Liputan6.com, Semarang - Arus mudik 2019 mulai bergeser tak seperti sebelumnya. Mayoritas pemudik memanfaatkan tol agar bisa lebih cepat sampai kampung halaman. Akibatnya kini jalur mudik seperti terbelah, jalur tol untuk mobil, dan jalur konvensional didominasi pemotor.
Para pengguna tol nyaris tak ada yang mengeluh kemacetan. Penumpukan kendaraan di gerbang tol dianggap masih dalam batas toleransi. Arus mudik 2019 diprediksikan berjalan lebih lancar.
"Wajar saja. Kan menempel kartu juga butuh waktu," kata Rosa, di rest area tol Semarang-Solo.
Advertisement
Baca Juga
Rata-rata para pengguna jalan tol masih bisa memacu mobilnya antara 60 km/jam hingga diatas 100 km/jam. Titik-titik penumpukan kendaraan juga berada di tempat-tempat yang sudah diprediksi.
"Sejak dari Jakarta rata-rata kendaraan menumpuk di gerbang tol, pintu keluar masuk rest area. Kalaupun agak panjang, tapi penyebabnya masih sama," kata Rosa lagi.
Bagaimana dengan mudik menggunakan jalur konvensional?
Widodo, mengaku mudik dari Tangerang menyebutkan bahwa tahun ini volume kendaraan relatif lebih longgar. Pengaruh tol memang ada, namun ia juga menyebutkan bahwa ia arus mudik memang belum mencapai puncak.
"Mungkin minggu akan padat. Saya mah sengaja berangkat Sabtu biar nggak terjebak kemacetan arus mudik 2019 ini," kata Widodo.
Simak video pilihan berikut:
Warung Juga Sepi
Pembeda yang jelas dalam dua jalur mudik ini adalah keberadaan posko-posko peduli yang menyediakan tempat istirahat. Di jalur konvensional non tol tentu saja lebih banyak.
Salah satu yang rutin membuka posko mudik Lebaran adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketua DPW PKS Jawa Tengah Abdul Fikri Faqih menyebutkan bahwa meskipun jumlahnya tak sebanyak tahun sebelumnya, namun PKS berkomitmen menjaga ukhuwah melalui posko mudik.
"Tak hanya berfungsi untuk istirahat. Ada banyak silaturahmi dengan berdirinya posko ini," kata Abdul Fikri Faqih kepada Liputan6.com, Minggu (2/6/2019).
Tahun 2019 PKS Jateng membuka 8 posko mudik yang tersebar di seluruh Jateng. Tentu saja posko ini berada di jalur konvensional. Tersebar di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Brebes, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap.
Pergeseran perilaku pemudik dari menggunakan jalur konvensional ke jalur tol juga diantisipasi dengan membentuk posko mudik mobile. Di Kota Semarang satu unit posko mobile dengan peralatan komplit dioperasikan untuk membantu siapapun yang mengalami kesulitan dalam perjalanan.
"Posko kami bukan sekadar tempat istirahat. Memang kami sediakan takjil buka puasa dan sahur gratis, kids corner (tempat bermain anak), pijat gratis dan layanan kesehatan. Tapi lebih dari itu adalah untuk menjaga ukhuwah antar warga masyarakat," kata Fikri.
Setiap posko mudik PKS menghabiskan anggaran hingga Rp 12 juta. Angka ini lebih banyak untuk penyediaan fasilitas dan kelengkapan posko semacam bahan bakar dalam jerigen, takjil, menu sahur, dan juga obar-obatan.
Pengguna jasa posko-posko semacam yang dibuka oleh PKS ini mayoritas memang pemotor. Namun ada juga satu dua pengguna mobil yang memanfaatkan posko ini.
"Saya mudik tiap tahun. Kayaknya PKS sudah bertahun-tahun selalu buat posko," kata Hardono, pemudik motor asal Cikarang.
Hardono mudik bersama rombongan warga Klaten yang berada di rantau. Mereka berboncengan dan saling membantu.
"Tahun ini, warung-warung lebih sepi. Biasanya saat arus mudik warung-warung selalu penuh, tapi tahun ini kami tak perlu menunggu lama untuk dilayani," kata Hardono.
Advertisement
Mudik Tak Hanya ke Udik
Pemandangan berbeda terlihat di rest area jalur tol. Di gerai-gerai makanan dengan branding kuat justru ramai. Menurut Wakil Ketua Komisi D DPRD Jateng Hadi Santoso, hal itu disebabkan karena di jalan tol memang tak sembarangan bisa berhenti.
"Jadi ketiadaan warung-warung di jalur tol menyebabkan penumpukan di rest area. Rata-rata hasil pantauan kami menunjukkan bahwa toko oleh-oleh dan rumah makan di jalur lama lebih sepi," kata Hadi Santoso.
Budayawan Semarang Prie GS menyebut bahwa mudik sesungguhnya ekspresi jiwa yang mengendap akan rasa rindu dengan akar spiritual seseorang. Jadi mudik memang berliku dan melalui berbagai proses.
"Mudik bukan hanya sekadar pulang kampung dan bertemu keluarga besar. Mudik adalah naluri bawah sadar bahwa setiap pergi pasti akan pulang. Setiap hidup pasti akan kembali," katanya.
Ketika mudik semakin cepat, akankah perjalanan "mudik" juga makin cepat dan makin menipis solidaritasnya?