berorasi sebelum mereka melihat menteri tiba-tiba muncul dan masuk ke aula dari kejauhan. Mahasiswa melompati pagar, menyerbu masuk, kemudian tertahan di teras karena di blokade oleh Satpol PP.
"Izinkan kami masuk! Tanah di Indonesia hampir seluruhnya dikuasai oleh korporat," teriak salah seorang mahasiswa, Engga Pratama, sambil mengacung-acungkan megaphone.
Selagi itu, seorang mahasiswa, Masykur, berdebat sengit dengan seorang petugas Satpol PP. Dia meminta diizinkan menemui sang menteri untuk mendapat jawaban mengenai beberapa kasus konflik lahan perkebunan di Aceh yang dijanjikan segera ditangani Dirjen Penanganan Masalah Agraria kementerian terkait cum Kantor Staf Kepresidenan (KSP) di ujung tahun lalu.
Sekitar 30 menit berselang, mahasiswa membubarkan diri. Sementara itu, Menteri ATR/BPN berada di dalam aula melakukan penyerahan sertifikat tanah secara simbolis kepada BPN Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Abdya, Aceh Selatan, Subulussalam, dan Singkil.
Di temui di tempat terpisah, Masykur menyebut, saat ini terdapat 5 kasus sengketa lahan perkebunan di Provinsi Aceh. Konflik tersebar di 4 kabupaten, yakni Nagan Raya, Abdya, Aceh Tamiang, dan Bireuen.
"Di antaranya konflik lahan wilayah kelola masyarakat 4 desa di Kabupaten Aceh Tamiang dengan PT Rapala, yakni, Paya Rahat, Teuku Tinggi, Tanjung Lipat I, dan Tanjung lipat II," sebut dia.
Masih di Aceh Tamiang, konflik lahan perkebunan terjadi antara Desa Sungai Iyu dengan PT Rapala. Berikutnya antara masyarakat Krung Simpo, Kabupaten Bireuen dengan PT Syaukat Sejahtera, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya dengan PT Dua Perkasa Lestari, terakhir, antara Desa Cot Mee, Kabupaten Nagan Raya, dengan PT Fajar Baizury & Brother's.
Â
Harapan Mahasiswa
Kendati tidak berjumpa langsung dengan menteri, Masykur berharap kementerian terkait mengambil langkah-langkah penanganan sesuai janji akan memverifikasi dokumen 5 kasus konflik lahan perkebunan di Aceh. Bagi Masykur, Pemerintah Daerah sudah tidak bisa diharap, karena tingginya konflik kepentingan.
Sementara itu, menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, konflik lahan perkebunan yang berkepanjangan itu, menyebabkan sekitar 4 ribuan warga menjadi korban. Kondisi tersebut dipicu lahan wilayah kelola warga seluas 3.334 hektare tiba-tiba masuk ke dalam konsesi Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Selain itu, konflik lahan berkepanjangan mengakibatkan 58 warga di 3 wilayah konflik, yakni, Aceh Tamiang, Bireuen, dan Nagan Raya dikriminalisasi sejak 2015 hingga saat ini. Dari jumlah tersebut 34 orang diantaranya dipidana dengan tuduhan menduduki dan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin sedang 23 orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka sejak Juni 2018 oleh Polres Aceh Tamiang.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement