Liputan6.com, Purbalingga - Masa tenang Pemilu 2019 mestinya menjadi waktu saat semua aktivitas politik, fisik, dan mental mulai turun. Selama empat hari sebelum hari H pencoblosan, semua aktivitas politik dibatasi.
Tim sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden atau calon legislatif dan simpatisannya misalnya, mulai beristirahat. Semua aktivitas kebanyakan hanya dalam ruangan atau dilakukan secara senyap. Secara umum, ingar bingar politik mereda.
Akan tetapi, masa tenang Pemilu itu nyatanya bukan jadi hari yang tenang bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Mereka justru kerepotan menertibkan alat peraga kampanye (APK) yang masih terpasang.
Advertisement
Baca Juga
Padahal, jika ditotal sejak pelaksanaan kampanye, Bawaslu Purbalingga sudah menertibkan lebih dari 15 ribu APK, terdiri dari baliho, spanduk, bendera, stiker, banner, dan poster. Jumlah itu pun terus bertambah menyusul banyaknya laporan masuk dari pengawas kecamatan dan pengawas desa.
Komisioner Bawaslu Purbalingga Koordinator Divisi Hukum dan Data Informasi, Joko Prabowo mengaku kerepotan saat menertibkan APK. Saking repotnya, alat berat diterjunkan untuk merambah APK berbayar yang terpampang besar di sudut-sudut jalan perkotaan.
Sementara, di pelosok-pelosok desa, bendera-bendera partai dipasang tinggi-tinggi, di pucuk pohon tua yang telah tumbuh belasan meter. Bawaslu pun terpaksa melibatkan warga desa yang jago panjat pohon.
"Di pedesaan belum 100 persen bendera diturunkan, karena kemampuan memanjat pohon jajaran terbatas jadi perlu dipihaketigakan," katanya, Senin, 15 April 2019.
Terkadang, APK yang sudah dilepas secara ajaib kembali muncul di tempat yang sama dengan atribut atau APK yang sama. Masa tenang Pemilu benar-benar menjadi hari-hari yang merepotkan bagi Bawaslu dan Satpol PP yang bertugas menertibkan APK.
Saksikan video pilihan berikut ini:
1.463 TPS Rawan
Joko mengklaim telah menegur pemilik bangunan maupun tim kampanye yang bersangkutan. Kebanyakan mengaku tak tahu-menahu soal stiker tersebut. Karenanya, hingga pelaksanaan pencoblosan nanti, Bawaslu terus mencari APK yang masih terpasang, terutama di wilayah-wilayah yang dekat dengan Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Pada Pemilu 2019 ini, Bawaslu RI merilis 10 indikator untuk menilai kerawanan TPS. Berdasarkan indikator itu, di Purbalingga separuh TPS di Purbalingga berkategori rawan. Dari 2.898 TPS, lebih dari separuhnya yang tergolong rawan, yakni sebanyak 1.463 TPS.
Komisioner Bawaslu Purbalingga Koordinator Divisi Pengawasan, Hubungan Antarlembaga dan Hubungan Masyarakat, Misrad merinci sepuluh kategori itu adalah, terdapat Daftar Pemilih Tambahan 984 TPS, terdapat daftar Pemilih Khusus 221 TPS, dekat rumah sakit 7 TPS, dekat perguruan tinggi 4 TPS, dekat lembaga pendidikan 155 TPS.
Selanjutnya, petugas KPPS berkampanye ada 1 TPS, berada di lokasi posko tim kampanye ada 91 TPS, dan terdapat logistik/perlengkapan pemungutan suara yang mengalami kerusakan tidak ada. Untuk praktik pelanggaran yang sedang diperangi, yaitu terdapat praktik pemberian uang atau barang di masa kampanye ada 8 TPS rawan.
"Langkah yang kami lakukan di TPS rawan tersebut masing melakukan pencegahan terhadap potensi yang ada sehingga tidak ada gangguan saat pemungutan suara, serta berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengambil langkah pencegahan," ucap Misrad.
Di lain sisi, Misrad pun mengapresiasi tim sukses atau simpatisan di Purbalingga. Di Purbalingga, tak ada TPS yang rawan terjadi kasus menghina atau menghasut di antara pemilih dengan isu suku, ras, agama, dan golongan. Ia menilai, masyarakat Purbalingga sudah cukup dewasa dalam berdemokrasi.
Ketua Bawaslu Purbalingga, Imam Nurhakim mengatakan kerawanan tersebut juga ditambah dengan potensi kehilangan hak suara karena ketidaktahuan petugas akan peraturan dan perundang-undangan. Terutama terkait peraturan pemilih dapat mencoblos di atas pukul 13.00 WIB, waktu setempat.
Lalu siapa saja yang boleh mencoblos di atas jam 13.00? Pertama ialah pemilih yang sedang menunggu giliran untuk memberikan suara dan telah dicatat kehadirannya. Kedua, pemilih yang sudah hadir dan berada dalam antrean untuk mencatatkan kehadirannya.
"Jika karena ketidaktahuan petugas sehingga pemilih kehilangan hak pilihnya, merujuk Pasal 510 UU Pemilu, petugas berpotensi terjerat sanksi pidana. Sanksi pidana yang diberikan berupa penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta," Imam menegaskan.
Advertisement